Proses Pembahasan Mandek, Komitmen DPR Dipertanyakan
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Organisasi masyarakat sipil mempertanyakan komitmen DPR dalam upaya melindungi masyarakat dari kekerasan seksual, menyusul mandeknya proses legislasi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Hingga memasuki Juli 2018, tidak ada tanda-tanda DPR akan melanjutkan proses pembahasan RUU tersebut.
“Pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual terancam akan tergerus hiruk pikuk suasana tahun politik,” ujar Susi Handayani, Dewan Pengarah Nasional Forum Pengada Layanan (FPL) bagi perempuan korban kekerasan yang tersebar di 32 provinsi, Selasa (10/7/2018), di Jakarta.
Pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual terancam akan tergerus hiruk pikuk suasana tahun politik.
Padahal akhir Januari 2018, Panitia Kerja Komisi VIII DPR mengenai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sudah mulai melakukan rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan kalangan yang terkait. Pembahasan RUU ini telah dimulai dengan agenda RDPU yang mengundang para ahli, LSM perempuan, Komnas Perempuan, dan ormas-ormas perempuan.
Selain itu, Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga telah melakukan kunjungan kerja ke luar negeri dan beberapa daerah. “Sejak Maret 2018 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual telah masuk dalam pembicaraan tingkat satu, tentu saja ini menjadi capaian baik yang harus diapresiasi kepada DPR,” kata Susi.
Namun, sayangnya saat ini proses tersebut kembali terhenti hingga kini. Forum Pengada Layanan menilai para wakil rakyat tak kunjung memenuhi janjinya untuk menyelesaikan pekerjaan rumah atas RUU tersebut. “Saat ini pembahasan substansi RUU ini masih \'mandek\', belum berkembang jauh dan masih terkesan digantung,” tambah Veni Siregar, Dewan Pengarah Regional Tengah FPL.
Saat ini pembahasan substansi RUU ini masih \'mandek\', belum berkembang jauh dan masih terkesan digantung.
Kekhawatiran organisasi masyarakat sipil yang bergerak dalam perlindungan perempuan cukup beralasan. Sebab, hingga kini RUU Penghapusan Kekerasan Seksual termasuk salah satu dari 12 RUU di Program Legislasi Nasional 2018 yang molor dari target penyelesaian dan diperpanjang hingga masa sidang berikutnya. (Kompas, Selasa 15/5/2018).
Kepentingan korban
Karena itulah, FPL mengingatkan kembali kepada pihak legislatif bahwa tidak ada kepentingan lain dari lahirnya RUU ini selain kepentingan korban kekerasan seksual yang selama ini masih diabaikan negara.
Kehadiran RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sangat penting karena selama ini tidak semua kasus kekerasan seksual dapat diproses secara hukum. Ini karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya mengenal perkosaan pencabulan dan perzinahan.
Kehadiran RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sangat penting karena selama ini tidak semua kasus kekerasan seksual dapat diproses secara hukum.
Selain itu, sangat sedikit kasus yang maju sampai ke persidangan. Susi dan Veni mencontohkan, data pendokumentasian kasus kekerasan seksual yang dilakukan FPL di lima wilayah (Jawa Tengah, Sumatera Barat, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara,Yogyakarta) menyebutkan, dari 80 persen korban yang melapor memilih jalur hukum, hanya 10 persen kasus yang maju sampai ke persidangan, sisanya 40 persen mandek di kepolisian dan 50 persen dimediasi (dinikahkan, terima uang ganti rugi).
Situasi sulitnya korban mengakses keadilan inilah yang diharapkan menjadi perspektif DPR dalam membahas RUU tersebut. FPL meminta komitmen Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk segera membahas RUU tersebut dalam masa sidang V tahun 2017-2018.
“Persiapan pesta demokrasi dalam menyambut tahun politik 2019 seharusnya tidak menjadi alasan bagi pihak legislatif untuk mengabaikan hak-hak korban kekerasan seksual,” kata Veni.