Sekolah menjadi tempat belajar yang dirindukan para siswa setelah melakoni belajar dari rumah hampir tiga bulan. Tak hanya tatap muka di kelas bersama guru, mereka juga kangen bertemu dan bergaul bersama teman sebaya.
Oleh
TIM KOMPAS
·4 menit baca
Hampir tiga bulan siswa belajar di rumah. Kini mereka rindu sekolah. Belajar dengan guru melalui tatap muka langsung dan bermain bersama teman. Namun di tengah tidak jelasnya akhir pandemi Covid-19, pembukaan kembali sekolah dikhawatirkan akan makin menyebarkan korona.
“Kangen teman, kangen papan tulis,” kata Graciela Luminara, siswa kelas I SD Bunda Hati Kudus, Jakarta Barat dengan malu–malu saat dihubungi melalui aplikasi telepon video (video call), Minggu (7/6/2020).
Dari layar gawai, Graciela berdiri di belakang kakaknya, Mauricio Aurelius, siswa kelas IV yang duduk di depan meja belajar. Meski di rumah, Graciela memakai pelindung muka.
Mauricio pun mengaku rindu belajar langsung di sekolah. Selama belajar di rumah, guru cenderung memberikan materi pelajaran dan tugas saja. Akibatnya, mereka mengaku mengalami kesulitan di semua pelajaran.
Selama belajar di rumah, kakak-beradik itu tidak dibekali ponsel pintar oleh orangtuanya, tapi komputer jinjing. Komputer itu yang kemudian mereka hadapi berjam-jam hingga membuatnya jenuh dan kangen berat belajar langsung di kelas.
Di lain wilayah, Marten Ndun (16), siswa kelas XII SMAN 8 Kupang, Nusa Tenggara Timur mengaku tidak terlalu suka belajar dari rumah. Cara itu membuat pengetahuannya sulit berkembang.
“Kalau belajar di sekolah, bisa bertanya langsung ke guru atau teman jika kita belum mengerti. Namun kalau belajar di rumah, saat orangtua tidak tahu, saya harus tanya guru melalui pesan WhatsApp. Namun, kadang pesan baru dibalas beberapa hari kemudian,” katanya.
Di samping itu, lanjut Marten, belajar di sekolah membuat siswa saling tahu kemampuan teman lainnya, termasuk nilai ujian atau ulangan hingga memicu kompetisi dan mendorong untuk belajar lebih giat.
Tak melulu soal belajar dan pelajaran, sebagian siswa kangen sekolah karena rindu suasana sekolah dan bertemu teman. Meski bisa berkomunikasi melalui gawai, “Kalau bertemu langsung, bisa bercanda dan saling meledek langsung,” kata Ancilla Chelsa Yudea Dharma, siswa kelas VII SMP Katolik Mater Dei Tangerang Selatan, Banten.
Sebagian siswa mengatasi kerinduan akan sekolah dan teman itu dengan berinternet, main gim atau menonton video di aplikasi. Orangtua mereka mampu menyediakan fasilitas tersebut dan mengizinkannya. "Itu cukup menghibur," ujar Meilani Aurelia Metekohy, siswa kelas IV salah satu SD di Bogor, Jawa Barat.
Sebelum pandemi, kampanye pembatasan penggunaan gawai gencar dilakukan berbagai pihak. Kini, banyak orang menghabiskan waktunya berjam-jam di depan gawai.
Di balik kerinduan, ada juga kekhawatiran, terutama dari orangtua. Sari, ibu dua siswa kelas 3 dan 5 SD di Jakarta mengaku sekolah anaknya ada di zona merah. Saat perjalanan, bertemu guru dan teman di sekolah, risiko paparan virus akan meningkat.
Terlebih, jika protokol kesehatan tidak dijalankan benar, seperti pakai masker, jaga jarak, dan cuci tangan. Menegakkan aturan itu tentu sangat sulit, bagi anak SD yang pemahamannya tentang Covid-19 belum sepenuhnya terbentuk.
"Wajar jika orangtua tidak mau anaknya terpapar Covid-19 di sekolah. Bila sampai anak sakit dan harus diisolasi, orangtua pasti sedih,” ujar Sari. Karen itu, ia rela kerepotan mengurus dua anaknya mengikuti pembelajaran jarak jauh meski harus keteteran membantu mengerjakan tugas mereka. Namun dia juga berharap sekolah tak terlalu banyak memberi tugas hingga siswa dan orangtua tidak stres.
Pembukaan sekolah pada tahun ajaran baru mulai 13 Juli 2020 memang menimbulkan dilema. Semua memiliki pertimbangan logis dan ingin keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan jiwa anak, guru, dan keluarga tetap terjaga.
Psikolog anak dan keluarga di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Anna Surti Ariani mengatakan dari lima aspek tumbuh kembang anak: fisik, kognitif, bahasa, emosi dan sosial, aspek kognitif dan bahasa relatif tidak terganggu akibat pembelajaran di rumah sepanjang orangtua bisa mengajari anak dan membuat anak tidak stres.
Aspek fisik pasti terganggu karena gerak anak jadi terbatas. Terlebih, anak yang tinggal di rumah kecil, hanya punya satu kamar, tak ada halaman, atau anak yang aktif bergerak. "Kurang gerak pada anak, juga dewasa, rentan memicu depresi yang memengaruhi emosinya," katanya.
Aspek sosial juga tidak akan optimal karena belajar di rumah membuat pertemuan anak dengan orang lain jadi terbatas. Namun, orangtua tetap bisa berperan agar tumbuh kembang anak tetap berlangsung meski terbatas.
Kalaupun pemerintah tetap membuka sekolah pada tahun ajaran baru, maka sistem masuk sekolah bergilir seperti karyawan bisa diterapkan. Bisa juga menjadwalkan masuk sekolah beberapa kali sebulan.
Alternatif lain adalah memadukan belajar di sekolah untuk pelajaran yang membutuhkan pertemuan langsung, seperti pelajaran eksakta, dan belajar di rumah untuk pelajaran lain. Namun, itu bisa dilakukan sepanjang protokol kesehatan dipatuhi walau tampaknya menyiapkan sabun cuci tangan dan air bersih saja, banyak sekolah bermasalah.
Situasi itu mendorong sejumlah pemerhati pendidikan mendesak pemerintah menunda awal tahun ajaran baru menjadi Januari 2021. Waktu yang ada bisa digunakan untuk menyiapkan segala hal tentang pola pendidikan di masa pandemi, baik metode pembelajaran, kurikulum, penilaian, sampai inovasi pembelajaran.
"Pandemi bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki sistem pendidikan menjadi kontekstual dan fleksibel,” kata psikolog pendidikan dan Anggota Presidium Jaringan Pendidikan Alternatif Karina Adistiana. Pola pendidikan alternatif itu bisa diberikan sebagai adaptasi atas pandemi yang tidak jelas ujungnya, namun tetap tidak mengorbankan hak anak dan kesejahterannya.