Pembelajaran jarak jauh rupanya tidak sesimpel yang dibayangkan orang. Di sejumlah pelosok daerah, para pelajar harus meminjam telepon genggam tetangga dan pindah ke tempat yang lebih baik untuk menangkap sinyal.
Oleh
Denty Piawai Nastitie
·3 menit baca
Bagi masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan, penerapan belajar jarak jauh untuk mencegah penyebaran virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) yang menyebabkan penyakit Covid-19 relatif mudah terlaksana karena ketersediaan jaringan internet dan sarana-prasarana yang memadai. Namun, di sejumlah pelosok daerah, para pelajar harus meminjam telepon genggam tetangga dan pindah ke tempat yang lebih baik untuk menangkap sinyal.
Hal ini dialami, misalnya, oleh pelajar-pelajar di SMKN 1 Cipeundeuy, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Sebanyak 96 persen dari 700 pelajar yang mengenyam pendidikan di sekolah ini berasal dari keluarga tidak mampu. Begitu ada penerapan belajar jarak jauh, pelajar kebingungan karena sebagian siswa tidak punya telepon genggam, tidak mampu membeli paket data internet, atau tinggal di daerah pegunungan yang sulit dijangkau sinyal internet.
Kepala SMKN 1 Cipeundeuy Deden Suryanto mengatakan, sekitar 560 anak atau 80 persen dari total 700 siswa masih bisa mengikuti pelajaran yang disiapkan guru. Namun, ada sekitar 140 anak yang betul-betul kesulitan.
”Mereka ini kebanyakan yatim-piatu, untuk makan saja susah, dan kebanyakan tidak punya telepon genggam. Ketika harus mengikuti ujian sekolah, mereka pinjam telepon genggam ke tetangga atau ke teman,” ujarnya.
Deden menjelaskan, para guru telah menyiapkan modul dan sistem pembelajaran digital untuk siswa. Pelajaran disiapkan menggunakan aplikasi, seperti Webex, Google Classroom, dan Google Meet, tetapi kemudian banyak siswa yang tinggal di daerah perkampungan dan pegunungan yang kesulitan belajar. ”Jangankan untuk membuka aplikasi dan belajar secara digital, untuk menerima telepon saja susah,” katanya.
Belajar kelompok terbatas
Pembelajaran secara daring dan tatap muka melalui konferensi video akhirnya harus disiasati dengan menggunakan aplikasi komunikasi yang relatif lebih mudah dibuka, yaitu Whatsapp. Pelajar-pelajar yang kesulitan mendapatkan sinyal di rumah diminta untuk datang ke rumah temannya dengan jaringan yang lebih baik. ”Kami membatasi mereka boleh belajar berkelompok maksimal tiga orang dengan tetap menjaga jarak fisik,” kata Deden.
Sebagian pelajar merupakan pemegang Kartu Indonesia Pintar dan juga menerima bantuan sosial penanganan Covid-19 dari pemerintah. Namun, mengingat banyak kebutuhan yang lebih mendesak, seperti untuk membeli beras, Deden tidak bisa memaksa pelajar untuk membeli telepon genggam atau paket data internet.
Nantinya, SMKN 1 Cipeundeuy akan memanfaatkan dana bantuan operasional sekolah (BOS) reguler untuk membantu guru dan siswa yang kesulitan dengan sistem belajar jarak jauh. ”Sementara ini, kami masih subsidi mandiri. Saya menekankan kepada guru-guru dan sekolah untuk melakukan apa pun yang bisa dilakukan dengan sebaik-baiknya sambil menunggu dana BOS turun,” katanya.
Orangtua pelajar di SMKN 1 Cipeundeuy, Atang Agus, mengatakan, anaknya tidak terlalu kesulitan untuk mengikuti belajar jarak jauh karena sudah mempunyai telepon genggam. ”Kesulitannya hanya untuk mengisi pulsa harus lebih dari biasanya,” kata Atang.
Ia menjelaskan, putrinya, Dwi Nurul Hidayanti, yang duduk di kelas X1 sering kedatangan teman yang bertanya mengenai tugas sekolah. ”Sebanyak 3-4 siswa sering datang ke rumah untuk bertanya ada tugas apa dari sekolah. Anak-anak itu tidak punya telepon genggam atau rumahnya susah sinyal jadi harus bertanya mengenai tugas ke anak saja,” katanya.
Sebagai anggota komite sekolah, Atang sering menerima keluhan dari orangtua terkait belajar jarak jauh ini. ”Secara pribadi, saya berharap semoga wabah ini segera berlalu sehingga kehidupan bisa kembali normal. Banyak sekali dampak yang dirasakan orang tua dan anak-anak dari keluarga kurang mampu karena wabah dan sistem belajar yang berubah menjadi digital ini,” katanya.