Dalam bahasa Indonesia sering orang menggunakan kata "kita", padahal yang dimaksud sebenarnya adalah "kamu". Bagaimana memahami
Oleh
Joost W Mirino
·3 menit baca
Pada 1989 terbit (versi bahasa Indonesia) buku Penerjemahan Berdasar Makna: Pedoman untuk Pemadanan Antarbahasa karya Mildred L Larson. Buku itu diacu di sini dengan selipan bahan di sana-sini meski tulisan ini tak menyinggung penerjemahan.
Dalam bahasa Indonesia sering orang memulai pembicaraan dengan mengatakan, "Hari ini kita akan membahas..." Selanjutnya si pembicara berceloteh sendiri dari awal hingga akhir pertemuan; pendengar tidak terlibat bicara sekali pun meski si pembicara menggunakan kita (saya dan kamu). Bentuk pronomina subjek kalimat tadi disebut editorial kita; kita yang digunakan bermakna sekunder, yakni \'saya\' (tunggal), sementara--kita tahu--makna primernya adalah \'saya dan kamu\' (jamak).
Bahasa Indonesia juga menggunakan pronomina kita meski subjek yang dirujuk sebenarnya persona kedua, kamu. Pemakaian kita dalam makna sekunder seperti itu rupanya bukan monopoli bahasa Indonesia, dalam bahasa Inggris pun dikenal contoh-contoh serupa seperti yang dipampangkan Larson dalam bukunya yang sudah diindonesiakan itu:
Perawat : Sudah waktunya kita minum obat.
Ibu : Kita tidak boleh ribut.
Guru : Kita tidak boleh berteriak.
Dalam ketiga kalimat itu, jika kita bermakna primer, maka perawat juga “minum obat”, ibu “harus tenang”, dan guru “tidak boleh berteriak”. Namun, yang dimaksudkan di sini tidaklah demikian. Dalam contoh di atas kita bermakna sekunder atau yang diperluas: pronomina persona pertama jamak, kita, digunakan untuk makna persona kedua, kamu/kalian. Tujuannya untuk menunjukkan empati dan pengertian. Perawat mengatakan kepada anak yang sakit, “Sudah waktunya kita minum obat”, tetapi yang dimaksud perawat di sini dengan kita ialah anak-anak yang disapanya, yang mestinya disebut dengan kamu.
Salah satu contoh bahasa yang diungkapkan Larson kerap menggunakan makna sekunder suatu pronomina ialah bahasa Aguaruna (Peru). Jika seorang pemakai bahasa Aguaruna datang di klinik berobat dan mengatakan "saya sakit", maka sesudah perawat menanyakan gejalanya dan bersiap menuliskan resep, pasien itu mengatakan "istri sayalah yang sakit".
Contoh ini punya kesepadanan dengan sebuah humor Papua (mop) tentang seorang bapak mengantar anaknya yang demam kepada dokter. Setelah memeriksa anak itu, dokter menuliskan resep seraya menyampaikan bahwa anak itu terserang malaria. “Dokter, bukan hanya dia, tiga saudaranya di rumah juga kena sakit yang sama,” kata si bapak. “Saya cuma bawa satu anak sebagai contoh.”
Dalam bahasa Aguaruna, persona pertama tunggal tidak hanya mencakup saya sendiri, tapi juga keluarga saya. Jadi, perkataan saya sakit, berarti ada orang lain dalam keluarga yang sakit, yang mempersyaratkan perawat bertanya lebih lanjut. Saya mengandung atau merepresentasikan saya-saya yang lain. Begitu pun dalam mop tadi.
Larson menyebut bahwa di Amerika pun kerap ada politikus menggunakan saya untuk menyapa khalayaknya meski kamu lebih tepat: "Jika saya tidak membayar pajak, ..." Perkataan "Jika kamu tidak membayar pajak" terasa “tembak” langsung dan terkesan tidak sopan.
Joost W Mirino, Pewarta, berdomisili di Jayapura, Papua