Jangan Sampai Anak Menjadi Korban di Masa Normal Baru
Anak-anak menjadi bagian dari masyarakat yang sangat rentan terdampak pandemi Covid-19. Kerja sama lintas sektor diperlukan untuk melindungi mereka.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masa pandemi Covid-19 membawa perubahan dalam tatanan keluarga, termasuk anak-anak. Memasuki tahun ajaran baru, pengasuhan terhadap anak harus benar-benar diperhatikan oleh semua pemangku kebijakan agar mereka tidak menjadi korban.
Untuk memastikan keselamatan anak di masa pandemi dan normal baru, ada lima hal yang perlu mendapat perhatian, yakni anak, keluarga, satuan pendidikan, lingkungan, dan wilayah, harus benar-benar disiapkan.
”Yang pertama adalah bagaimana mengintervensi langsung anaknya. Anak mesti disiapkan. Kalau masuk sekolah, dia harus bisa cuci tangan sendiri, jaga jarak dengan temannya, dan lain sebagainya,” ujar Deputi Tumbuh Kembang Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), Lenny N Rosalin, dalam Seri Bincang Bersama Kak Seto dengan tema ”Orang Tuaku Sahabat Terbaikku” yang digelar Kementerian PPPA, Rabu (17/6/2020).
Selain menyiapkan anak-anak, keluarga adalah unsur kedua yang penting untuk memastikan anak-anak terlindungi di masa normal baru. ”Keluarga juga harus disiapkan. Misalnya, ketika anak-anak kembali ke sekolah, bagaimana menyediakan bekal untuk anaknya jika kantin sekolah sudah ditutup,” katanya.
Sekolah juga harus menunjang kesehatan anak-anak, mulai dari ruangan kelas hingga sanitasi sekolah. Selain itu, kesiapan lingkungan dan wilayah tempat tinggal anak juga sangat penting.
Kalau dari lima unsur tersebut tidak siap, ya lebih baik kita tidak melakukan itu, lebih baik kita tunda buka sekolah.
”Kalau dari lima unsur tersebut tidak siap, ya lebih baik kita tidak melakukan itu, lebih baik kita tunda buka sekolah. Jangan sampai kita menjadikan sekolah ini menjadi kluster baru untuk penyebaran Covid-19. Mari kita bersama-sama memberikan kepentingan yang terbaik bagi anak,” tutur Lenny pada webinar bertema ”Orang Tuaku Sahabat Terbaikku”, di Jakarta, Rabu (17/6/2020).
Webinar tersebut digelar dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional (HAN) pada 23 Juli 2020 mendatang serta untuk menyiapkan kebijakan dan program normal baru terkait pengasuhan berbasis hak anak.
Masa pandemi Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru menyebabkan perubahan tatanan sehari-hari pada semua dimensi kehidupan keluarga, terutama anak-anak. Karena itu, memasuki tahun ajaran baru, pengasuhan terhadap anak harus mendapat perhatian khusus dari semua pemangku kebijakan agar anak-anak tak menjadi korban.
Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Kementerian PPN/Bappenas Woro Srihastuti Sulistyaningrum mengungkapkan, dari analisis Situasi Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak Dalam Kondisi Pandemi Covid-19 yang dilakukan Puskapa, Kompas, dan Unicef, terlihat bagaimana kebijakan ”Belajar dari Rumah” masih menemui berbagai tantangan di Indonesia. Salah satunya belum meratanya akses pembelajaran daring karena terbatasnya kepemilikan komputer/laptop dan akses internet.
Hingga sekarang masih ada jutaan rumah tangga dengan anak usia sekolah yang tidak memiliki internet. Rinciannya, 1.955.344 rumah tangga (anak SMA) dan 5.133.129 rumah tangga (anak SMP).
”Perlu ada perhatian khusus kepada kelompok rentan marjinal lainnya yang sulit diperkirakan jumlah dan diketahui keberadaannya dalam peta statistik,” ujar Lisa seraya menyatakan, pandemi Covid-19 berpotensi melipatgandakan kelompok marjinal, seperti anak berhadapan dengan hukum, anak jalanan/gelandangan, dan pengemis.
Berbagai problem
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Susanto mengingatkan bahwa sebelum dan di masa pandemi saat ini, ada sejumlah problem yang membayangi anak-anak di Tanah Air. Terkait pengasuhan, ada sejumlah anak yang tidak mendapatkan pengasuhan yang layak oleh orangtua/keluarga, yang berakibat mereka terlantar, mengalami kekerasan atau eksploitasi, seperti menjadi korban perdagangan orang, pekerja anak atau bahan terpisah dari keluarganya, pekerja rumah tangga anak, serta menjadi anak panti.
Di luar itu, banyak anak yang ditempatkan pada keluarga lain dengan cara tidak sesuai dengan ketentuan, seperti adopsi ilegal, pemalsuan akta kelahiran, dan penempatan pada keluarga lain/lembaga yang tidak didasari dokumen-dokumen hukum yang kuat.
”Banyak kasus ketika bayi dibuang, ditinggalkan atau ditelantarkan di suatu lembaga atau pelayanan, tetapi kemudian pemindahan anak kepada keluarga/lembaga lain tidak dilengkapi dokumen yang resmi dan sah sehingga berpotensi terjadinya eksploitasi pada anak,” kata Susanto.
Kendati banyak persoalan, Susanto mengungkapkan, sampai saat ini ada berbagai situasi anak yang mengundang pertanyaan. Misalnya, mengapa setiap kasus kekerasan pada anak hanya dilihat dari faktor perlindungan ketika anak sudah menjadi korban? Mengapa kebijakan program dan respons tidak menyentuh pada aspek pengasuhan? Atau sejauh mana keluarga-keluarga terutama yang rentan didukung agar mampu melaksanakan tanggung jawabnya?
Sistem pengasuhan komprehensif
Karena itu, menurut Susanto, perlu dipastikan sistem pengasuhan anak yang komprehensif dengan cara memberikan dukungan kepada orangtua kandung agar mampu memberikan pengasuhan di keluarga sendiri dan orangtua menjalankan kewajibannya secara benar. ”Selain itu, memastikan bahwa negara atau pemerintah memiliki semua mekanisme pengasuhan alternatif di luar sistem keluarga atau orangtua kandung untuk tingkat perlindungan,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia Seto Mulyadi mengingatkan pentingnya sinergi masyarakat dalam pengasuhan anak, karena sampai saat ini masih terjadi kesalahan dalam pengasuhan anak. Masih ada anak-anak yang menjadi buruh, anak jalanan, anak berhadapan dengan hukum, bahkan anak menjadi korban penculikan.
”Beberapa waktu lalu, anak-anak masih kecil sudah dinikahkan. Ada anak yang masih kecil sudah bersekolah dengan membawa buku bertumpuk, kurikulum terlalu dipaksakan sehingga anak pusing, akhirnya sekolah menjadi semacam penjara. Banyak anak bolos dan memicu berbagai tindak kekerasan, seperti perundungan, dan lain-lain,” tutur Seto.