Selama Pandemi Covid-19, Kepala Sekolah Cemas dengan Berbagai Masalah
Selain pembelajaran jarak jauh, kekhawatiran kepala sekolah selama pandemi Covid-19 cukup kompleks. Mereka mencemaskan banyak hal, mulai dari cara membantu kesejahteraan siswa sampai bagaimana menangkal informasi palsu.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama pembatasan sosial karena pandemi Covid-19, para kepala sekolah mengalami kekhawatiran multidimensi di luar pembelajaran jarak jauh. Mereka memikirkan banyak persoalan, mulai dari kesejahteraan siswa, keuangan sekolah, ketidakmampuan menjangkau keluarga, tak tahu cara melanjutkan manajemen, anak putus sekolah, hingga menangkal informasi palsu.
Kegelisahan itu menjadi salah satu temuan menarik dalam survei ”Respons Kepala Sekolah di Masa Covid-19” yang dilakukan oleh yayasan nirlaba Inisiatif Kepemimpinan Pendidikan untuk Raih Prestasi (INSPIRASI) dan Global School Leaders di 12 Negara Pendidikan. Hasil survei dirilis Kamis (7/5/2020).
Survei dilakukan secara dalam jaringan (daring) pada 8-14 April 2020. Survei ini dirancang pada platform Google Forms. Total responden mencapai 1.833 kepala sekolah. Untuk Indonesia khususnya, kepala sekolah yang disurvei mencapai 827 kepala sekolah atau 45,12 persen dari total. Kepala sekolah tersebut berasal dari sekolah negeri (458) dan swasta (369).
Apabila diurutkan, tantangan yang dicemaskan kepala sekolah adalah kesejahteraan siswa (74,73 persen), keuangan sekolah (45,10 persen), mengajar dengan metode daring (40,99 persen), ketidakmampuan menjangkau/berkomunikasi dengan keluarga murid (25,5 persen), dan tak tahu cara melanjutkan (9,79 persen). Kemudian, anak putus sekolah (3,51 persen) dan informasi palsu (2,78 persen).
Apabila dibedah lebih detail, ternyata ada perbedaan kekhawatiran yang dirasakan kepala sekolah negeri dan swasta di Indonesia. Berdasarkan survei, kepala sekolah negeri cemas terhadap tantangan kesejahteraan siswa (77,73 persen), mengajar dengan metode daring (41,70 persen), ketidakmampuan menjangkau/berkomunikasi dengan keluarga siswa (33,62 persen), dan keuangan (32,75 persen). Lalu, tak tahu cara melanjutkan manajemen (16,38 persen), informasi palsu (12,01 persen), dan anak putus sekolah (3,06 persen).
Sementara bagi kepala sekolah swasta, kecemasan secara berturut-turut meliputi kesejahteraan siswa (71 persen), keuangan (60,43 persen), mengajar dengan metode daring (40,11 persen), dan ketidakmampuan menjangkau atau berkomunikasi dengan keluarga siswa (15,45 persen). Kemudian, mereka juga mengaku tak tahu cara melanjutkan manajemen (13,01 persen), informasi palsu (7,05 persen), dan anak putus sekolah (4,07 persen).
Sesuai temuan survei, yayasan nirlaba INSPIRASI dan Global School Leaders menyarankan agar pemerintah mengembangkan strategi untuk mendukung pemimpin sekolah, terutama di sekolah swasta. Mereka memiliki kebutuhan unik dan paling berisiko secara finansial.
Secara umum, yayasan nirlaba INSPIRASI dan Global School Leaders berharap pemerintah tetap memberikan fleksibilitas kepada pemerintah sambil menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam mengelola dana bantuan operasional.
Pemerintah juga bisa menyusun dukungan bagi kepala sekolah berdasarkan kekhawatiran terbesar mereka, yakni kesejahteraan siswa, keuangan sekolah, dan cara mengajar dengan metode dalam jaringan. Bentuk dukungan dapat berupa pedoman sederhana dan praktis yang secara khusus dirancang bagi kepala sekolah untuk melengkapi arahan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait pembelajaran jarak jauh.
Kepala SMA Labschool Jakarta Suparno Sastro dalam diskusi virtual ”Manajemen Sekolah di Masa Krisis Covid-19”, Kamis (7/5/2020), menyebut pelaksanaan pembelajaran jarak jauh terus mengalami penyesuaian. Pada tiga hari pertama pembelajaran jarak jauh, dia mengakui, pembelajaran berlangsung dengan memindahkan tatap muka kelas fisik ke kelas virtual sehingga durasinya pun sama, yakni pukul 07.00-15.45. Tiga hari berikutnya, durasi pembelajaran hanya dikurangi sekitar satu jam.
Kemudian, mulai 26 Maret 2020, pembelajaran jarak jauh dikemas pukul 08.00-12.30. Dia mengharuskan guru menggelar kegiatan belajar-mengajar di depan layar maksimal empat jam. Guru diperbolehkan bertatap muka di depan layar sebentar, sisanya siswa mengerjakan tugas dan diunggah hasilnya di platform yang sudah disediakan sekolah.
”Kami terus mengikuti dan menyesuaikan kebutuhan belajar dari guru ataupun siswa, seperti variasi cara penyampaian dan platform. Kami juga melakukan integrasi materi,” kata Suparno.
Wakil Kepala SMK Negeri 1 Palibelo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, Eka Ilham mengatakan, 99 persen siswa berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah, seperti petani dan tukang ojek. Kondisi ekonomi ini menyebabkan pembelajaran jarak jauh dengan metode daring sulit dilakukan. Guru pun akhirnya memutuskan tetap mengajar secara luring dengan cara berkunjung ke rumah siswa. Saat berkunjung, guru tidak jarang memberikan paket bahan pokok.
”Tak semua siswa punya ponsel pintar. Beban pulsa mahal. Ditambah lagi daerah kami suka susah akses jaringan internet,” kata Eka.