Kekerasan dalam Rumah Tangga, Misteri di Balik Tembok Rumah yang Masih Tertutup
Saat pandemi Covid-19, diperkirakan kasus kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT dengan korban perempuan dan anak kian meningkat. Namun, jumlahnya masih sulit dipastikan karena para korban enggan melaporkan kasusnya.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
Hampir di setiap diskusi tanpa tatap muka atau dalam jaringan internet selalu disuarakan bahwa kekerasan di dalam rumah tangga di Tanah Air, sepanjang masa pandemi Covid-19, meningkat. Kendati demikian, berapa jumlah korban kekerasan hingga kini, masih sulit diprediksi dan tidak diketahui secara pasti. Meskipun kasusnya terjadi setiap hari, tidak banyak laporan yang masuk ke lembaga pengada layanan korban kekerasan terhadap perempuan maupun anak.
Hasil survei cepat yang dilakukan secara daring oleh Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tentang “Perubahan Dinamika Rumah Tangga dalam Masa Pandemi Covid-19” memang menemukan kekerasan yang paling banyak dialami perempuan adalah kekerasan psikologis dan ekonomi, selain kekerasan fisik dan seksual.
Dari survei yang berlangsung selama April hingga Mei 2020, di 34 provinsi di Tanah Air dengan 2.285 responden terungkap, tekanan ekonomi yang besar menjadi pemicu kekerasan terhadap perempuan. Kendati mengalami kekerasan, dari kajian Komnas Perempuan ditemukan bahwa para korban lebih banyak memilih diam, ketimbang melaporkan kasus yang menimpanya.
Adapun korban rata-rata adalah perempuan yang berusia 31 tahun-40 tahun yang berlatar belakang kelompok berpenghasilan kurang dari Rp 5 juta per bulan, pekerja sektor informal, berstatus perkawinan menikah, memiliki anak lebih dari 3 orang, dan menetap di 10 provinsi dengan paparan tertinggi Covid-19.
Akan tetapi, informasi dan situasi di lapangan yang terjadi tidak selaras dengan angka-angka laporan yang masuk. Misalnya, data di Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA), di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), sejak 29 Februari 2020 hingga 3 Juni 2020. Selama empat bulan berjalan, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan (KtP) yang dilaporkan mencapai 499 kasus.
Namun, dalam rentang waktu tersebut, laporan yang masuk hanya ada 319 kasus adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Angka ini menurun jauh jika dibandingkan dengan periode 1 Januari-28 Februari 2020 (sekitar dua bulan), yang jumlahnya lebih tinggi yakni 979 (kasus KtP) dan 589 (KDRT).
Tren perlambatan laporan kasus Ktp terjadi sesudah adanya Penetapan Perpanjangan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana (PPSKTDB) sejak 29 Februari 2020.
“Pertambahan kasus melambat, inilah misteri yang harus kita pecahkan. Mengapa terjadi demikian,” ungkap Vennetia R Danes, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, KemenPPPA, saat membuka acara tanpa tatap muka tentang “Peningkatan Kapasitas Manajemen Penanganan Kasus KDRT dalam Situasi Pandemi Covid-19 Bagi Dinas PPPA/Kelompok Kerja Daerah Di Tingkat Kabupaten/Kota Wilayah Indonesia Bagian Barat”, Kamis (4/6/2020).
Sebab, menurut Vennetia, walaupun data menunjukkan penurunan laju pertambahan KtP sampai 71 persen dan selisih jumlah kasus sampai 62 persen dari masa sesudah PPSKTDB dibanding tahun sebelumnya, sesungguhnya situasi tersebut belum dapat dikatakan menggembirakan.
“Besar dugaan bahwa tingkat kekerasan terhadap perempuan, masih sama banyaknya dengan tahun-tahun sebelumnya,” ungkap Vennetia.
Menurunnya angka laporan kekerasan terhadap perempuan, bisa jadi karena dampak kebijakan kerja dari rumah (WFH) dan pembatasan sosial berskala besar. Situasi tersebut membuat perempuan korban kekerasan dapat saja kehilangan akses untuk melaporkan kasus kekerasan dialaminya. Keterbatasan akses terutama dialami oleh korban yang tinggal di wilayah yang sarana dan prasarana komunikasi dan transportasinya tidak mendukung untuk mendapatkan akses layanan bagi perempuan korban kekerasan.
Di sisi lain, kebijakan WFH dan PSBB membuat pusat atau lembaga penyedia layanan di suatu wilayah tidak dapat berfungsi secara optimal. Terpuruknya lembaga-lembaga pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan atau women crisis center, terungkap saat Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) dan Komnas Perempuan melalui Pundi Perempuan menyelenggarakan penggalangan dana publik secara daring dengan mengusung tema “Kita Di Sini Bersama. Mari Saling Melindungi”, Jumat (5/6/2020) lalu.
“Jadi situasi yang terjadi saat ini, banyak sekali organisasi pengada layanan yang mau terus mendampingi korban atau sudah bergerak tetapi menjadi terbatas, karena tidak punya dana juga untuk membeli alat pelindung diri. Padahal di satu sisi, kita sudah mendengar bahwa angka kekerasan meningkat terutama kekerasan dalam rumah tangga,” ujar Direktur IKa, Anik Wusari.
Alissa Wahid (Sekretaris Lembaga Kemaslahatan Keluarga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama/LKK PBNU), dalam sebuah diskusi daring pekan lalu, juga mengingatkan situasi yang dihadapi masyarakat saat ini adalah bencana ganda, karena yang dihadapi bukan hanya kesehatan, tetapi bencananya mungkin sudah majemuk.
Ia memperkirakan saat ini kekerasan dalam keluarga yang meningkat akibat tekanan yang dirasakan jauh lebih besar, karena masyarakat menghadapi tekanan psikososial ekonomi bertubi-tubi,karena penghasilan keluarga yang menurun drastis yang berakibat pada kualitas kehidupan yang menurun drastis.
“Terutama beban ini dirasakan oleh kelompok menengah ke bawah yang mereka yang bekerja di sektor informal tidak bisa mengandalkan gaji bulanan, betul-betul kehilangan penghasilan,” kata Alissa.
Beban psikososial yang sangat besar karena ketidakpastian akan masa depan kini dirasakan masyarakat baik bekerja di sektor informal maupun formal. Semuanya tidak pasti. Selain itu, keterbatasan ruang pribadi akibat tinggal di rumah, terutama mereka yang tinggal di rumah yang sempit sangat berpotensi terjadi gesekan. Ketika kondisi tersebut berhadapan dengan relasi kuasa, risiko kekerasan dalam rumah tangga bisa terjadi.
Melihat kenyataan tersebut, sebenarnya sudah cukup untuk meyakinkan semua pihak bahwa kekerasan terhadap perempuan terutama pada masa pandemik ini, merupakan masalah yang serius untuk ditangani dan dicarikan solusinya.
Maka, membuka mata dan telinga bagi di lingkungan sekitar kita menjadi penting. Jika ada perempuan dan anak yang mengalami kekerasan, termasuk KDRT, harus segera dilaporkan, agar misteri kekerasan dibalik-balik tembok rumah bisa terungkap.