JAKARTA, KOMPAS — Proses pendidikan Matematika perlu dibenahi untuk menekankan pada penalaran dan berpikir kritis. Untuk itu, guru perlu dibantu untuk mengembangkan pembelajaran bermakna dan memanfaatkan sumber daya yang mendukung dirinya meransang proses berpikir di kalangan siswa.
Seperti diberitakan Kompas sebelumnya, sejumlah aktivis pendidikan mendeklarasikan Gerakan Nasional Berantas Buta Matematika (Gernas Tastaka). Gerakan ini berangkat dari keprihatinan tidak berkembangnya kemampuan bermatematika siswa dari SD hingga SMA, bahkan untuk kompetensi dasar matematika. Padahal, belajar matematika secara berkualitas dibutuhkan untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan bernalar.
Kepala Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Totok Suprayitno di Jakarta, Senin (12/11/2018), mengatakan dari pengukuran hasil belajar siswa menggunakan Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI), dapat diketahui kemampuan siswa dalam penguasaan konsep, kemampuan menjelaskan (reasoning), dan kemampuan menerapkannya dalam kehidupan. Selain matematika, diukur kemampuan sains dan matematika. Saat ini, AKSI masih dalam proses pengembangan untuk kelas 4, kelas 8, dan kelas 11.
"Problemnya, tampaknya pada proses pembelajaran yang kurang menekankan pada penalaran dan berpikir kritis atau critical thinking. Kami menilai intervensi ke guru bisa punya dampak yang signifikan. Sebab, proses belajarlah yang paling menentukan hasil belajar," kata Totok.
Menurut Totok, hasil asesmen dari AKSI (ada dua model yakni AKSI survei dan AKSI sekolah, didesain mirip tes internasional PISA, tapi dengan konteks lokal) merupakan peta kompetensi siswa dari dimensi-dimensi yang mengarah pada kemampuan berpikir tingkat tinggi. "Diharapkan hasilnya menjadi masukan bagi guru untuk merefleksi diri dan masukan untuk proses perbaikan kompetensi guru yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah," jelas Totok.
Menurut Totok, hasil pengukuran belajar siswa dalam matematikan, sains, dan membaca lewat AKSI maupun untuk mata pelajaran yang diujikan secara nasional (UN), sudah dikoordinasikan dengan Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan serta Pendidikan Dasar dan Menengah.
"Memang belum masif ya, karena saat ini masih pengembangan dan pengayaan item soal. Bahkan Bappenas dan Biro Perencanaan kami dorong untuk menggunakannya sebagai indikator mutu dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Rencana strategis," papar Totok.
Perbaikan proses pembelajaran
Menurut Totok, saat ini kata kuncinya pada perbaikan proses pembelajaran untuk peningkatan kompetensi siswa. "Jadi, bukan mengukurnya. Tiap hari mengukur, betapa pun baik dan akurat alat ukurnya, akan percuma jika tak ada ikhtiar perbaikan," kata Totok.
Sementara itu, Dosen Matematika Sampoerna University Dhita Puti Saraswati mengatakan buta matematika yang dialami siswa Indonesia lebih karena proses pendidikan yang tidak membantu siswa mampu mengembqngkqn proses berpikir dengan matematika yanng abstrak.
"Namun, kendala dalam proses belajar matematika yang belum ideal ini, bukan sepenuhnya kesalahan guru. Dengan kondisi pendidikan yang beragam dan kesenjangan mutu yang masih terjadi, kita perlu kritisi juga apakah guru didampingi dan diberikan sumber-sumber yang berkembang untuk membantu mereka menjadi guru berkualitas," ujar Dhita.
Menurut Dhita, pembelajaran matematika yang bermakna belum banyak dipraktikkan guru. Selain minim pelqtihqn, juga minim buku teks pengajaran matematika.
"Padahal, guru perlu dibantu untuk lebih menguasai cara mengajar yang tidak abstrak. Dengan memakai biji kacang merah, misalnya, belajar angka dari satuan hingga ratusan bagi siswa SD, jadi tidak terasa abstrak. Selain itu, dibiasakan untuk membiarkan proses berpikir siswa berkembang dengan pertanyaan terbuka atau teka-teki," kata Dhita.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Kemendikbud, Supriano, mengatakan upaya peningkatan mutu guru diarahkan untuk memampukan guru mengembangkan pembelajaran di kelas secara berkualitas. Mulai tahun 2019, pendidikan dan pelatihan guru berbasis zonasi sekolah dan mengacu pada hasil AKSI dan UN serta PISA/TIMSS.
"Pembelajaran yang terjadi masih belum mengarah pada kemampuan berpikir tinggi, tapi masih berpikir rendah di hafalan atau pemahaman. Nanti dengan mengoptimalkan kelompok kerja guru di SD serta musyawarah guru mata pelajaran di tingkat SMP dan SMA/SMK, pelatihan guru diyakini bisa lebih berdampak," ujar Supriano.
Inisiator Gernas Tastaka Ahmad Rizali menjelaskan gerakan untuk menyadarkan kondisi pendidikan bangsa yang gawat darurat, sqlqh satunya di bidang matematika, diharapkan dapat menjadi solusi bangsa. Gerakan ini mengjak partisipasi berbagai pihak untuk berkontribusi dalam menuntaskan buta matematika siswa Indonesia.
Ahmad mengatakan Gernas Tastaka dimulai di wilayah DKI Jakarta di lima SD/MI di lima wilayah. Ada relawan surveyor dari mahasiswa Universitad Indonesia untuk menyurvei kompetensi siswa di lima SD/MI tersebut agar diketahui "titik nol"-nya dengqn alat ukur pengukuran mandiri numerasi dan literasi (pemantik).
Ada sebanyak 25 guru Matematika relawan dari DKI Jakarta dengan 10 mahasiswa untuk dilatih penguasaan materi, dari bilangan hingga statistik dan penilaian. "Kami tidak ingin tersentralisasi di Jakarta, tetapi komunitas di daerah harus bergerak secara bottom up dan terus tumbuh. Gernas ini sebagai bagian dari solusi," kata Ahmad.