”Suara Kirana”, Film yang Mengusung Kampanye Stop Perkawinan Anak
Perkawinan dini, yang membuat anak kehilangan masa remaja, tak optimal belajar, dan kurang bisa mempersiapkan masa depan, terus terjadi. Berbagai upaya digiatkan untuk menghentikannya. Salah satunya, kampanye lewat film.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
Perkawinan anak memberikan dampak yang besar bagi seorang anak. Ketika menikah, anak akan kehilangan masa-masa remaja dan kesempatan melanjutkan pendidikan dan impian masa depan. Karena itulah upaya menghentikan perkawinan anak harus dilakukan secara masif dengan berbagai cara, termasuk kampanye melalui film.
Untuk itulah Plan International Indonesia (PII) memproduksi film pendek bertema stop perkawinan anak bagi kaum remaja Indonesia. Film berjudul Suara Kirana mengangkat kisah Kirana, remaja putri yang cita-citanya kandas karena harus menikah saat masih duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA).
”Film ini diproduksi PII untuk memberi pemahaman bahwa menikah usia anak yang saat ini sedang marak di banyak wilayah akan berdampak buruk bagi anak perempuan Indonesia. Hal ini akan melanggengkan kemiskinan,” kata Budi Kurniawan selaku Yes I Do Project Manager, PII, di Jakarta, Minggu (10/5/2020).
Film Suara Kirana berkisah tentang dua remaja SMA bernama Anggi dan Indra, yang awalnya tertantang mendatangi daerah Pantai Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat, untuk melakukan tugas ”jurnalistik” mencari tahu kebenaran dari sebuah berita tentang hilangnya seorang anak perempuan SMA. Ternyata, Anggi dan Indra menemukan fakta bahwa Kirana bukan hilang karena kejadian mistis, melainkan karena menikah saat masih bersekolah.
Film berdurasi 30 menit ini dapat ditonton secara eksklusif di kanal Plan Indonesia Official Channel (Youtube.com/PlanIndonesiaOfficialChannel) mulai, Sabtu (9/10/2020). Film Suara Kirana dinilai sangat penting untuk membuka ruang diskusi bagi remaja terkait isu perkawinan anak, misalnya soal keputusan menikah pada usia anak dan dampak buruknya, terutama bagi anak perempuan.
Menurut Budi, film yang dibintangi Laras Sardi, Jourdy Pranata, Dhea Seto, serta diproduksi pada 2019 itu akan diluncurkan melalui platform Youtube agar dapat ditonton sebagai pembelajaran bagi anak perempuan ataupun anak laki-laki di seluruh Indonesia.
Apalagi, Indonesia merupakan negara dengan angka perkawinan anak ke-2 tertinggi di ASEAN dan ke-8 tertinggi di dunia. Pada 2018, 1 dari 9 (11,21 persen) anak perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun. Bahkan, 0,56 persen atau sekitar 6.838 anak perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 15 tahun (berdasarkan data Badan Statistik Pusat, 2019).
Kebijakan perkawinan anak di Tanah Air, sejak akhir tahun, mengalami kemajuan setelah DPR dan Pemerintah merevisi UU No 1/1974 tentang Perkawinan dengan menaikkan batas usia minimum menikah bagi laki-laki dan perempuan menjadi 19 tahun.
Upaya menghentikan perkawinan anak, menurut Budi, telah dilakukan Yayasan PII sejak 2017 hingga kini, dengan berbagai kegiatan kampanye dan advokasi di sejumlah daerah, hingga di tingkat desa yang angka perkawinan anak cukup tinggi. Selain itu, PII juga melibatkan kaum muda untuk menjadi pendidik sebaya dalam kampanye pencegahan perkawinan usia anak.
”Melalui berbagai kegiatan kapasitasi, kami ingin mendorong perubahan pola pikir remaja dan memahami berbagai dampak negatif perkawinan anak. Kami ingin supaya mereka punya keinginan untuk mengenyam pendidikan tinggi,” kata Budi.
Dalam pembuatan film Suara Kirana, Yayasan PII menggandeng Pasar Malam Films dalam produksi film Suara Kirana. Pasar Malam Films adalah sebuah rumah produksi film dan musik di Jakarta.
Baik Andrew Kose (sutradara Suara Kirana) maupun Evi Cecilia (produser Suara Kirana), memproduksi film untuk kampanye sosial adalah sebuah kebanggaan bagi mereka.
”Dalam proses produksi film ini, kami belajar banyak mengenai isu perkawinan usia anak. Kami ingin remaja di seluruh Indonesia bisa menikmati film ini dengan membawa pulang pesan bahwa perkawinan usia anak akan merugikan mereka di masa depan,” ujar Evi Cecilia.
Sebelum membuat film tersebut, Andrew dan Cecilia melakukan diskusi-diskusi dengan Yayasan PII bagaimana agar pesan dalam film tersebut bisa sampai dan diterima oleh anak-anak sehingga mereka mengerti dan tidak menjadi korban perkawinan anak.
”Proses pengambilan gambarnya sih cuma empat hari, tetapi prosesnya cukup lama, hampir sekitar enam bulan. Kami berharap film ini bisa bermanfaat karena miris rasanya melihat kalau anak-anak kehilangan masa remaja mereka karena harus menikah. Mereka harusnya masih di sekolah bermain, tetapi harus menikah,” kata Andrew.