Pandemi ini tidak boleh menghentikan pendidikan yang menjadi hak dasar anak. Kenyataannya, pendidikan sejumlah anak terhenti selama pandemi ini. Perlu kerja sama antarkementerian dan lembaga terkait untuk mengatasi ini.
Oleh
Yovita Arika
·5 menit baca
Penutupan sekolah karena pandemi Covid-19 dapat memperburuk kesenjangan dalam prestasi akademik antara siswa dari keluarga berpenghasilan rendah dan tinggi. Pembelajaran jarak jauh selama sekolah ditutup, bahkan di negara-negara maju pun, menghadapi banyak tantangan dan pada akhirnya meminggirkan siswa dari keluarga berpenghasilan rendah.
Pembelajaran jarak jauh secara daring sebenarnya menjadi solusi ideal untuk menjamin keberlanjutan pendidikan selama penutupan sekolah. Namun untuk ini, membutuhkan sarana infrastruktur yang memadai, yaitu ketersedian laptop/komputer atau minimal telepon pintar; akses internet yang bagus; sumber daya guru; serta dukungan keluarga.
Semua persyaratan tersebut merupakan kemewahan bagi siswa dari keluarga berpenghasilan rendah, bukan hanya terkait infrastruktur, bahkan juga sumber daya guru dan keluarga. Laporan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menyebutkan, sekolah-sekolah di daerah pinggiran dengan input siswa dari keluarga berpendapatan rendah umumnya juga tidak didukung guru yang berkualitas.
Dukungan orangtua yang seharusnya sangat penting dalam pembelajaran di masa pandemi ini juga terkendala, baik karena kurangnya pengetahuan orangtua maupun karena orangtua juga harus bekerja. Tak jarang anak juga harus membantu orangtua bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga.
Sejauh ini ada dua kebijakan pemerintah untuk mengatasi kendala dalam pembelajaran jarak jauh. Pertama, fleksibilitas penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk subsidi pembelian kuota internet. Kedua, program Belajar dari Rumah berkolaborasi dengan TVRI untuk para siswa yang yang tidak memiliki gawai/komputer dan daerahnya belum ada jaringan internet.
Namun, upaya itu belum optimal. Masih banyak siswa yang tidak terjangkau dua kebijakan itu. Akhirnya, gurulah yang menjadi tumpuan harapan untuk menjaga keberlanjutan pembelajaran di masa pandemi Covid-19 ini. Guru yang lebih dari sepertiganya merupakan guru honorer.
Survei yang dilakukan Wahana Visi Indonesia terhadap 943 anak di sembilan provinsi menunjukkan, 32 persen anak tidak mendapatkan program belajar dalam bentuk daring maupun luring karena kurangnya kapasitas dan fasilitas pendukung dari sekolah. Meski survei ini tidak mencerminkan populasi nasional, paling tidak menggambarkan kondisi riil bahwa ada anak-anak yang ”libur sekolah” selama pandemi ini.
Situasi tersebut, menurut CEO dan Direktur Nasional WVI Doserba T Sinay, cukup mengkhawatirkan karena siswa berisiko mengalami ketertinggalan pemahaman kognitif sehingga dapat memengaruhi performa akademik secara umum. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa pun menyebutkan, tanpa langkah yang signifikan untuk mengatasi kendala dalam pendidikan, pandemi ini akan memperdalam krisis pendidikan dan memperluas kesenjangan pendidikan.
Tantangan besar
Sejak awal pandemi, sejumlah negara berupaya mencari jalan solusi untuk keberlanjutan pendidikan agar tidak seorang siswa pun tertinggal karena pandemi ini. Tantangan yang besar karena ini tidak sekadar membuka satu sumbatan, tetapi banyak sumbatan yang terkait satu sama lain.
Pemerintah Armenia meluncurkan kampanye solidaritas publik untuk menyediakan komputer bagi siswa dari keluarga berpendapatan rendah. Terdapat 25 siswa dari 383.000 siswa terkendala pembelajaran daring karena belum memiliki komputer. Pemerintah Armenia juga bernegosiasi dengan perusahaan telekomunikasi untuk mendapatkan tarif internet murah bagi anak-anak tersebut.
Untuk 47 persen guru yang belum pernah menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran, Pemerintah Armenia menciptakan platform terpadu yang menyediakan sumber belajar jarak jauh serta kursus untuk para guru. Kurangnya konten daring yang selaras dengan kurikulum, kata Menteri Pendidikan Armenia Zhanna Andreasyan, sebagaimana dikutip di laman Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada April lalu, adalah tantangan lebih lanjut.
Di Uni Emirat Arab, kementerian pendidikan juga meningkatkan koneksi internet, membuat kebijakan dan kerangka kerja yang direorganisasi, mengembangkan kurikulum, serta meningkatkan kualifikasi dan pelatihan bagi guru. ”Uni Emirat Arab telah membuat langkah besar dalam konteks ini,” kata Menteri Pendidikan Hussain Ibrahim Al Hammadi sebagaimana dikutip di laman UNESCO, 16 Juni 2020.
Di Amerika Serikat, Inggris, dan Selandia Baru, pemerintah setempat juga memberikan bantuan laptop dan akses internet secara gratis kepada anak-anak dari keluarga berpendapatan rendah. Ini mungkin dilakukan karena perekonomian negara-negara tersebut juga relatif lebih baik.
Di Senegal, Afrika, dengan kondisi hanya 31 persen penduduk yang memiliki akses telepon seluler, pembelajaran daring tidak mungkin dijalankan. Karena tidak mungkin juga membagikan laptop atau gawai kepada para siswa, pembelajaran selama pandemi pun mengandalkan televisi dan radio. Tantangan bagi guru untuk tetap memberikan pembelajaran jarak jauh kepada para siswanya.
Solusi yang dibutuhkan berbeda-beda di setiap negara. Namun, satu hal yang pasti, pembelajaran jarak jauh di masa pandemi ini membutuhkan kesiapan teknis tentang bagaimana pembelajaran akan disampaikan, kesiapan konten yang pasti berbeda dengan pembelajaran tatap muka, kesiapan pedagogis baik guru maupun orangtua, serta pemantauan dan evaluasi. Hambatan di setiap tingkatan ini akan memengaruhi kesinambungan belajar, terutama bagi siswa yang rentan.
Kerja sama antarpemangku kepentingan, termasuk pemerintah pusat dan daerah, menjadi kunci untuk menjamin keberlanjutan pendidikan bagi siswa yang rentan. Fakta bahwa ada anak-anak yang tidak bisa belajar selama pandemi ini bukanlah sekadar angka, tetapi hak dasar anak akan pendidikan yang tidak terpenuhi.
Masalah ini harus ”dikeroyok” bersama antarkementerian dan lembaga terkait. Untuk jangka panjang, kebutuhan akses internet yang merata di semua wilayah menjadi kebutuhan mutlak. Untuk jangka pendek, bagaimana mengatasi kendala yang dialami para siswa yang rentan tersebut, terutama yang selama masa pandemi ini terhenti pembelajarannya.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah mengefektifkan guru kunjung. Mengunjungi satu per satu siswa akan memakan waktu dan tenaga para guru. Pemerintah daerah bisa mengoptimalkan fungsi lembaga pemerintah desa untuk memfasilitasi tempat berkumpul siswa sehingga memudahkan guru kunjung memberikan pembelajaran.
Program digitalisasi sekolah untuk menjangkau para siswa di daerah 3T menjadi relevan untuk tetap dilanjutkan. Dalam rapat koordinasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan para kepala dinas pendidikan tingkat provinsi secara daring beberapa waktu lalu, terungkap, di Kalimantan Timur misalnya, target pengadaan 1.000 laptop untuk sekolah terpotong 50 persen karena dana dialihkan untuk penanganan pandemi.
Sebagaimana sektor kesehatan dan ekonomi, sektor pendidikan seharusnya juga tidak dikorbankan karena pandemi Covid-19 ini.