JAKARTA, KOMPAS Terbongkarnya kasus 20 perempuan calon pekerja migran Indonesia di Ciracas, Jakarta Timur, yang dikurung di penampungan dan tidak berdokumen, tapi siap diberangkatkan oleh perusahaan yang mengantongi izin, menunjukkan lemahnya kontrol dari pemerintah. Lemahnya pengawasan dari pemerintah dikhawatirkan menjadi celah terjadinya pengiriman pekerja migran secara ilegal, bahkan rawan terjadi tindak pidana perdagangan orang.
“Kementerian Tenaga Kerja Indonesia seharusnya melakukan inspeksi atau pemeriksaan di semua tempat penampungan calon pekerja migran Indonesia. Inspeksi ini penting. Karena ternyata tidak ada jaminan walaupun melalui perusahaan resmi lalu tidak ada Tindak Pidana Perdagangan Orang,” ujar Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo di Jakarta, Kamis (27/9/2018).
Tak hanya itu, pemerintah juga harus segera mengaudit seluruh perusahaan penempatan tenaga kerja. Karena sesuai dengan amanat Undang-Undang 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI), seharusnya tempat penampungan-penampungan milik perusahaan penempatan tenaga kerja harus dikosongkan.
“Tidak boleh ada pembiaran. Harus ada tindakan keras ke perusahaan serta evaluasi total pengawasan ketenagakerjaan yang teledor,” ujar Wahyu.
Disekap berbulan-bulan
Seperti diberitakan, Deputi Perlindungan Hak Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mendapat informasi adanya 36 calon pekerja tenaga migran Indonesia (PMI) yang dikurung berbulan-bulan di tempat penampungan milik PT Mangga Dua Mahkota di Jalan Kepala Dua Wetan III, Kelurahan Kelapa Dua, Ciracas, Jakarta Timur. Sebanyak 20 di antaranya tidak berdokumen.
Mengetahui hal tersebut Menteri PPPA Yohana Yembise, Rabu (26/9/2018) meminta pengiriman PMI tersebut dibatalkan, dan polisi harus memproses hukum perusahaan yang bersangkutan. Yohana bahkan menemui ke-20 tersebut, saat mereka sudah dipindahkan ke Panti Sosial Tenaga Kerja Indonesia Kementerian Sosial di Jakarta Timur. Ia juga meminta mereka pulang ke kampung masing-masing agar tidak menjadi korban TPPPO.
Jika terbukti ada jaringan/sindikat yang melibatkan aparat juga harus dipidanakan. “Tak cukup hanya sanksi administrasi,” tegas Wahyu.
Ia menduga kasus di Ciracas, hanyalah gunung es. Kasus ini terjadi pasca lahirnya UU 18/2017. Saat ini menjadi masa transisi, karena peraturan pelaksana UU tersebut masih dalam proses.
Komisioner Komisi Hak Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan, Indriyati Suparno mengapresiasi KPPPA yang bergerak cepat. Ia menilai kasus di Cicaras adalah persoalan klasik lama (sudah banyak terjadi), karena lemahnya pengawasan dan perlindungan terhadap PMI, khususnya perempuan yang tidak memiliki kualifikasi keahlian
"Peran pemerintah daerah sangat penting, untuk mencegah kasus-kasus seperti itu terjadi. Ketika daerah mampu mengkondisikan alternatif sumber-sumber penghidupan untuk warganya, situasi itu bisa jadi akan berkurang dan bisa dicegah," katanya.