Isu peleburan mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan ramai dibicarakan publik. Persepsi masyarakat pun liar. Pemerintah disarankan berhati-hati untuk menyesuaikan kurikulum.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor dan Mediana
·4 menit baca
Isu peleburan sejumlah mata pelajaran menimbulkan kontroversi. Meski pemerintah telah memberikan klarifikasi bahwa tidak ada rencana penggabungan mata pelajaran, isu ini telanjur menjadi gaduh. Hal ini menjadi pelajaran agar rencana pemerintah untuk melakukan penyesuaian kurikulum perlu digodok matang.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia pun turut bersuara terkait wacana penggabungan mata pelajaran Pendidikan Agama dengan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Budi Pekerti. Lembaga ad hoc ini secara tegas menyatakan tak setuju terhadap wacana tersebut.
Dampak pengurangan muatan materi agama rentan menimbulkan kedangkalan anak dalam memahami ajaran suatu agama.
Penggabungan materi-materi mata pelajaran tersebut dikhawatirkan akan mengurangi muatan materi pendidikan agama, bahkan berpotensi mendangkalkan pemahaman agama di kalangan anak. ”Dampak pengurangan muatan materi agama rentan menimbulkan kedangkalan anak dalam memahami ajaran suatu agama dan mendegradasi penguatan karakter unggul pada anak,” ujar Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto dalam keterangan persnya, Jumat (19/6/2020).
Pengalaman selama ini dalam banyak kasus, seseorang (termasuk anak) yang terpapar paham radikalisme dan terorisme umumnya karena mereka memiliki pemahaman ajaran agama yang dangkal. Kondisi ini membuat mereka mudah terindoktrinasi paham yang salah.
”Untuk mencegah anak terpapar paham radikalisme dan terorisme, peningkatan pemahaman dan perilaku keagamaan merupakan upaya strategis yang harus dilakukan,” ujarnya.
Oleh karena itu, KPAI memandang posisi mata pelajaran Pendidikan Agama tetap harus berdiri sendiri, tidak bisa digabung dengan mata pelajaran lain. ”Karena dengan mata pelajaran Pendidikan Agama berdiri sendiri, muatan materi keagamaan lebih terstandar,” katanya.
Di sisi lain, Susanto sepakat dengan pemikiran bahwa kurikulum nasional memang harus adaptif untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan kehidupan global yang semakin kompetitif. Namun, diingatkan kembali bahwa hal itu bukan berarti: ganti menteri ganti kurikulum.
Perubahan kurikulum harus berdasarkan kajian yang matang, komprehensif, dan cermat dengan tetap memperhatikan akar budaya, kekhasan suatu bangsa, dan mengacu pada ideologi negara dan tujuan pendidikan nasional.
Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Abdul Mu’ti saat dihubungi Jumat, di Jakarta, mengaku baru mengetahui rencana perubahan kurikulum justru dari media massa. BSNP tidak terlibat dan tidak pernah diajak rapat ataupun diajak bicara. Padahal, kurikulum berkaitan dengan standar kompetensi lulusan, standar isi, proses, dan penilaian yang dinaungi oleh BSNP.
Abdul memandang Kemendikbud sebaiknya mengkaji secara saksama kalau hendak mengubah kurikulum. Saat ini, masih banyak satuan pendidikan yang menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Kurikulum 2013, tetapi belum sepenuhnya dilaksanakan.
Kasihan masyarakat. Mereka seperti selalu menjadi obyek percobaan. (Abdul Mu’ti)
Kemendikbud sebaiknya mengevaluasi pelaksanaan Kurikulum 2013, dan jika ada kekurangan, tinggal disempurnakan. Kemendikbud juga sebaiknya tidak melakukan perubahan yang revolusioner karena dampaknya akan sangat luas.
”Perubahan kurikulum sebaiknya dilakukan secara bertahap dengan melihat kesiapan sumber daya manusia dan sumber dana. Kasihan masyarakat. Mereka seperti selalu menjadi obyek percobaan,” katanya.
Apabila pemerintah tetap ingin mengubah kurikulum, Abdul berharap, upaya itu tidak sampai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, dan peraturan yang terkait. Sebagai negara hukum, perubahan kebijakan, baik dari sisi proses maupun materi, tak boleh bertentangan dengan hukum. Merdeka belajar tidak berarti tanpa regulasi.
Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda mengatakan, pihaknya menilai wacana penggabungan mata pelajaran Pendidikan Agama dengan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) kurang tepat karena kedua mata pelajaran ini mempunyai filosofi dan muatan yang tidak bisa menggantikan satu dengan lainnya. Materi Pendidikan Agama sangat diperlukan untuk ditanamkan kepada peserta didik.
Materi Pendidikan Agama yang dimaksud adalah materi yang mengajarkan nilai-nilai toleransi, nilai-nilai inklusivitas, dan sikap moderasi dalam kehidupan. Materi-materi tersebut sangat diperlukan di tengah maraknya cara pandang keagamaan kaku dan keras.
Sementara PPKn merupakan perwujudan dari akar pendidikan yang mendasarkan pada kebudayaan nasional. Apalagi PPKN diperlukan peserta didik untuk merawat nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai cinta Tanah Air.
Syaiful menyarankan Kemendikbud lebih berhati-hati agar jangan sampai draf pembahasan yang berisi kajian sensitif atau masih dalam proses penyusunan bocor ke publik. Apabila bocor, hal itu berakibat pada munculnya kegaduhan dan berbagai persepsi.
Sebelumnya, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud Totok Suprayitno menegaskan tidak ada rencana peleburan mata Pelajaran Agama dengan PPKn seperti yang beredar di publik. Dinyatakan bahwa Kemendikbud terus melakukan kajian terkait penyederhanaan kurikulum, tetapi belum ada keputusan apa pun.
Berdasarkan informasi yang juga beredar di beberapa grup percakapan daring tersebut, tampak sebuah paparan usulan peleburan mata pelajaran Agama kelas I-III sekolah dasar. Menurut Totok, informasi yang ramai dibicarakan itu adalah bahan diskusi awal internal di antara tim kerja kurikulum. Diskusi masih terus berlangsung dan sampai saat ini belum ada keputusan apa pun dari kementerian.
”Bahan diskusi terakhir yang disampaikan kepada saya adalah susunan kelompok mata pelajaran tidak digabung seperti itu, tetapi tetap berdiri sendiri seperti yang berlaku saat ini,” kata Totok.
Bahan diskusi terakhir yang disampaikan kepada saya adalah susunan kelompok mata pelajaran tidak digabung seperti itu. (Totok Suprayitno)
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbud Hamid Muhammad juga menegaskan, hingga sekarang tidak ada rencana Kemendikbud untuk melakukan penyederhanaan kurikulum dengan cara meleburkan mata pelajaran Agama.
Dia menyampaikan, Ditjen PAUD, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah bersama Pusat Kurikulum dan Perbukuan memang tengah membahas penyederhanaan kurikulum agar pembelajaran berjalan lebih efektif. Pusat Kurikulum dan Perbukuan menyiapkan penyederhanaan kurikulum disertai berbagai modul pendukung.