Anak Rentan Alami Berbagai Risiko Saat Pandemi Covid-19
Dampak pandemi Covid-19 sangat besar terhadap tumbuh kembang anak. Namun, kesadaran dan pengetahuan tentang perlindungan anak masih minim.
Masa pandemi Covid-19 memberikan dampak yang sangat besar bagi tumbuh kembang anak. Selain berkurangnya kesejahteraan anak akibat orang tua kehilangan pendapatan, mereka juga kesulitan mengakses layanan kesehatan dasar dan pendidikan berkualitas. Bahkan sebagian di antara mereka harus kehilangan orang tua.
Mereka akhirnya rentan mengalami kekerasan, dan bertambah sengsara di masa pandemi. Hambatan lebih berat pada masa pandemi ini dialami anak-anak disabilitas karena mereka semakin sulit mengakses informasi dan layanan kesehatan.
Kendati demikian, belum semua masyarakat, apalagi orang tua menyadari kondisi yang dialami saat ini, termasuk risiko yang akan dihadapi anak-anak di masa mendatang. Hingga kini, kesadaran maupun pengetahuan orang tua terkait perlindungan anak di masa pandemi saat ini masih sangat minim.
Hingga kini, kesadaran maupun pengetahuan orang tua terkait perlindungan anak di masa pandemi saat ini masih sangat minim.
Demikian hasil survei Save the Children di Indonesia dalam bentuk penilaian cepat atau rapid needs assessment terkait Covid-19, yang dilakukan secara daring tanggal 10-27 April 2020. Responden sebanyak 11.989 orang tua/publik, 4.698 guru negeri dan swasta, diikuti survei lanjutan terhadap 883 responden lainnya. Selain itu ada wawancara mendalam terhadap 417 responden (kepala desa, kader kesehatan, guru, dan orang tua yang tinggal di kota dan desa).
Hasil analisa survei tersebut disampaikan Save the Children di Indonesia kepada media dalam pertemuan daring di Jakarta, Rabu (20/5/2020) disebutkan bahwa puluhan juta anak di Tanah Air berpotensi menghadapi tujuh risiko akibat pandemi Covid-19.
“Generasi ini (anak-anak) mengalami situasi yang luar biasa di saat mereka berada pada usia anak. Tetapi belum semuanya orang tua menyadari sepenuhnya apa yang mereka alami saat ini maupun dalam jangka panjang ke depan. Satu generasi akan terimbas oleh pandemi ini, tidak dalam jangka waktu pendek, namun untuk waktu yang lebih lama; mungkin juga berdampak seumur hidup,” ujar Merry Saragih, Head of Monitoring Evaluation Accountability and Learning, Save the Children di Indonesia menanggapi hasil survei tersebut.
Adapun ketujuh risiko yang dialami dan akan dihadapi anak-anak selama pandemi adalah, pertama berkurangnya kesejahteraan anak akibat pendapat orang tua hilang (30 persen) atau menurun(72 persen); kedua anak kesulitan mengakses layanan kesehatan dasar; ketiga anak kesulitan mengakses layanan pendidikan berkualitas; keempat terbatasnya dukungan bagi anak dengan disabilitas (833.000 anak disabilitas sulit mengakses informasi dan panduan kesehatan tentang Covid-19); kelima banyak anak kehilangan orang tua (60 persen kasus Covid-19 menimpa usia produktif dan memiliki anak); dan keenam, rentan terhadap kekerasan. “Sebanyak 46 persen responden orang tua mengatakan anaknya mengalami masalah berikut: sulit berkonsentrasi, bingung, susah tidur, stress, mudah lelah, dan kesepian,” katanya.
Sementara itu, risiko ketujuh adalah bertambahnya kesengsaraan bagi korban bencana alam. Risiko ini beralasan karena sekitar 60-70 persen mayoritas korban bencana alam yang ada di Indonesia adalah anak-anak, perempuan, dan orang lanjut usia.
Soal pengetahuan masyarakat mengenai Covid-19, hasil survei menunjukkan 8 dari 10 responden tahu acara melindungi diri, 5 dari 10 responden tidak tahu apa yang harus dilakukan bila alami gejala, 7 dari 10 responden tidak tahu apa yang sudah dilakukan pemerintah setempat.
“Dari delapan langkah cuci tangan yang benar, tidak ada satu pun yang benar. Paling hanya diikuti satu dua langkah. Begitu juga protokol diam di rumah seperti apa, juga belum banyak yang memahami,” kata Merry.
Bahkan, masih banyak responden yang belum tahu harus melakukan apabila mereka atau anggota keluarga mengalami gejala Covid-19. Mereka tidak tahu ke mana harus mendapatkan tes dan perawatan/pengobatan, tidak tahu mekanisme ataupun prosedur yang harus dilalui, misalnya ke mana atau kepada siapa harus melapor, bagaimana mekanisme atau tahapan-tahapan tes, apakah harus dirawat di rumah sakit, serta perihal pembiayaan.
Kekerasan terhadap anak perempuan
Pada hari yang sama, pada acara serial diskusi daring “Mendengar Suara Anak dan Kaum Muda: Pengalaman Pendampingan Kekerasan terhadap Anak di Masa Pandemi Covid-19” yang diselenggarakan Yayasan Rumah Kitab dan Jaringan AKSI, Rabu pagi juga disampaikan hasil survei Yayasan Plan International Indonesia (YPII).
Dari data sementara yang diperoleh YPII terkait isu kekerasan terhadap anak dan kaum muda di masa pandemi Covid-19, pada akhir April hingga medio Mei 2020 di delapan provinsi (Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, NTT, Papua, Sulawesi Tengah), ditemukan sejumlah temuan.
Pengambilan data dilakukan dalam dua survei di tingkat desa dan terhadap anak serta kaum muda ditemukan, selama masa pandemi anak perempuan mengalami berbagai bentuk kekerasan, mulai dari kekerasan emosional/psikis, ekonomi, verbal, fisik, seksual, penelantaran, kekerasan secara daring, hingga perkawinan, eksploitasi dan perdagangan anak. Namun, kekerasan yang terjadi di dalam rumah hanya sedikit yang dilaporkan karena diperkirakan situasi pembatasan sosial menyulitkan korban dan saksi melaporkan kasusnya.
“Tren yang terlihat dari survei tersebut ternyata anak perempuan adalah korban kekerasan paling besar, sementara pelaku kekerasannya adalah sebagian besar laki-laki,” ujar Rani Hastari, Gender & Inclusion Specialist, YPII.
Survei YPII di tingkat desa (19 April-14 Mei 2020) dengan 314 respoden (pemerintah desa, komite perlindungan anak desa dan lembaga sejenis, guru, tenaga kesehatan desa). Survei terhadap anak dan kaum muda meliputi 434 responden (per 18 Mei 2020), responden berusia di bawah 24 tahun baik perempuan dan laki-laki (termasuk disabilitas).
Menurut Rani, tidak terungkapnya kasus-kasus kekerasan anak bisa kemungkinan karena sejumlah faktor yakni ada kekerasan/perlakuan salah yang terjadi namun masalah tersebut tidak diketahui pihak lain (saksi), atau korban/saksi enggan atau takut melaporkan karena berbagai penyebab, termasuk karena situasi pembatasan sosial pada masa pandemi.
“Kemungkinan masyarakat atau tetangganya tidak tahu apa yang terjadi di sebelah, atau memang terjadi kekerasan/perlakuan salah namun korban atau saksi tidak tahu bagaimana, ke mana harus melaporkan, serta masyarakat belum mampu mengenali jenis tindakan kekerasan atau perlakuan salah. Termasuk belum tahu apa itu kekerasan seksual atau kekerasan daring,” kata Rani.
Lihat juga: Jebakan Gawai pada Anak Balita Kala Pandemi
Saat ditanya kepada anak-anak dan kaum muda, dari survei tersebut mereka mengakui hal tidak nyaman yang dialami selama masa pandemi, yakni beban tugas sekolah yang berat (60 persen), beban mengurus rumah/keluarga yang berat (18 persen), kekerasan emosional yakni dipermalukan, diancam, dimarahi, lainnya (13 persen).
Sisanya adalah kekerasan daring, kekerasan fisik (dipukul, ditendang, didorong, lainnya, penelantaran, kekerasan seksual, dikucilkan karena memiliki hubungan dengan orang yang positif atau terpapar covid-19, termasuk menikah sebelum 19 tahun.