Pendidikan Karakter Nasional Siswa Sulit Dibentuk dari Rumah
Pendidikan karakter nasional siswa SD, SMP, dan SMA atau sederajat sulit dibentuk melalui sekolah dari rumah saja. Keberagaman siswa yang hadir secara fisik di sekolah menentukan pembentukan karakter nasional itu.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Pendidikan karakter nasional siswa SD, SMP, dan SMA atau sederajat sulit dibentuk melalui sekolah dari rumah saja. Keberagaman siswa yang hadir secara fisik di sekolah menentukan pembentukan karakter nasional itu. Juga tidak semua orangtua siswa berlatar belakang pendidikan yang memadai.
Ketua Dewan Pendidikan Nusa Tenggara Timur Simon Riwu Kaho di Kupang, Kamis (25/6/2020), mengatakan, karakter nasional yang dimaksud adalah bagaimana para siswa menghargai perbedaan suku, agama, budaya, dan asal-usul setiap siswa di sekolah itu. Pendidikan tidak hanya bertujuan melahirkan anak-anak cerdas dalam menguasai ilmu pengetahuan, tetapi bagaimana hasil pendidikan itu menjaga keberlangsungan bangsa ini di masa depan.
”Karakter nasional ini tidak bisa dibentuk melalui sekolah di rumah saja. Apalagi kalau orangtua dan lingkungan itu memiliki pemahaman budaya dan agama yang cenderung tidak menghargai perbedaan suku dan agama lain. Ini berbahaya bagi pembentukan karakter nasional anak,” kata Riwu Kaho.
Saat ini saja ada generasi muda yang tidak mau menyanyikan lagu kebangsaan ”Indonesia Raya”, menghormati bendera, dan menghafal Pancasila. Juga ada anggota DPRD yang tidak tahu menyebut urutan sila-sila Pancasila, yang kemudian viral di media sosial. Ini memalukan sebagai warga negara yang mengakui Pancasila sebagai pandangan hidup.
Tujuan pendidikan nasional, antara lain, membentuk karakter generasi muda yang nasionalis, menghargai perbedaan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila. Hal itu bisa tercapai kalau proses belajar-mengajar siswa berlangsung dalam bentuk kelompok, dengan latar belakang suku, agama, dan asal usul siswa yang berbeda. Di sana bagaimana siswa belajar saling menghormati, menghargai, dan mengakui keberagaman itu satu sama lain.
Karakter nasional ini tidak bisa dibentuk melalui sekolah di rumah saja. Apalagi kalau orangtua dan lingkungan itu memiliki pemahaman budaya dan agama yang cenderung tidak menghargai perbedaan suku dan agama lain. Ini berbahaya bagi pembentukan karakter nasional anak.
Kematangan dan kedewasaan siswa dalam bertindak dan berpikir terbentuk dalam kebersamaan yang beragam budaya dan agama itu. Nilai-nilai pengetahuan yang mereka dapat pun bisa teraplikasi dalam hidup bersama dengan siswa lain yang berbeda suku, agama, dan asal usul itu yang tersimpul dalam Bhinneka Tunggal Ika.
Ia mengatakan, sistem belajar dari rumah hanya bisa membuat siswa menghindar dari paparan Covid-19, tetapi dari sisi pembentukan karakter generasi muda berwawasan nasional sulit terbangun. Selama ini pendidikan berlangsung di sekolah saja, ada sekolah yang tidak pernah mengajarkan paham kebinekaan kepada para siswa, tidak menyanyikan lagu kebangsaan, dan tidak tahu menghafal sila-sila Pancasila.
Tidak semua
Persoalan lain adalah tidak semua orangtua memiliki pengetahuan yang cukup dalam mendampingi anak-anak sekolah dari rumah. Orangtua dari Indonesia timur rata-rata hanya lulusan SD atau SMP dengan kemampuan yang sangat terbatas dalam bidang pendidikan. Banyak di antara mereka dalam keseharian bergulat dengan pertanian lahan kering di ladang, jarang berada di rumah.
”Guru digaji setiap bulan, ditambah uang sertifikasi yang diperoleh penuh. Namun, tugas guru selama masa pandemi Covid-19 dan pemberlakuan normal baru hanya memantau kegiatan belajar dari rumahnya. Ini tidak sesuai dengan hak-hak yang diperoleh guru, terutama uang sertifikasi, kalau jam mengajarnya tidak memenuhi target,” tutur Riwu Kaho.
Untuk itu, dia mengusulkan dinas pendidikan bisa mengondisikan agar siswa dikumpulkan dalam kelompok dengan jumlah terbatas sesuai lokasi tempat tinggal, kemudian didatangi guru. Mereka bisa melakukan pertemuan di kantor lurah, atau kantor desa, atau rumah keluarga yang dianggap cukup memadai.
Guru bisa pergi dari satu lokasi ke lokasi lain melakukan pertemuan terbatas dengan kelompok siswa tersebut. Dengan ini, guru bisa memantau aktivitas para siswa dalam pertemuan kelompok itu. Dana bantuan operasional bisa dimanfaatkan sebagai uang transportasi guru bersangkutan.
Jika dalam satu rombongan belajar siswa di sekolah 40 orang, mereka bisa dibagi dalam empat kelompok, setiap kelompok 10 orang. Minimal dalam satu pekan tiga kali guru mendatangi kelompok belajar siswa.
Marsenti Ndole (54), orangtua siswa, warga Kelurahan Liliba, Kota Kupang, mengatakan, dirinya cuma mengikuti pendidikan sampai kelas IV SD. Ia tidak bisa mendampingi anaknya, Maria Ndole (17), siswa kelas XI.
”Pengetahuan saya terbatas, bagaimana bisa mendampingi anak saya yang kelas II SMA. Suami sudah meninggal, dua kakaknya sudah menikah, tinggal jauh dari sini. Kalau saya minta bantuan anak mahasiswa menemani anak, saya harus bayar mereka, uang tidak ada,” kata perempuan yang berprofesi sebagai asisten rumah tangga itu.
Belajar bersama
Ia mengatakan, lebih baik anaknya itu belajar bersama teman satu kelas, di rumah, dalam jumlah 2-3 orang, masing-masing mengenakan masker dan menjaga jarak. Mereka saling berbagi informasi dan pengetahuan ketimbang siswa itu diajari orangtua.
Wakil Bupati Lembata Tomas Ola Langodai mengatakan, Lembata sedang menyusun program belajar di sekolah dan di rumah. Intinya, rombongan belajar siswa di sekolah di kurangi sehingga dalam satu hari terjadi 8-10 kali pertemuan. Misalnya, siswa kelas IX terdapat empat rombongan belajar (A, B, C, D) masing-masing 40 anak, maka bisa diperbanyak menjadi delapan rombongan belajar, masing-masing 20 anak.
Dikatakan, satu jam pelajaran sebelumnya 45 menit, bisa dikurangi menjadi 15-25 menit untuk satu rombongan belajar. Selain di sekolah, bisa juga dilanjutkan di rumah dalam kelompok belajar serupa, bagi siswa yang belum mendapatkan pelajaran yang sama pada hari itu.
”Sekolah bisa mengatur soal jumlah rombongan belajar dan waktu belajar, sesuai situasi dan kondisi sekolah. Ini hanya gagasan dari dinas pendidikan,” ujarnya.
Kepala Dinas Pendidikan NTT Benyamin Lola mengatakan, sampai hari ini belum ada petunjuk dari pusat, apakah harus belajar di sekolah atau di rumah. Namun, pihaknya menyiapkan dua skenario, yaitu kegiatan belajar-mengajar berlangsung di rumah dan di sekolah, dengan persyaratan masing-masing.