Mahasiswa Tingkat Akhir Diizinkan Memperpanjang Masa Belajar
Mahasiswa semester akhir yang terancam "drop out" atau gagal menyelesaikan kuliah diizinkan memperpanjang studi selama satu semester. Kebijakan ini menyesuaikan kondisi kampus yang tengah menghadapi pandemi Covid-19.
JAKARTA, KOMPAS —Para pemimpin perguruan tinggi diharapkan lebih luwes dalam masa pendemi Covid-19. Salah satunya, mahasiswa semester akhir yang terancam dropout atau gagal menyelesaikan studi, diizinkan untuk memperpanjang masa studi sampai satu semester lagi.
Kebijakan itu sesuai Surat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 302/E.E2/KR/2020 tentang Masa Belajar Penyelenggaraan Program Pendidikan. Masa belajar paling lama bagi mahasiswa yang seharusnya berakhir pada semester genap 2019/2020, dapat diperpanjang satu semester.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Nizam, akhir pekan lalu, di Jakarta, menjelaskan, ketentuan itu berarti Kemdikbud memberikan perlindungan bagi mahasiswa yang terancam drop out karena ada pembatasan sosial yang mengharuskan peniadaan tatap muka di kelas karena darurat Covid-19. Dia lantas mencontohkan mahasiswa strata 1 angkatan 2013/2014 yang masa studinya berakhir semester ini.
”Kebijakan itu bukan serta merta berlaku semua mahasiswa diperpanjang masa studinya satu semester. Kebijakan itu hanya untuk melindungi mahasiswa yang terancam drop out,” ujarnya.
Nizam mengatakan, selama masa belajar dari rumah, mahasiswa seharusnya lebih mudah berkomunikasi dan bimbingan skripsi dengan dosen. Pada hari normal, mahasiswa harus janjian dulu bertemu tatap muka untuk bimbingan. Kini, mahasiswa dapat setiap saat konsultasi melalui platform dalam jaringan (daring), seperti aplikasi pesan instan atau media daring lainnya.
Dia memperkirakan, jumlah mahasiswa yang terancam drop out kurang dari 10 persen dari total. Mahasiswa semester akhir pun biasanya sudah tidak banyak mengambil mata kuliah. Dengan demikian, kebijakan Ditjen Pendidikan Tinggi yang memperbolehkan perpanjang satu semester bagi mahasiswa yang seharusnya berakhir pada semester genap 2019/2020 tidak akan mengganggu penerimaan mahasiswa baru.
Perguruan tinggi diimbau agar tidak mempersulit mahasiswa tingkat akhir. Untuk karya tulis akhir, misalnya, mahasiswa tidak harus mengumpulkan data primer di lapangan atau laboratorium. Metode dan waktunya bisa beragam dan fleksibel sesuai dengan arahan dosen pembimbing.
Nizam menambahkan, pihaknya juga mempersilakan perguruan tinggi mengatur kembali jadwal dan metode ujian dengan memperhatikan situasi kampus. Beragam metode baru dapat dipilih, antara lain penugasan esai, kajian pustaka, dan proyek mandiri. Hal yang tidak boleh dilupakan adalah kualitas pemelajaran mahasiswa.
”Upacara wisuda memang sebaiknya ditunda. Akan tetapi, surat kelulusan dan ijazah tetap bisa diterbitkan,” ujarnya.
Baca juga: Solidaritas untuk Mahasiswa yang Kesulitan Saat Pandemi Covid-19
Tanggapan kampus
Rektor Universitas Atma Jaya Yogyakarta Yoyong Arfiadi saat dihubungi terpisah, dari Jakarta, mengatakan, pihak kampus mengupayakan maksimal agar angkatan 2013/2014 yang sekarang mengerjakan skripsi atau tugas akhir bisa mengikuti yudisium pada Juli 2020. Sementara untuk kasus khusus, kampus secara selektif akan mempertimbangkan pemberian perpanjangan waktu.
Menurut dia, total mahasiswa angkatan 2013/2014 saat ini mencapai sekitar 209 orang. Apabila ada mahasiswa yang masa studinya mundur akibat situasi darurat Covid-19, sistem cek Penomoran Ijazah Nasional (PIN) dan Sistem Verifikasi Ijazah secara Elektronik (Sivil) Ditjen Pendidikan Tinggi mengakomodasi sehingga ijazah dapat terbit.
Menanggapi arahan Kemdikbud, Kepala Biro Komunikasi dan Hubungan Masyarakat Institut Teknologi Bandung (ITB) Naomi Haswanto mengatakan, ITB mengeluarkan Surat Edaran Nomor No 244/IT1.B04.2/PP/2020 tentang Tugas Akhir/Tesis/Disertasi, Kriteria Kelulusan, Batas Waktu Studi, dan Biaya Penyelenggaraan Pendidikan (BPP). Surat edaran itu dikeluarkan tanggal 2 April.
Dia menjelaskan, substansi surat edaran adalah meminta dosen pembimbing tugas akhir dapat menyesuaikan bagian dari keseluruhan lingkup tugas yang memerlukan kegiatan laboratorium/studio/lapangan/industri. Dosen pembimbing bisa mengganti kegiatan tersebut dengan studi literatur dengan tetap menjaga pemenuhan capaian pemelajaran.
Sebagai contoh, mahasiswa bisa mencari literatur ilmiah yang di dalamnya membahas kegiatan laboratorium atau kegiatan lapangan yang sejenis yang pernah dilakukan oleh mahasiswa atau peneliti di universitas lain, baik nasional maupun internasional. Lalu, mahasiswa mengkaji hasil penelitian di literatur ilmiah itu dan dijadikan referensi tugas akhir mereka.
Bagi mahasiswa yang mengalami hambatan saat menyelesaikan tugas akhir/tesis/disertasi sehingga mereka harus memperpanjang masa studi, ITB memperbolehkan perpanjang hingga maksimal satu semester. Perpanjangan ini tidak diperhitungkan dalam penentuan capaian kriteria kelulusan. Dosen pembimbing bisa memberikan pernyataan dan rekomendasi tertulis bahwa penambahan masa studi mahasiswa diakibatkan oleh permasalahan terkait Covid-19.
”Di ITB, semester ini telah berjalan tiga bulan sebelum pandemi Covid-19 menerjang, bahkan tinggal satu bulan lagi kuliah berakhir. Di kalender akademik ITB, akhir kuliah, yaitu tanggal 22 April 2020. Saya rasa, rata-rata mahasiswa tingkat akhir sudah dapat data dari lapangan sehingga peraturan tersebut buat berjaga-jaga,” ujar Naomi.
Dia menekankan, perpanjangan masa belajar satu semester bagi mahasiswa tingkat akhir diupayakan ITB tanpa mengorbankan mutu. ITB menganggap, darurat Covid-19 sebagai kondisi prihatin dan bukan situasi ideal.
Kurang berpengaruh
Sabila, mahasiswa strata satu Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung, menilai, kebijakan perpanjangan masa belajar satu semester bagi mahasiswa tingkat akhir berlaku untuk kasus tertentu. Dia merasa kebijakan itu tidak terlalu berpengaruh.
Dia sedang menyelesaikan laporan skripsi. Proses konsultasi dapat dilakukan melalui dalam jaringan, tetapi dosen pembimbingnya tetap meminta pertemuan tatap muka untuk urusan revisi data penelitian lapangan. Metode penelitian skripsi dia adalah kuantitatif dengan menyebar kuesioner.
Yusup S Martyastiadi, dosen peminatan Desain Interaksi Universitas Multimedia Nusantara (UMN), sekaligus kandidat Doktor Seni Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, menilai menarik ada kebijakan perpanjangan masa studi satu semester bagi mahasiswa tingkat akhir. Kebijakan itu terkesan berpihak pada mahasiswa.
Namun, dia meyakini, pelaksanaannya di lapangan tidak semudah kata-kata. Realisasi pemberian perpanjangan masa belajar selektif kepada mahasiswa tingkat akhir yang membutuhkan.
Pemberian perpanjangan masa belajar bagi mahasiswa tingkat akhir bukan solusi efektif. Sebaliknya, dia menganggap, hal itu bisa menjadi masalah tanggung jawab mahasiswa.
Menurut dia, logika sederhananya adalah ketika seorang mahasiswa sudah di batas akhir masa studi dan berpotensi drop out, kondisi itu sebenarnya tidak ideal karena melebihi masa studi tepat waktu. Orang-orang biasanya akan mempertanyakan mengapa tugas akhir tak kunjung selesai-selesai sehingga harus berada pada masa akhir studi. Apabila sudah molor, lalu mahasiswa diberikan waktu perpanjangan, kebijakan itu tidak memiliki esensi.
Kecuali, kebijakan pemberian perpanjangan disaring. Misalnya, perpanjangan hanya diperuntukkan khusus untuk menyelesaikan semester penyelamatan di ujung semester ini. Itupun pelaksanaan kebijakan harus melihat perkembangan penyelesaian final tugas akhir mahasiswa," ujar Yusup.
Bagi dia pribadi yang sedang menyelesaikan doktoralnya, kebijakan pemberian perpanjangan tidak mempengaruhi. Hanya saja, proses penelitian lapangan dia menjadi terhambat karena adanya anjuran tidak boleh melakukan observasi lapangan di tengah pandemi Covid-19.
”Penelitian doktoral saya tentang penciptaan gim realitas virtual tiga dimensi. Metodologi penelitian saya memerlukan user test play, observasi, wawancara, dan forum group discussion,” katanya.
Baca juga: Antisipasi Covid-19, UI dan UMN Terapkan Kuliah Jarak Jauh