Reformasi dalam Kritik Puisi
Apa yang disebut dengan “reformasi” pada bulan Mei ini mencapai usia dua dasawarsa. Apa yang telah dihasilkan menjadi banyak bahan perdebatan banyak kalangan. Namun apa yang tetap adalah rekaman kejadian, setidaknya selama bulan Mei 1998 lalu itu, juga (terutama) dalam berbagai bentuk (karya) puisi.
Peristiwa Mei 1998, senang atau tidak, diterima atau ditolak, ternyata telah ikut menentukan kehidupan sosial-politik hingga kultural masyarakat Indonesia. Karena itu ia tak lekang dari ingatan, terekam dengan baik dalam memori banyak kalangan. Puisi adalah salah satu bentuk rekaman abadi peristiwa itu.
Soni Farid Maulana, penyair Bandung misalnya, menulis puisi berjudul “Mei 1998”, termuat dalam kumpulan puisi Variasi Parijs van Java (2004), menuliskan: ada hantu menari/ di layar televisi. Wajahnya cantik/ dengan bh ukuran 36.// ada juga kau di situ pada acara/ yang lain. Lebih “mengerikan”, penyair itu lanjut menuliskan: bahkan/ menakutkan dari hantu, yang melayang/ di atas tanah.// dengan jimat yang kau pegang,/ aku bisa kau ubah jadi apa saja/ sekehendak nafsu kau seperti mengubah/ pesawahan: jadi luas perumahan. Mengubah// hutan rimba,/ jadi padang-padang yang gundul,/ mengubang ladang jagung/ jadi lapangan golf.
Puisi Soni tampaknya menyiratkan kemarahan bahkan kebencian pada penguasa zaman itu (rezim Suharto). Penguasa, disebabkan otoritas mutlaknya, jadi hantu yang bergentayang menyebar ketakutan di layar televisi. Penguasa mampu mengubah sawah jadi perumahan, ladang jadi lapangan golf, dan sebagainya. Dalam film Ziarah (2017) bahkan disebutkan bahwa penguasa menenggelamkan desa-desa sekaligus penduduk yang bertahan di sana, untuk membangun waduk.
Puisi Jenaka
Bagaimana reformasi mengundang gagasan juga renungan, mendapat bentuk yang berbeda di tangan Joko Pinurbo alias Jokpin. Reformasi menjadi jenaka, dalam arti muncul sisi komedi dari tragedi yang mencuat. Penyair Yogya itu menulis puisi “Mei” dengan bermodal melulu ingatan. Puisi itu ditulis berselang dua tahun dari peristiwa dan berbunyi: Tubuhmu yang cantik, Mei/ telah kaupersembahkan kepada api./ Kau pamit mandi sore itu./ Kau mandi api.// Api sangat mencintaimu, Mei./ Api mengecup tubuhmu/ sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi./ Api sangat mencintai tubuhmu/ sampai dilumatnya yang cuma warna,/ yang cuma kulit, yang cuma ilusi.
Tentu saja, apa yang coba diwakilkan atau digambarkan oleh Jokpin adalah tragedi yang mengenaskan hati. Bagaimana “Mei”, sebutan seorang gadis yang mewakili sejumlah golongan dengan identitas tertentu, mengalami tragik yang menggiriskan, “dibakar api”. Pembakaran yang sengaja dilakukan, dengan maksud dan seolah berlandas gagasan besar, namun komedisnya, cuma berhasil membakar “warna”, membakar “kulit” yang hanyalah “ilusi”. Reformasi menjadi tragik yang komedik, hanyalah ilusi.
Khalayak ramai-ramai menjarah dan membakar toko-toko kaum Tionghoa di masa itu. Kita bisa menengok film Oeke (2013) untuk menyaksikan ketersudutan kaum Tionghoa dalam peristiwa Mei 1998. Film mengisahkan ketekunan perempuan Tionghoa menghidupkan kembali usaha roti kecik yang dirintis leluhurnya sejak tahun 1881, yang sempat hancur pada Mei 1998.
Apakah kemudian kerusuhan dan pembakaran reformasi menuntaskan apalagi mengakhiri sentimen, yang rasialis misalnya? Jokpin melanjutkan puisinya: Tubuh yang meronta dan meleleh dalam api, Mei/ adalah juga tubuh kami./ Api ingin membersihkan tubuh maya/ dan tubuh dusta kami dengan membakar habis/ tubuhmu yang cantik, Mei.// Kau sudah selesai mandi, Mei./ Kau sudah mandi api./ Api telah mengungkapkan rahasia cintanya/ ketika tubuhmu hancur dan lebur/ dengan tubuh bumi;/ ketika tak ada lagi yang mempertanyakan/ nama dan warna kulitmu, Mei.
Jokpin memang dikenal sebagai penyair jenaka. Kejenakaan sebagai satu siasat puitik bahkan intelektual untuk membalik atau merefleksi wajah kita sendiri dari perbuatan yang kita buat. “Mei” dalam puisi itu adalah cermin yang merefleksi diri kita sendiri. Apa yang dibakar oleh reformasi, ternyata bukan “Mei” (saja), tapi juga reformasi itu sendiri.
Sinisme reformasi
Tendensi melucu, dalam intensitas yang berbeda, juga terlihat dalam puisi-puisi “reformasi” Binhad Nurrohmat. Dalam karyanya bertajuk “Kabar Mantan Pacar Penyair, Mei 1998” penyair asal Lampung yang kini jadi warga Jombang itu menulis, “Jakarta dan Solo gosong, Bin./Gedung-gedung juga orangnya.”//“My God!/ Api siapa bisa membakar kayak gitu ya?”//“Sori, aku jadi sentimentil nih./Dulu hatiku hangus karena kau.”// “Beda dong. Dulu itu romantika asmara, cinta./ Kalau ini kan perkara politik, tak ada indahnya...”//“Dasar penyair! Indahnya cuma di rubrik puisi./ Jangan demo lagi ya. Sniper di mana-mana. Bye!”
Terasa kesan hendak bergurau dalam puisi di atas. Namun sesungguhnya gurauan itu berisi kritik yang cukup keras pada reformasi itu sendiri, sebagaiman Jokpin juga melakukan dengan nada dan intensitas berbeda. Binhad mempertanyakan, bahkan menista, api yang bisa membakar bahkan nyawa orang-orang. Api seharusnya menjadi sesuatu yang bernilai, menjadi panas yang menghangatkan, hubungan dan kesatuan, seperti api asmara (cinta). Karena itu sudahilah, “jangan demo lagi, ya”.
Bahwa Binhad termasuk mereka yang simpati pada awal niat reformasi, terlihat dalam kumpulannya Demonstran Sexy (2008), dimana salah satunya, puisi bertajuk “Euforia” ia menulis: Telah kami paksa mundur untuk selamanya:// Sang Raja Republik Indonesia/ pada 21 Mei 1998 pukul 09:05 WIB di Jakarta/ dalam usia 77 tahun dan kaya-raya.// Kami yang gembira,/ Seluruh Rakyat Indonesia. Tapi, sekali lagi kritik keras tetap ia lancarkan, seperti dalam “Dalil Reformasi”, ia menulis: Perubahan berdasarkan frustasi politik/ melahirkan perubahan yang amat pelik.
Reformasi, bila tidak ambigu dalam makna, ia adalah sasaran kritik yang tajam bagi –setidaknya—para penyair, dalam puisi-puisinya. Hal itu terlihat misalnya dalam puisi-puisi Radhar Panca Dahana dan Agus R. Sarjono. Masing-masing penyair itu mengisahkan reformasi dengan nada yang sinis dan pesimistis. Agus menulis berlatar sebulan pascaperistiwa Mei 1998, menghasilkan puisi “Di Sebuah Restoran Indonesia, Juni 1998”: Sebagai pembuka, kami sajikan segelas/ anggur reformasi: segar dan membakar/ semangat. Kalian bisa mengepalkan tinju/ dan mengutuk keadaan sekeras-kerasnya./ Nah, selamat jalan./ Semoga Anda jadi pahlawan.
Sinisme semacam itu juga kita jumpai dalam Radhar, yang bahkan berlanjut dengan pesimisme terhadap reformasi. Dalam puisi Radhar bertajuk “Reformati”, misalnya, ia menulis: menjelma kursi/ langitku duduk bumiku remuk/ bibir pecah tak bernanah/ waktu nanti kautinggal mumi/ sekampung mati kaujerat dasi/ menyisa asap/ tiada api. Lalu, apa sesungguhnya yang tersisa dari reformasi? Api yang membakar? Atau melulu asap, yang tampak besar dalam pandangan, namun hampa dalam genggaman? Jawaban ada pada hati Anda.
UDJI KAYANG ADITYA SUPRIYANTO
Pembaca sastra dan pengelola komunitas Bukulah!