Bebaskan Anak dari Stigma
JAKARTA, KOMPAS— Negara harus bertanggung jawab memenuhi kebutuhan dasar bagi tujuh anak pelaku teror peledakan bom di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur. Perlindungan khusus seperti bebas dari stigma masyarakat juga harus dipenuhi anak-anak itu.
Kementerian Sosial menerima tujuh anak dari para terduga pelaku teror di Surabaya dari Kepolisian Daerah Jawa Timur, Selasa (12/6/2018). Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan, semua anak yang menjadi korban konflik sosial dan teror harus ditangani dengan baik dan tanpa diskriminasi. Pendampingan khusus diberikan untuk mengembalikan kepercayaan diri anak-anak tersebut, termasuk mengikis kemungkinan paham-paham radikalisme yang diajarkan orangtua mereka (Kompas, 13/6/2018).
“Saat ini, mereka (anak terduga pelaku teror) dalam tahap pemeriksaan psikologis. Setelah hasil penilaian sudah lengkap, penanganan intensif baru dilakukan sesuai hasil tersebut. Saat ini pendekatan untuk menanamkan nilai keberagaman NKRI diberikan secara perlahan. Beberapa anak masih ada yang terpengaruh pola asuh orangtua yang menolak NKRI,” ujar Direktur Rehabilitasi Sosial Anak, Kementerian Sosial (Kemensos) Nahar, saat dihubungi di Jakarta, Rabu (20/6/2018).
Ia menambahkan, ada empat upaya perlindungan khusus bagi anak korban terorisme. Upaya tersebut, yaitu penanganan cepat termasuk pengobatan ataupun rehabilitasi fisik, psikis, dan sosial, pendampingan psikososial, pemberian bantuan sosial bagi anak dari keluarga tidak mampu dan perlindungan serta pendampingan di setiap proses peradilan.
“Secara khusus mereka juga mendapatkan edukasi terkait pendidikan, ideologi dan nasionalisme, serta konseling tentang bahaya terorisme,” kata Nahar.
Nahar menambahkan, Kemensos sebelumnya pernah memberikan perlindungan terhadap sekitar 90 anak yang dideportasi dari Suriah karena terkait jaringan terorisme tahun 2017 lalu. Masa rehabilitasi yang diberikan sekitar tiga bulan.
Selain melindungi kondisi psikologis mereka, Kemensos juga memberikan materi seputar wawasan kebangsaan, nilai keberagaman, toleransi, dan agama. Dalam upaya pendampingan ini, Kemensos bersama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Detasemen Khusus 88, pemuka agama, organisasi masyarakat sipil dan sejumlah akademisi.
Dihubungi terpisah, Kepala Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani Kemensos Neneng Heryani menuturkan, kondisi ketujuh anak terduga pelaku terorisme semakin membaik. Mereka sudah mulai bisa membaur dengan lingkungan sekitar.
“Ada perubahan sikap. Saat ini mereka lebih ceria,” ucapnya.
Neneng menuturkan, setiap anak didampingi satu pekerja sosial. Anak-anak yang saat ini mendapatkan pendampingan berumur 6 tahun, 8 tahun, 11 tahun, 14 tahun dan 15 tahun. Pola asuh terkait keagamaan dan nilai kebangsaan merupakan hal penting yang cukup ditekankan dalam pendampingan anak-anak tersebut. Menurutnya, intervensi yang diberikan ke setiap anak berbeda-beda tergantung pada kondisi anak tersebut.
“Pendekatan anak ini tidak bisa gegabah dan harus hati-hati. Kita harus memahami perilaku anak. Anak ini unik sehingga harus dipahami dengan baik,” ujar Neneng.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Susanto mengatakan, pihaknya memastikan ketujuh anak tersebut mendapatkan perlindungan tepat dari negara. Setiap anak harus dipastikan mendapat penanganan secara cepat, rehabilitasi secara komprehensif sesuai kebutuhan masing-masing, pendampingan sosial, pemenuhan hak dasar seperti pendidikan, kesehatan, hak bermain dan berekreasi, serta terlindungi dari stigma.