Kendati sudah 16 tahun Undang-Undang Perlindungan Anak berlaku, kekerasan seksual masih saja membayangi anak-anak di Tanah Air. Sepanjang tahun 2018, kasus kekerasan di sekolah didominasi kekerasan seksual.
JAKARTA, KOMPAS — Sepanjang periode Januari-Desember 2018, Komisi Perlindungan Anak Indonesia menemukan ada 177 siswa yang menjadi korban kekerasan seksual di lingkungan sekolah. Dari 177 korban tersebut sebanyak 135 korban adalah siswa laki-laki, sisanya 42 korban adalah siswa perempuan.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian diperbarui menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 sejatinya menurunkan angka-angka kasus itu.
“Ada tren di tahun 2018, justru siswa laki-laki lebih rentan menjadi korban kekerasan seksual dibandingkan siswa perempuan,” ujar Retno Listyarti, Komisioner KPAI Bidang Pendidikan dalam keterangan Catatan Akhir Tahun KPAI di bidang pendidikan, Kamis (27/12/2018) di kantor KPAI Jakarta.
Kondisi tersebut seharusnya menjadi perhatian orangtua, agar jangan hanya berpikir bahwa anak perempuan yang biasanya jadi korban sehingga abai menjaga laki-laki.
"Padahal kalau dari fakta yang kami dapatkan justru saat anak-anak laki-laki rentan pelecehan seksual. Jadi semua anak-anak harus dijaga,” tegas Retno yang didampingi Susianah, Komisioner KPAI Bidang Sosial dan Anak dalam Situasi Darurat.
Dari pantauan KPAI, semua kasus kekerasan seksual yang menimpa siswa-siswa di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, pelakunya kebanyakan guru baik guru olahraga, bahasa Indonesia, seni dan budaya, dan wali kelas. Ada juga petugas keamanan.
Modus kekerasan seksual bervariasi, ada yang mengajak korban ke rumahnya untuk membantu mengoreksi hasil ujian, ada yang menjanjikan ilmu kesaktian, atau mengancam akan menurunkan rangking atau tidak naik kelas. Selain itu ada juga yang melalui bujuk rayu, mengirim konten-konten pornografi, serta langsung melakukan pelecehan seksual terhadap siswanya.
Ajari anak lindungi diri
Untuk melindungi anak dari kejahatan seksual ada beberapa langkah yang bisa dilakukan, yakni membantu anak melindungi dirinya sendiri dengan pemahaman dan mengajarkan anak untuk menolak segala perbuatan yang tidak senonoh dengan segera. "Ingatkan anak untuk tidak gampang mempercayai orang asing dan buat anak untuk selalu menceritakan jika terjadi sesuatu pada dirinya," kata Retno.
Selain itu, memberikan anak pendidikan kesehatan reproduksi dengan pendekatan yang sesuai dengan usia, serta melaporkan kepada pihak kepolisian jika ada kekerasan kekerasan fisik, psikis, ataupun seksual.
Selain kekerasan seksual, KPAI mencatat sepanjang tahun 2018 juga terjadi kekerasan fisik, kekerasan verbal, dan perundungan di lingkungan sekolah. Kasus kekerasan di lingkungan pendidikan mendominasi (228 kasus/51,2 persen) dari total kasus di bidang pendidikan tahun 2018 yang mencapai 445 kasus. Selain kekerasan, ada 144 kasus (32,3 persen) tawuran pelajar, dan 73 kasus (16,5 persen) anak korban kebijakan.
“Memberi sanksi atau menghukum siswa dengan kekerasan yang dilakukan pendidik di tahun 2018 cukup tinggi kejadiannya, mulai dari menampar, menjemur, dan lain sebagainya,” ujar Retno.
Sepanjang 2018 KPAI juga mencatat permasalahan di pendidikan yang dihadapi anak-anak pascabencana alam gempa, tsunami dan banjir terjadi di beberapa daerah.
Segera lapor
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hamid Muhammad mengatakan, sekolah sejatinya merupakan lingkungan yang aman bagi siswa. Karena itu, jika ada indikasi sebuah sekolah melestarikan budaya yang memberi ruang bagi kekerasan fisik, psikis, seksual, verbal, dan sosial, masyarakat harus segera melaporkan.
“Selain menyebarluaskan di media arus utama dan media sosial, juga laporkan kepada kepala daerah terkait. Bagaimanapun juga, praktik di sekolah harus diawasi tidak hanya oleh komite sekolah, tetapi juga masyarakat secara luas,” tuturnya.(DNE)