Pandemi Covid-19 Menciptakan Dunia yang Aneh bagi Anak-anak
Pandemi Covid-19 telah menciptakan dunia yang aneh buat anak-anak. Mereka tak lagi bebas pergi ke sekolah, belajar dengan tatap muka bersama guru, atau bermain. Mereka terkungkung di rumah. Hak mereka rentan terabaikan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Truk tangki Palang Merah Indonesia (PMI) menyemprotkan cairan disinfektan ke pinggir Jalan Gatot Subroto, Pancoran, Jakarta Selatan, pada hari kedua pelaksanaan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), Sabtu (11/4/2020). Penyemprotan disinfektan di sejumlah kawasan masih terus rutin dilakukan sejak awal tanggap darurat Covid-19 hingga memasuki hari kedua PSBB.
Pandemi Covid-19 masih merundung Indonesia. Jumlah kasus pasien positif dan korban meninggal terus bertambah setiap hari. Kondisi ini, yang diikuti dengan kebijakan pembatasan sosial berskala besar, telah berdampak serius terhadap berbagai aspek kehidupan. Salah satunya, kehidupan anak-anak.
Sebelum pandemi, anak-anak bebas berkegiatan. Mereka yang telah menjadi siswa leluasa pergi ke sekolah untuk belajar setiap hari. Mereka yang masih anak balita, enak saja bermain di rumah masing-masing atau di lingkungannya. Dunia terasa menyenangkan.
Kini, setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi dunia, kehidupan anak-anak berubah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerapkan kebijakan, tak ada lagi belajar dengan tatap muka langsung antara guru dan siswa di sekolah. Sebagai gantinya, diterapkan sistem belajar jarak jauh dengan mengandalkan jaringan internet.
Anak-anak juga tidak bebas bermain sebagaimana biasa. Pembatasan sosial bersekala besar, yang telah diputuskan diberlakukan oleh Presiden Joko Widodo, membatasi kegiatan semua orang. Warga diminta untuk tinggal di rumah, bekerja dari rumah, beribadah dari rumah. Anak-anak pun tak bebas keluar rumah.
Kondisi itu berakibat besar terhadap anak-anak. Mereka hanya dapat bermain dengan keluarga inti di rumah, dengan orangtua atau saudaranya. Tidak lagi bebas berkumpul dengan teman sebaya dan bermain di lingkungan lebih luas, apalagi main kejar-kejaran yang mengasyikkan di lapangan.
Virus korona baru, penyebab penyakit Covid-19, telah menciptakan dunia yang ”aneh” dan sama sekali berbeda bagi anak-anak. Mereka terkungkung di rumah. Semakin lama situasinya terasa semakin membosankan. Dalam kondisi demikian, orangtua dan masyarakat diharapkan tetap berupaya memenuhi hak yang harus diperoleh oleh anak.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Anak-anak mencuci tangan menggunakan fasilitas cuci tangan umum di kawasan Senen, Jakarta Pusat, Jumat (10/4/2020). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta resmi menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) selama 14 hari ke depan. Hal tersebut sebagai upaya untuk menekan penyebaran virus korona baru yang menyebabkan Covid-19.
Ketua Gugus Kerja Kampanye dan Media Save The Children Indonesia Victor Rembeth, dalam konferensi pers tanpa tatap muka di Graha BNPB, Jakarta, Sabtu (11/4/2020), mengatakan, hak anak harus dipastikan tetap dipenuhi di tengah pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini. Hak tersebut mulai dari hak kesehatan, hak pendidikan, hak kasih sayang, hingga hak hiburan.
”Pastikan tumbuh kembang anak didukung secara optimal. Ada empat hal dari tumbuh kembang yang harus diperhatikan, yaitu anak bisa tumbuh dengan sehat, bisa belajar dengan baik dan berkualitas, terlindung dari kekerasan krisis ataupun bencana, serta bisa berpartisipasi,” katanya.
Menurut dia, anak-anak merupakan salah satu kelompok rentan akibat krisis kesehatan global Covid-19. Karen itu, anak-anak harus menjadi perhatian utama dalam penanganan penyakit ini. Waktu panjang untuk belajar di rumah dan tinggal dalam waktu panjang bersama orangtua di rumah seharusnya bisa menjadi kesempatan untuk memperbaiki kualitas anak-anak.
Spesialis Komunikasi Perubahan Perilaku Unicef Rizky Ika Syafitri menuturkan, selain hak anak di bidang pendidikan dan kesehatan, masyarakat juga perlu paham akan hak anak untuk mendapatkan informasi yang baik dan benar. Jajak pendapat yang diadakan Unicef menunjukkan, sekitar 50 persen anak belum mendapatkan informasi yang cukup terkait Covid-19. Itu membuat mereka menjadi tidak terlindungi dari paparan penyakit ini.
”Informasi yang lengkap yang bisa diterima oleh anak soal Covid-19 penting agar intervensi bisa diberikan dengan baik ke anak. Anak pun paham mengapa harus menjaga jarak dan tetap berada di rumah,” ujarnya.
Kompas/AGUS SUSANTO
Remaja menggunakan masker di Terminal Pulo Gadung, Jakarta Timur, Jumat (10/4/2020). Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 33/2020 mengenai pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dalam penanganan Covid-19 yang terdiri atas 28 pasal diterapkan mulai Jumat (10/4/2020) hingga 14 hari ke depan (dapat diperpanjang). Segala kegiatan belajar, bekerja, dan beribadah harus dilaksanakan di rumah.
Informasi yang tidak lengkap ini, menurut Sekretaris Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Eko Novi Ariyanti, juga bisa mengganggu psikologis anak. Selain itu, anak juga justru bisa semakin tidak peduli dan abai terhadap anjuran pencegahan penularan Covid-19.
Survei yang dilakukan oleh KPPPA yang digagas melalui Forum Anak Indonesia memperlihatkan hal baik, yakni 98 persen anak menjadi lebih baik menjalankan kebiasaan dan pola hidup bersih sehat. Namun, 74 persen anak juga melihat bahwa kondisi lingkungan sekitarnya tidak menjalankan aturan jaga jarak karena masih banyak yang keluar dari rumah.
”Masalah lain ditunjukkan dalam proses belajar anak. Sebagian anak mengeluh terlalu banyak mendapatkan tugas. Selain itu, penyediaan akses internet juga diharapkan bisa lebih lancar untuk mendukung pembelajaran di rumah yang efektif,” tutur Eko.