Perlu Persiapan Matang Sebelum Membuka Pesantren untuk Belajar Tatap Muka Langsung
Memasuki masa transisi menuju normal baru di sejumlah daerah, sebagian pesantren bersiap membuka pembelajaran tatap muka langsung. Namun, diingatkan agar semua mengutamakan keselamatan warga pesantren dari Covid-19.
Oleh
Ilham Khoiri
·3 menit baca
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Para santri bersiap menjalani tes usap tenggorokan di Covid-19 Center, Stadion Watubelah, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Kamis (11/6/2020). Sebanyak 150 santri menjalani tes usap sebelum kembali ke Pondok Pesantren Tanggir, Tuban, Jawa Timur, akhir pekan ini. Hasil tes usap negatif Covid-19 merupakan salah satu syarat kembali ke pesantren. Pemkab Cirebon pun menyiapkan 2.000 tes usap dan 15.000 tes cepat gratis untuk santri.
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian besar pesantren di Indonesia ingin membuka proses belajar-mengajar tatap muka langsung untuk para santri dengan menerapkan protokol kesehatan ketat. Pembukaan itu akan diambil setelah lembaga pendidikan berbasis agama itu tutup selama hampir tiga bulan. Namun, diingatkan agar langkah itu mesti didasari pertimbangan penuh kehati-hatian dan persiapan matang demi mencegah potensi penularan Covid-19 di lingkungan pesantren.
Ketua Pengurus Robithah Ma’ahid Ismaliyah Nahdlatul Ulama Abdul Ghofarrozin, saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (13/6/2020), mengungkapkan, sebagian besar pesantren memang menginginkan untuk segera bisa aktif kembali secara bertahap dengan melaksanakan protokol pencegahan Covid-19. Pesantren yang siap terutama di Jawa Timur. Beberapa pemerintah daerah dan pemerintah provinsi lain juga berinisiatif untuk memfasilitasi pembukaan pesantren, seperti di Banyuwangi, Pasuruan, dan Tuban. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat juga sudah menyiapkan protokol kesehatan di pesantren.
”Tapi sebagian pesantren yang lain, misalnya Ponpes Tebuireng (Jombang) dan Ponpes Tremas Pacitan (Jawa Timur), masih menunggu perkembangan,” katanya.
Saat ini, sebagian besar pesantren sedang menyiapkan protokol isolasi dan karantina bekerja sama dengan dinas kesehatan setempat atau melalui supervisi dokter pesantren. Pondok pesantren yang akan membuka lembaga pendidikannya berencana menerima santri secara bergelombang. Tahapan itu melalui tahap karantina sebelum memulai pembelajaran reguler. Banyak juga pesantren yang memberlakukan tes cepat secara mandiri.
”Pesantren yang belum bersiap membuka pelajaran kini melakukan pembelajaran jarak jauh secara daring dengan segala keterbatasan. Mengingat tidak semua orangtua santri memiliki kemampuan membeli paket data (internet) rutin. Banyak juga daerah yang internetnya tidak stabil,” kata Abdul Ghofarrozin.
Diberitakan sebelumnya, sebagian besar pesantren di Indonesia diliburkan selama masa pandemi Covid-19. Para santri pulang ke rumah orangtua masing-masing. Kegiatan belajar-mengajar di lembaga berasrama berbasis keagamaan Islam itu ditiadakan sambil menunggu perkembangan. Ketika sejumlah pemerintah daerah hendak melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan menetapkan masa transisi menuju normal baru, sebagian pesantren kemudian bersiap untuk dibuka kembali.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Seorang santri menjalani tes usap di Covid-19 Center, Stadion Watubelah, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Kamis (11/6/2020). Sebanyak 150 santri menjalani tes usap sebelum kembali ke Pondok Pesantren Tanggir, Tuban, Jawa Timur, akhir pekan ini.
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati berharap pembukaan pesantren dan satuan pendidikan keagamaan berbasis asrama untuk pembelajaran tatap muka langsung harus melalui prinsip kehati-hatian, pertimbangan matang, serta kesiapan sesuai dengan protokol kesehatan dan data kesehatan. Dalam situasi sekarang, KPAI mendorong pemerintah untuk menyegerakan penyusunan protokol dan pedoman kesehatan yang relevan dengan kekhasan pondok pesantren dan satuan pendidikan keagamaan berbasis asrama.
Pondok pesantren dan satuan pendidikan keagamaan berbasis asrama di Indonesia memiliki disparitas sangat beragam, baik kapasitas kelembagaan, ketersediaan serta rasio sarana dan prasarana, lingkungan sosial pesantren, maupun kemampuan orangtua santri. Karena itu, pemerintah perlu memetakan kesiapan dan membantu pesantren serta satuan pendidikan keagamaan berbasis asrama hingga benar-benar siap dan aman untuk semua anak atau santri.
Hal ini sebagai bagian untuk memastikan jaminan kesehatan dan keselamatan santri agar tumbuh kembang dengan optimal. ”Perlu dipastikan ada jaminan kesehatan dan keselamatan bagi santri agar tumbuh kembang dengan optimal,” katanya.
Menurut Rita, untuk optimalisasi sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) berbasis jaringan internet, pondok pesantren perlu memperbaiki sistem pendidikan secara terus-menerus, baik secara offline (luar jaringan) dan online (dalam jaringan) maupun dukungan sarana dan prasarana pembelajaraan yang memadai yang dibantu oleh pemerintah. Hal itu penting dibenahi agar beragam kelemahan dan hambatan PJJ selama ini dapat diatasi dan diperbaiki melalui pengembangan sistem dan inovasi pembelajaran yang ramah untuk semua anak dengan berbagai kondisinya. Pesantren perlu dibantu, antara lain, berupa subsidi kuota internet serta infrastruktur dan fasilitas untuk belajar berbasis daring agar terpenuhi.
”Untuk santri yang belum bisa balik ke pesantren dan kondisi pesantren belum memungkinkan untuk dibuka, anak juga harus dipastikan bebas dari Covid-19 jika akan kembali ke pondok dan pembiayaan ditanggung pemerintah,” kata Rita.