Kesejahteraan Warga Masih Jadi Pekerjaan Rumah Pemerintah
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS Meningkatkan kesejahteraan penduduk hingga di atas garis aman dan bahkan menjadi kelas menengah, merupakan pekerjaan rumah besar yang harus dikerjakan pemerintah Indonesia saat ini. Kesejahteraan warga merupakan kunci membangun keadilan ekonomi, kesejahteraan bersama, sekaligus menghindarkan diri dari perangkap pendapatan menengah (middle income trap).
“Kami telah memperbaiki kesejahteraan, misalnya penduduk yang berada di bawah kemiskinan ekstrem dan garis kemiskinan nasional telah turun satu digit. Namun demikian jumlah penduduk yang agak miskin dan berada dalam posisi rentan miskin masih cukup tinggi,” ujar Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang PS Brodjonegoro.
Brojonegoro mengatakan itu dalam Seminar Nasional Masyarakat Sipil: Konsolidasi Pemangku Kepentingan dalam Pelaksanaan Tujuan Pembangunan Nasional di Indonesia, Kamis (20/9/2018), di Jakarta. Seminar yang digelar International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) itu bertepatan dengan tiga tahun pelaksanaan Tujuan Pembangunan Nasional (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs) di Indonesia. Hadir dalam acara itu Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam Vincent Guerend.
Seminar itu juga diisi dengan diskusi kelompok yang membahas berbagai isu terkait TPB. Acara pun diakhiri dengan pembacaan deklarasi yang mendorong penyelesaian peta jalan, tata cara, dan pendanaan TPB.
Bambang memaparkan ada sejumlah keberhasilan yang telah dicapai. Tetapi ada pula yang masih menjadi tantangan. Tantangan itu diantaranya stunting anak, angka kematian ibu, kualitas pendidikan dasar dan menengah, serta perkawinan dini. “Perkawinan usia anak berisiko terhadap kematian ibu, kekerasan dalam rumah tangga, kemiskinan dan ujungnya adalah perceraian,” kata Bambang.
Secara umum, kinerja Indonesia untuk mencapai TPB memang membaik, namun masih terdapat berbagai indikator yang stagnan. "Penerapan prinsip inklusif jelas merupakan suatu keharusan karena tidak satupun institusi bisa mengerjakan TPB sendirian," katanya.
INFID mengukur ketimpangan sosial menurut persepsi warga. Survei dilakukan pada awal Agustus hingga minggu ketiga September 2018. Tiga daerah yang menjadi fokus perhatian, yakni Kabupaten Timur Tengah Selatan/TTS (Nusa Tenggara Timur), Kabupaten Dompu (Nusa Tenggara Barat), dan Kabupaten Pangkajane Kepulauan (Sulawesi Selatan).
Hasilnya ditemukan sejumlah ketimpangan sosial terutama penghasilan, kesempatan mendapat pekerjaan, harta benda, kualitas lingkungan, rumah dan tempat tinggal, kesejahteraan keluarga, dan kesempatan pendidikan. ketimpangan yang tinggi terjadi di Kabupaten TTS dan Dompu.
Direktur Eksekutif INFID Sugeng Bahagijo sudah ada perbaikan sejalan dengan program pemerintah. "Namun kecepatan menurunkan ketimpangan tidak secepat yang diharapkan masyarakat," katanya.