Sastra di Antara Bayang-bayang Kebebasan dan Ancaman
Kebebasan penulis sastra dalam menyuarakan persoalan hak asasi manusia masih kerap terbelenggu. Hal ini berdampak terhadap karya yang akan dikeluarkan.
Oleh
Mediana
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sastra bisa menjadi medium menyuarakan kepedulian terhadap persoalan hak asasi manusia di masyarakat. Namun, para sastrawan sering kali harus berhadapan dengan pembatasan hak-hak mereka.
Novelis Okky Madasari mencontohkan, pengalaman mahasiswa pengurus Suara Universitas Sumatera Utara saat menayangkan cerpen terkait ekspresi sesama jender perempuan beberapa tahun lalu. Rektorat keberatan, lalu mengeluarkan keputusan sepihak yang menyebabkan pengurus lama harus berhenti dan diganti baru.
Dia mengaku sempat menjadi saksi mahasiswa tersebut saat mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara. Namun, pengadilan menolak gugatan mereka.
”Rektorat menuduh cerpen menyalahi norma dan moralitas masyarakat. Ketika pengadilan menolak gugatan mahasiswa, pengadilan menyetujui sikap rektorat. Tidak ada kebebasan mutlak dalam menulis karya sastra, apalagi menyentuh nilai agama tertentu,” ujar Okky saat menghadiri webinar ”Budaya Literasi Sastra dan Hak Asasi Manusia Masa Kini”, Rabu (22/7/2020), di Jakarta.
Dia memandang, sastrawan bukan orang yang harus dilindungi regulasi perlindungan baru. Daripada membuat peraturan perundang-undangan baru, dia berharap ada perbaikan substansi dan pelaksanaan undang-undang (UU) yang memicu membungkam orang berekspresi. Misalnya, UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Pornografi, dan pasal penistaan agama di Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Permasalahan selama ini adalah penulis sastra/sastrawan mau menyuarakan pendapatnya, tetapi malah dibawa ke ranah hukum karena isi pandangannya berbeda dari umum.
”Permasalahan selama ini adalah penulis sastra/sastrawan mau menyuarakan pendapatnya, tetapi malah dibawa ke ranah hukum karena isi pandangannya berbeda dari umum,” kata Okky.
Batas kebebasan
Rektor Institut Kesenian Jakarta Seno Gumira Ajidarma berpendapat, penulis biasanya menjadikan kreativitas sebagai prinsip atau ideologi hidupnya. Hal ini tidak mudah jika ditetapkan secara ketat.
Penulis apa pun, termasuk sastrawan dan jurnalis, harus berhadapan dengan batas kebebasan. Mereka tetap harus memiliki sensor mandiri sebelum karya mereka diterbitkan.
”Sampai sekarang pun, kalau saya menulis isu sensitif, menurut masyarakat, saya tegang. Saya harus pasang sensor mandiri. Pada dasarnya memang tidak ada kebebasan yang benar-benar absolut,” katanya.
Seno mengakui, pasca-Orde Baru, karya-karya sastra bertemakan pembantaian 1965 banyak bermunculan. Dia mengibaratkan meluber bak air. Namun, kritik yang muncul adalah jaminan mutu karya setelah kebebasan berpendapat dalam sastra itu dibuka luas.
Wakil Ketua Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia Munafrizal Manan menyampaikan, penulis sastra yang menyuarakan persoalan hak asasi manusia bisa dikategorikan human defender. Mereka berperan menjaga ingatan dan nilai-nilai kehidupan.
Sayangnya, di Indonesia, perlindungan terhadap pembela hak asasi manusia masih problematik. Pada tahun 1997, Seno pernah mengatakan saat jurnalistik dibungkam, sastra harus berbicara.
Menurut dia, pengalaman sejarah terkait dengan pembatasan hak berekspresi menyisakan trauma sehingga sampai sekarang pun, kalangan sastrawan masih merasa tidak bebas berkarya. Ditambah lagi, pemahaman masyarakat terhadap hak asasi manusia masih berbeda-beda.