Praktik perkawinan anak bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi di sejumlah negara di dunia terutama di negara-negara berkembang. Salah satunya di Afganistan. Budaya dan ekonomi menjadi alasan untuk menikahkan anak-anak perempuan meskipun usianya masih di bawah umur. Bahkan, kemiskinan membuat orangtua mengorbankan anak perempuannya dinikahkan paksa, demi mendapatkan uang.
Potret perkawinan paksa di Afganistan, diungkapkan dalam film dokumenter berjudul “Sonita” karya sutradara Rokhsareh Ghaem Maghami. Film yang bercerita tentang perlawanan seorang anak perempuan terhadap tradisi perkawinan paksa di Afganistan, Jumat (21/9/2018) malam, diputar di Institut Francais Indonesia.
Selain isu kawin paksa, 100 persen Manusia Film Festival bekerjasama dengan Kedutaan Besar Swiss di Indonesia berkolaborasi menghadirkan film Sonita yang mengangkat isu pemberdayaan perempuan di negara muslim serta tantangan yang harus dihadapi. Pemutaran film dibuka oleh Duta Besar Swiss untuk Indonesia Kurt Kunz.
Film berdurasi 90 menit yang merupakan peraih penghargaan film dokumenter terbaik di International Documentary Film Festival Amsterdam 2015 dan Sundance Film Festival 2016, bercerita tentang Sonita Alizadeh (18) perempuan Afganistan yang menjadi imigran gelap di pinggiran kota Tehran, Iran. Tekad yang kuat untuk mengubah kehidupan, disertai bakat seni terutama sebagai penyanyi rap dan pemain teater, mendorong Sonita berjuang keras meraih mimpinya untuk menjadi seperti penyanyi terkenal.
Sebagai rapper, Sonita bahkan mengangkat kisah-kisah kawin paksa terutama perkawinan anak perempuan yang terjadi di negaranya dalam lagu-lagu rap yang dibawakannya. Tradisi dan tekanan ekonomi yang berat mendorong keluarga untuk memaksa Sonita menikah. Bahkan Sonita dijemput ibunya untuk dijual sebagai calon mempelai perempuan anak dengan harga 9.000 dollar AS.
Di tengah kondisi itu, Sonita juga berhadapan dengan budaya di Iran yang melarang perempuan menyanyi. Pada akhir film tersebut, Sonita berhasil melewati tantangan tersebut, bahkan mendapat beasiswa di Amerika Serikat.
“Dari film Sonita alasan ekonomi dan tradisi, sama dengan beberapa alasan yang ditemui dalam kasus-kasus perkawinan di Indonesia. Alasan beratnya ekonomi keluarga menjadi alasan utama. Faktor utama kenapa orangtua buru-buru menikahkan anak perempuan pada usia yang sangat muda,” ujar Indriyati Suparno, Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dalam diskusi usai pemutaran film.
Selain alasan ekonomi, alasan tradisi juga ditemui di sejumlah wilayah di Indonesia seperti di Bengkulu ada “kawin grebek”, di Sumatera Barat ada tradisi “kawin tangkap”, dan suku Sasak ada “kawin magrib”. “Tetapi karakter utama dari bentuk perkawinan dalam konteks tradisi itu adalah perempuan yang masuk dalam jenjang perkawinan itu masih muda,” tambah Indriyati.
Menurut Indriyati Suparno, dari Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2018 awal, pihaknya mendokumentasikan 11.809 kasus perkawinan di bawah umur, yang beberapa diantaranya perkawinan paksa. Dari 11.819 kasus perkawinan anak di Indonesia sebanyak tiga persen (355 kasus) di antaranya adalah pernikahan dengan batas usia yang sangat rendah yakni di bawah 15 tahun dengan disepensasi perkawinan. Undang-Undang Perkawinan No1 Tahun 1974 mengatur usia perkawinan laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun. “Itu baru yang dilaporkan ke Komnas Perempuan,” katanya.
Penghormatan HAM
Suparno, Direktur Informasi HAM pada Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian Hukum dan HAM Indonesia, mengungkapkan dalam konteks Indonesia, pemerintah menginginkan adanya penghormatan hak asasi manusia, terutama perlidungan hak anak. Indonesia sudah ratifikasi Konvensi Anak namun dalam praktik masih perlu diawasi. “Makanya di Indonesia sudah punya rencana aksi HAM, salah satunya tentang Hak Anak. Bahkan ada sistem peradilan pidana anak, supaya generasi penerus jadi lebih baik. Khusus perkawinan di bawah umur harus diupayakan supaya tidak terjadi,” paparnya.
Kampanye lewat film, menurut Direktur Festival 100%Manusia Film Festival, Rain Cuaca, sepanjang 14-23 September 2018, 100%Manusia Film Festival memutar film-film dari mancanegara dan Indonesia yang berfokus pada kisah-kisah menyentuh tentang HAM, keberagaman, jender, dan difabilitas.
100%Manusia Film Festival merupakan gerakan berbasis sukarela bersifat nonprofit yang bertujuan mempromosikan kesadaran akan HAM, keberagaman, jender, dan difabilitas. Selain Film Sonita, sejumlah film juga diputar 100%Manusia Film Festival seperti 20th Century Women, Laut Bercerita, Breathe, dan Antologi Keluarga Ala Indonesia.