Jangan sampai Anak Berprestasi Kehilangan Dunianya
Anak harus diberi kesempatan menjalani dunia yang diminatinya. Orangtua diminta tidak terlalu terobsesi terhadap prestasi agar anak-anak tidak terbebani.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak-anak berprestasi harus diberi kesempatan untuk menjalani dunianya. Orangtua diminta tidak terlalu terobsesi terhadap prestasi agar anak-anak tidak terbebani.
Hal ini disampaikan instruktur pembinaan ilmiah remaja dan peneliti pusat penelitian kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Deshinta Vibriyanti, Kamis (23/7/2020), dalam diskusi bertajuk ”Generasi Sains Indonesia Produktif!”.
Betapa pun banyaknya prestasi yang didapat, lanjut Deshinta, mereka pada dasarnya tetaplah anak-anak. ”Mereka tetap butuh bersosialisasi dengan sebaya, kadang kita terlalu terobsesi terhadap anak. Ini tidak baik. Pastikan semua yang dilakukan anak tidak dalam kondisi terpaksa menjalani kegiatan,” katanya.
Dia melanjutkan, orangtua bertugas untuk memberikan jalur dan memfasilitasi anak-anak. Prestasi yang diraih sedapat mungkin berangkat dari minat (passion) si anak tersebut.
”Jangan sampai terkesan eksploitasi. Kasih waktu anak-anak untuk menikmati dunianya,” tambahnya.
Dalam momentum Hari Anak Nasional 2020, Deshinta kembali mengajak publik untuk memenuhi hak anak. Mereka berhak mendapat pendidikan yang laik. Jangan sampai ada lagi anak usia sekolah, tetapi tidak berada di sekolah.
Jangan sampai terkesan eksploitasi. Kasih waktu anak-anak untuk menikmati dunianya.
Selanjutnya, anak harus mendapat akses kesehatan. Yang tak kalah penting, anak juga harus mendapat hak bermain. ”Jadi jangan salah, ya, bermain itu sebenarnya hak anak,” tambahnya.
Diskusi ini turut menghadirkan dua anak berprestasi, yaitu Chris Maria Angelique C Atie (15) dan Muhammad Rasyied Albanna (12). Rasyied merupakan inventor muda dan finalis International Exhibition for Young Inventors (IEYI) 2020.
Rasyied menjelaskan, dirinya suka berimajinasi sejak kecil. Imajinasi itu berangkat dari persoalan di sekitar. Misalnya saja, ia keberatan melihat ada orang-orang merokok. Namun, berhubung masih kecil, ia tidak mungkin menegur orang itu. Oleh sebab itu, ia berencana membuat alat yang bisa menegur perokok.
Untuk mewujudkan cita-cita sebagai inventor, siswa SMP Negeri 2 Kota Pekalongan, Jawa Tengah, ini mengikuti lokakarya robotik sewaktu kelas 3 SD. Dari situ, ia mengikuti les robotik hingga sekarang.
Salah satu hasil dari belajar robotik itu adalah alat bernama ”Say No Smoking Detector”. Alat ini bisa mengenali asap rokok lalu akan mengeluarkan suara terkait larangan merokok. Alat ini akan ia presentasikan di IEYI 2020 nanti.
Selain menyukai robotik, Rasyied juga senang menggambar. Di saat pandemi Covid-19, dia mengajarkan adiknya membuat komik. Di waktu senggang, dia juga bermain catur bersama ayah. Semuanya berangkat dari passion dan dia mengaku senang melakukan aktivitas itu.
Berbeda dengan Rasyied, Chris Maria Angelique C Atie justru lebih tertarik menjadi peneliti. Semangat untuk menjadi peneliti menebal tatkala ia mengikuti Perkemahan Ilmiah Remaja Nasional (PIRN) 2019 yang digelar LIPI. Dalam kegiatan ini, peneliti LIPI memperkenalkan seputar dunia penelitian kepada 1.000 peserta dari seluruh Indonesia.
Dari acara ini pula, ia bersosialisasi dengan teman-teman lintas usia dan berbeda wilayah. Kemampuan untuk beradaptasi inilah yang membantunya ketika menjalani masa SMA jauh dari rumah. Angel berasal dari Kupang, Nusa Tenggara Timur. Memasuki SMA, dia pindah ke Malang, Jawa Timur dan belajar di SMAK St Albertus Malang.
Kini, dalam mengisi waktu belajar dari di asrama, siswa kelas X ini mulai membuat ringkasan mata pelajaran kelas X. ”Biar nanti ketika pelajaran dimulai, saya tidak kesulitan mengikutinya,” ujarnya.
Untuk menjadi peneliti, Deshinta menambahkan, syaratnya harus rajin membaca. Di samping itu, kita juga harus peduli terhadap persoalan sekitar. Pada hakikatnya, penelitian merupakan upaya untuk memecahkan atau mencari solusi atas persoalan yang ada di sekitar.