Hari ini, 4 Juli, Amerika Serikat merayakan hari ulang tahun kemerdekaan. Biasanya hari itu dirayakan dengan santai. Musim panas, keluarga berwisata ke pantai.
Oleh
Ariel Heryanto Profesor Emeritus dari Universitas Monash Australia
·5 menit baca
Hari ini, 4 Juli, Amerika Serikat merayakan hari ulang tahun kemerdekaan. Biasanya hari itu dirayakan dengan santai. Musim panas, keluarga berwisata ke pantai. Gambar bendera nasional tampak di busana renang. Sebagian yang lain berpiknik dengan membakar daging. Musik keras dan ceria terdengar sepanjang hari. Malamnya, pesta kembang api yang disponsori negara.
Tahun ini muram. Paling sedikit karena dua hal besar. Pertama, AS sedang bertekuk lutut kepada virus korona. Pandemi Covid-19 menelan korban terbesar. Belum pernah dalam rentang waktu lama warga AS meninggal dalam jumlah sebesar ini dari satu sumber yang sama.
Kedua, semangat kebangsaan AS sedang terkoyak-koyak. Protes Black Lives Matter (BLM) berskala raksasa dan berminggu-minggu membuka bab baru dalam sejarah. BLM bukan sekadar gerakan antirasisme, melainkan gerakan mengutuk kekejaman aparat negara (polisi) kepada warga bangsa sendiri.
George Floyd, warga AS berkulit gelap, meninggal saat ditahan polisi Minneapolis pada 25 Mei 2020. George hanya satu dari sederet panjang korban kasus serupa. Terlebih parah, kebanyakan polisi pelaku kejahatan rasisme menikmati impunitas. Tak diadili sama sekali atau dihukum sangat ringan.
Dari AS, protes BLM mengglobal. Rakyat di banyak negara merombak sejarah dunia yang berabad-abad berwatak rasis. Yang dituntut tak sekadar keadilan pada kasus mutakhir.
Sejarawan menulis dan merombak buku sejarah dengan adu fakta teks atau gambar di forum ilmiah. Demonstran BLM mencoba merombak sejarah di jalanan. Tak cuma dengan yel, pamflet, atau spanduk, mereka menggulingkan atau merusak beberapa patung tokoh nasional yang dianggap rasis, termasuk pahlawan nasional di Benua Amerika, Eropa, dan Australia.
Protes BLM juga lintas etnis. Lebih dari separuh pengunjuk rasa di AS adalah warga berkulit putih. Secara global, protes paling marak di sejumlah negara dengan mayoritas penduduk berkulit putih, dari Kanada dekat Kutub Utara hingga Selandia Baru dekat Kutub Selatan. Maraknya demonstrasi di luar AS mengungkapkan frustrasi terhadap kasus serupa di negeri masing-masing. Apa relevansinya semua itu bagi Indonesia?
Di Indonesia, pertengahan Juni lalu, merebak demonstrasi di beberapa kota, menuntut pembebasan tahanan politik, warga Papua. Demonstrasi untuk Papua selalu berisiko berat. Selain risiko global, yakni Covid-19, ada tambahan risiko lokalnya.
Bukan saja ruang kebebasan berpendapat menyempit. Elite politik sangat peka pada isu Papua. Bisa dipahami peserta demonstrasi Mei lalu tidak sebesar BLM di bagian dunia lain. Perhatian publik saat itu juga tersita oleh kasus lain, seperti debat RUU Haluan Ideologi Pancasila. Tak adanya unjuk rasa besar-besaran BLM atau protes pada rasisme di Indonesia bukan karena tak ada rasisme. Bukan karena Indonesia bebas dari kekerasan berlebihan oleh aparat terhadap warga sipil. Bukan tak ada impunitas bagi pelaku kejahatan negara.
Jika tiada demonstrasi antirasisme besar-besaran di Indonesia selain untuk Papua, bukan karena khalayak takut berkerumun di tempat umum dengan risiko tertular Covid-19. Mei lalu, penutupan gerai McDonald’s di Gedung Sarinah, Jakarta, mengundang simpati berlimpah. Ini terjadi saat dunia mencemaskan wabah Covid-19 di Indonesia.
Apakah perhatian publik kini terpusat ke soal dalam negeri belaka? Kurang peduli pada masalah global? Tampaknya tak begitu. Sebagian elite Indonesia berkuliah di AS. Sinemanya dikuasai film AS. Juga musik dan gaya hidup di ruang publik. Ramainya penutupan McDonald’s Sarinah hanya sebutir buih gelombang Amerikanisasi budaya Indonesia lebih seabad.
Globalisasi berabad-abad melanda Indonesia dengan AS di ujung tombak. Indonesia pernah menjadi pusat solidaritas global berkepanjangan akibat kekerasan rasial berskala dahsyat terhadap minoritas Tionghoa (Mei 1998).
Diikuti ribuan orang di berbagai forum, tercatat demonstrasi, petisi, dan pertemuan mengecam Mei 1998. Sebagian di Asia (Tokyo, Kuala Lumpur, Singapura, Manila, Beijing, dan Taipei). Juga di Amerika Utara (Washington DC, Chicago, San Francisco, Boston, New York, Toronto, dan Vancouver). Ada di Eropa (Amsterdam dan Helsinki), Selandia Baru (Auckland), dan Australia (Canberra). Pemerintah sejumlah negara sahabat mengecam Pemerintah Indonesia atau wakilnya di KBRI. Perserikatan Bangsa-Bangsa mengirim utusan ke Indonesia dan nyaris menjatuhkan sanksi kepada Indonesia.
Rasisme Mei 1998 berbeda dari rasisme Mei 2020 di AS dalam banyak aspek empirik, tetapi ada kemiripan mendasar. Dalam kedua kasus, aparat negara punya andil tanggung jawab. Reaksi pada keduanya global berbulan-bulan. Mirip di AS, kekerasan Mei 1998 di Indonesia membangkitkan solidaritas lintas etnis dalam negeri. Walau kekerasan rasial pada minoritas Tionghoa berusia panjang, pada 1998 warga kelas menengah, urban, dan non-Tionghoa menolak kekerasan rasial itu. Dalam jumlah besar, mereka mengecam peristiwa itu.
Indonesia pernah menjadi pusat solidaritas global berkepanjangan akibat kekerasan rasial berskala dahsyat terhadap minoritas Tionghoa (Mei 1998).
Sebagian dari mereka membantu warga Tionghoa selama atau sesudah terjadinya Mei 1998. Tak hanya secara individual, banyak yang membangun jaringan organisasi untuk membantu korban dan menggugat tanggung jawab negara. Sayang, perjuangan itu belum tampak merombak sejarah resmi.
Rasisme berskala besar di Indonesia dimulai sejak tahun perdana kemerdekaan RI. Puluhan ribu warga berkulit putih terbunuh. Ratusan ribu lain tersiksa atau melarikan diri. Bagi sebagian dari mereka, Indonesia adalah tanah air yang baru merdeka. Masa itu (1945-1946) disebut ”Bersiap”. Namun, mayoritas warga terpelajar Indonesia tak pernah tahu sejarah kelam itu. Mereka juga tidak pernah mendengar kekerasan rasial yang meluas di Jawa tahun 1947. Ribuan warga Tionghoa terbunuh dan belasan ribu lainnya telantar, jadi pengungsi.
Berbagai ras dan etnik yang terpilih jadi sasaran kekerasan di awal kemerdekaan itu dianggap kurang atau bukan ”Indonesia asli”. Dari anggapan itu, dibangun anggapan berikutnya: mereka tidak atau kurang nasionalis. Pada awalnya, nasion bangkit di berbagai kawasan dunia sebagai bentuk solidaritas baru berdasarkan kesetaraan yang mengatasi, bukan meniadakan, perbedaan etnisitas, ras, atau agama. Namun, di berbagai wilayah dunia, sejarah kebangkitan atau kemerdekaan bangsa nyatanya tidak terlepas dari kekerasan rasisme, termasuk di Amerika, Eropa, Australia, juga Indonesia.
Bedanya, di sebagian kawasan dunia, rasisme berskala besar masa lampau itu mulai dirombak. Perombakan itu dimulai di jalanan oleh rakyat awam. Di sejumlah negara lain, sejarah rasisme tetap dibungkam, disangkal, atau biarkan berlanjut.