Proses legislasi Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi salah satu isu paling menarik perhatian sepanjang tahun 2019. Namun, pembahasan rancangan regulasi itu berjalan lambat.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
Proses legislasi Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan salah satu isu paling menarik perhatian publik, sepanjang tahun 2019. Perjalanan rancangan undang-undang itu menyatukan gerakan perempuan di Tanah Air tapi sekaligus memecah kekuatan perempuan.
Kendati ruh rancangan undang-undang (RUU) itu untuk melindungi dan memberi keadilan bagi korban kekerasan seksual, terutama perempuan dan anak perempuan, proses legislasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tak berjalan mulus.
Kekuatan perempuan terbelah, pro dan kontra terhadap RUU itu. Upaya meloloskan RUU tersebut jadi undang-undang seakan-akan menjadi wilayah perjuangan organisasi/kelompok atau aktivis gerakan perempuan, seperti Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan organisasi perempuan pembela hak asasi manusia (HAM) perempuan. Di sisi lain, muncul gerakan perempuan lain yang mengusung ideologi agama dan menentang RUU itu disahkan menjadi UU.
“Kelompok perempuan digunakan untuk menyerang dan melemahkan agenda advokasi penghapusan kekerasan seksual. Isu penghapusan kekerasan seksual dihadapkan dengan isu agama dan moralitas, dengan memakai perangkat dan bahasa demokrasi serta hak asasi manusia,” ujar Ketua Komnas Perempuan, Azriana Manalu, pada acara Laporan Pertanggungjawaban Komnas Perempuan 2015-2019, Kamis (19/12/2019) di Jakarta.
Isu penghapusan kekerasan seksual dihadapkan dengan isu agama dan moralitas, dengan memakai perangkat dan bahasa demokrasi serta hak asasi manusia.
Kuasa patriarki membuat kelompok perempuan saling berseberangan dan meretas bangunan peradaban hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia dan kekerasan pada perempuan sebagai pelanggaran HAM lama diperjuangkan. Sebab, kekerasan seksual ditempatkan sebatas masalah moralitas yang penanganannya cukup meminta perempuan menutup tubuh, menjaga moral, dan kembali kepada keluarga.
“Sesungguhnya, kuasa patriarki ini bukan sekedar menghambat pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, tetapi secara sistematis sedang mematikan daya kritis perempuan,” kata Azriana.
Ani Soetjipto, pengajar Program Studi Kajian Jender, Pascasarjana Universitas Indonesia menilai, dalam isu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, kekuatan perempuan terbelah. Kelompok pro RUU dinilai oleh kelompok kontra RUU sebagai feminis yang berkiblat dari barat, melawan agama, memperjuangkan hak-hak kaum marjinal dan individual, bahkan LBGT (lesbian, gay, biseksual, dan transjender). Sementara kelompok kontra mengusung ketahanan keluarga.
Dua kekuatan perempuan itu dibenturkan satu sama lain, lalu dimobilisasi dan berperang di media sosial. Pembelahan itu tidak ada titik temunya, dan misi melindungi perempuan dari kekerasan seksual pun tak tercapai. “Padahal, dalam ruang demokratik, perbedaan pendapat itu ialah sesuatu yang niscaya, orang berbeda pendapat biasa, tapi kita harus punya titik temu,” kata Ani.
DPR terbelah
Para wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), juga terbelah. Padahal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan inisiatif DPR. Namun, berbeda dengan RUU yang lain, proses legislasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di DPR justru terkesan “dihambat” oleh DPR sendiri.
Meski DPR membentuk Panitia Khusus RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Komisi VIII, terasa sekali kepentingan politik mewarnai perjalanan RUU itu. Di lingkungan DPR, di tiap pertemuan yang membahas proses RUU itu, yang mendominasi justru suara penolakan atas RUU. Salah satu alasan dikemukakan sejumlah anggota pansus ialah khawatir RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bertabrakan dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Hanya segelintir wakil rakyat berani berbicara atau “pasang badan” memperjuangkan lolosnya RUU itu. Pascapemilu 2019, sikap DPR tak banyak berubah. Meski Pansus RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Komisi VIII DPR menjadwalkan pembahasan RUU tersebut, kenyataannya hingga akhir masa jabatan DPR periode 2014-2019, pembahasan RUU itu tak ada kemajuan berarti.
Kecuali kesepakatan membentuk tim perumus RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, DPR tak pernah masuk pembahasan RUU tersebut. Belakangan DPR menyatakan RUU tersebut akan di-carry over (pembahasan RUU yang belum selesai bisa dilanjutkan) oleh DPR periode berikut.
Di akhir tahun 2019, akhirnya harapan berlanjutnya RUU itu kembali hadir, pasca pelantikan anggota DPR periode 2019-2024. Awal Desember lalu, Rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR menyepakati 50 RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2020, termasuk RUU Penghapusan Kekerasan yang masuk dalam urutan ke-31. Namun, hingga paripurna penutupan masa sidang I DPR, 17 Desember lalu, DPR tak mengesahkan 50 RUU itu. Yang ada, DPR mengesahkan 248 RUU yang masuk Prolegnas 2020-2024.
Para aktivis gerakan perempuan tetap menaruh harapan besar pada DPR melanjutkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, dan menjadikan sebagai Prolegnas Prioritas 2020.
Melihat pengalaman selama ini, tiap komisi hanya boleh mengusulkan dua RUU sebagai Prolegnas Prioritas, Koordinator Jaringan Kerja Program Legislasi Pro Perempuan, Ratna Batara Munti, berharap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tak dibahas lagi di Komisi VIII DPR, tapi di lintas komisi atau di Baleg DPR.
“Kami juga berharap pembahasan nanti tidak lagi menggantungkan pada pembahasan RKUHP. Karena RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah RUU khusus yang lebih mendesak ketimbang RKUHP,” katanya.
Ubah cara pandang
Pengalaman 2019 seharusnya jadi pengalaman berharga bagi semua perempuan di Tanah Air. Ke depan perempuan harus berhenti melihat pandangan yang dikotomi. Jangan lagi, bicara gerakan perempuan di arena politik sebatas bicara kuota atau pemilu, seolah urusan kekerasan terhadap perempuan, kekerasan seksual, bukan urusan perempuan di arena politik. Dan, yang terpenting, gerakan perempuan harus bersinergi, berkolaborasi, dengan gerakan lain.
Karena itu, mengawal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi UU seharusnya menjadi gerakan semua perempuan. Seperti harapan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD, pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan memberi jalan keluar bagi perlindungan perempuan, sekaligus menjawab rasa keadilan yang didambakan masyarakat.
Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus menjadi langkah besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, serta menjadi bagian untuk mengubah paradigma masyarakat agar tidak lagi melakukan tindakan tindakan kekerasan seksual dalam bentuk apa pun.