Menyampaikan kritik dan pendapat di kampus, termasuk menyampaikan pendapat terkait bidang ilmu yang dikuasai, merupakan hak sivitas akademika.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Kampus merupakan tempat pengembangan daya kritis. Namun, dengan berbagai alasan, sering kali kampus justru membungkam daya kritis yang berkembang di sana. Bahkan, dalam beberapa kasus, kebebasan berpendapat dan menyampaikan kritik dibungkam dengan pemidanaan.
Menyampaikan kritik dan pendapat di kampus, termasuk menyampaikan pendapat terkait bidang ilmu yang dikuasai, merupakan hak sivitas akademika. Termasuk pula hak untuk mengekspresikan secara bebas pendapat mereka tentang lembaga atau sistem di mana mereka bekerja. Terlebih, kebebasan berpendapat dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945.
Namun, pelarangan diskusi ataupun pemutaran film di kampus masih saja terjadi. Tanpa alasan yang bisa diperdebatkan secara akademik, pelarangan ini sama halnya mengekang daya kritis mahasiswa.
Di kalangan akademisi atau dosen, menyampaikan pendapat di dalam dan luar kampus kini dibayangi ancaman Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang disempurnakan oleh interpretasi dan penerapan undang-undang yang tidak tepat.
Kondisi tersebut membuat pendapat dan kritik atas kebijakan internal kampus tanpa menunjuk seseorang yang disampaikan Saiful Mahdi, dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh, di grup Whatsapp Unsyiah berujung pemidanaan. Dia divonis hukuman 3 tahun penjara dan denda Rp 10 juta subsider 1 bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh atas kasus pencemaran nama baik pejabat di Unsyiah.
Kasus serupa dialami Ramsiah Tasruddin, dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Makassar, yang kini menjadi tersangka kasus UU ITE. Pendapat yang disampaikan Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi UIN Alauddin di grup Whatsapp kampus ini juga berujung pada kasus pencemaran nama baik.
Ancaman juga berasal dari luar kampus, terutama dari korporasi. Onrizal, dosen Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara, juga menghadapi ancaman UU ITE. Posting-an foto berita hasil wawancara dirinya yang dimuat di sebuah media berbahasa Inggris di akun Instagram-nya berujung gugatan pencemaran nama baik oleh sebuah perusahan firma hubungan masyarakat.
Sebelumnya, Bambang Hero Saharjo dan Basuki Wasis, dosen IPB University, digugat di pengadilan atas pernyataan mereka sebagai saksi ahli di persidangan. Kedua kasus ini tidak berlanjut; gugatan terhadap Bambang Hero dicabut dan gugatan terhadap Basuki Wasis ditolak pengadilan.
Prinsip kebebasan akademik
Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik Herlambang P Wiratraman berharap keputusan tersebut menjadi yurisprudensi dan memberi harapan prinsip-prinsip kebebasan akademik lebih terakomodasi. Dia menyayangkan putusan PN Banda Aceh yang mengabaikan yurisprudensi.
Bahkan, putusan PN Banda Aceh atas kasus Saiful bertentangan dengan kaidah yurisprudensi soal ”medium terbatas” dalam putusan bebas terhadap ibu rumah tangga Prita Mulyasari pada 2010 dan buruh pabrik Joko Hariono pada 2016. Prita dijerat dengan UU ITE atas pendapatnya yang dikirim melalui grup e-mail Yahoo, demikian juga Joko yang mem-posting pendapatnya di grup Facebook.
Saiful menyampaikan kritik melalui grup Whatsapp Unsyiah, yang anggotanya adalah para akademisi di Unsyiah. Sebagaimana grup e-mail Yahoo dan grup Facebook, grup Whatsapp merupakan medium terbatas. Ditambah lagi Saiful hanya sekali mem-posting kritik terhadap lembaganya di grup Whatsapp Unsyiah dan tidak menyebut/menunjuk seseorang, yang berarti tidak masuk dalam dalil Pasal 27 Ayat 3 UU ITE yang dituduhkan kepadanya.
Saiful mengkritik sistem penerimaan calon pegawai negeri sipil di lembaganya. Dia menuliskan, ”Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup? Gong Xi Fat Cai!!! Kenapa ada fakultas yang pernah Berjaya kemudian memble? Kenapa ada fakultas baru tapi begitu membanggakan? Karena meritokrasi berlaku sejak rekrutmen. Hanya para medioker atau yang terjerat ’hutang’ yang takut meritokrasi.”
Kritik yang disampaikan Saiful tersebut tak pernah dibuktikan di persidangan apakah ada unsur kebohongan. Saiful berani mengungkap informasi yang diterimanya dan diekspresikan secara terbatas dalam grup Whatsapp. Apabila kritik itu mengandung kebohongan atau tidak benar, seharusnya pembohongan publik itu yang harus dibuktikan terlebih dahulu sebelum dinyatakan pencemaran nama baik.
Apa yang disampaikan Saiful di grup Whatsapp Unsyiah, menurut Henri Subiakto, Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika, yang menjadi salah satu saksi ahli dalam persidangan kasus ini, merupakan ekspresi kebebasan berpendapat yang merupakan hak akademik Saiful. Saiful juga tidak menyebarkan posting-annya tersebut keluar grup Whatsapp Unsiyah, posting-annya juga tidak berunsur pencemaran nama baik karena tidak menunjuk pribadi seseorang.
Oleh karena itu, sangat disayangkan majelis hakim tidak mempertimbangkan argumen kebebasan akademik dalam mengambil putusan. Dengan putusan PN Banda Aceh tersebut, kata Herlambang, dunia kampus menjadi tidak lagi bebas mengekspresikan pikiran-pikiran merdekanya di antara komunitasnya. Bahkan, demokratisasi di kampus pun hilang, tak lagi menjadi kampus merdeka.
Padahal, sebagaimana dikatakan Mahfud MD dalam Perspektif Politik Hukum tentang Kebebasan Akademik dan Kritik Sosial (1997), kebebasan akademik sangat fundamental di masyarakat perguruan tinggi. Kebebasan akademik akan memberi jalan bagi lahirnya pikiran-pikiran ilmiah dari kaum intelektual kampus yang kreatif dan produktif dengan gagasan-gagasan barunya.
Bagaimana intelektual kampus akan memiliki kebebasan untuk melaksanakan fungsinya sebagai akademisi atau mengimplementasikan tugas-tugas universitas jika mendapatkan intervensi dan pendapatnya tak lagi bisa bebas disampaikan. Bagaimana jika para akademisi, benteng terakhir ilmu pengetahuan, ini tak lagi bisa bebas.
Ini menjadi tantangan, lanjut Herlambang, kebebasan akademik harus dijamin jika ingin membangun Kampus Merdeka. Kampus Merdeka tidak terpisah dengan kebebasan akademik untuk mengembangkan tradisi keilmuan.