Layanan Kesehatan Reproduksi Belum Banyak Dipahami
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Layanan kesehatan, terutama terkait kebutuhan perempuan dan kesehatan reproduksi yang tercakup dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat atau JKN-KIS, belum banyak diketahui tenaga medis maupun masyarakat. Akibatnya, sebagian peserta program itu belum memanfaatkan layanan tersebut.
Hasil survei Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) dan Jaringan Peduli Kesehatan (JP2K) tahun 2015-2017 yang terkait pelaksanaan Skema JKN-KIS di 15 wilayah di 15 provinsi di Indonesia yang menjangkau hampir 9.000 responden, menemukan lebih dari 30 persen petugas kesehatan tidak dapat membedakan JKN dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Sepertiga dari petugas kesehatan kurang mengetahui pemeriksaan kehamilan, persalinan, nifas, dan komplikasi adalah layanan yang tercakup dalam program JKN-KIS. "Minimnya pemahaman pada petugas kesehatan dapat berimbas kepada kualitas layanan yang diberikan kepada masyarakat,” kata Herna Lestari, pengurus YKP sekaligus penanggung jawab survei, di Jakarta, Senin (30/4/2018).
Herna, didampingi Ketua YKP Zumrotin K Susilo, menjelaskan hasil survei YKP dan JP2K yang didukung oleh Program MAMPU (Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan). Hadir juga konsultan MAMPU Rosalia Sciortino.
Selain masih ada petugas yang belum memahami program JKN, survei itu menemukan rendahnya pengetahuan masyarakat (perempuan). Umumnya, pengetahuan para perempuan seputar pemeriksaan kehamilan (24 persen responden) dan persalinan normal (31 persen responden). Untuk layanan kesehatan lain, sedikit perempuan yang tahu misalnya layanan terapi kanker, kurang dari 6 persen responden tahu layanan itu dijamin BPJS Kesehatan.
Layanan kelahiran dengan komplikasi, juga hanya sekitar 8 persen responden yang tahu. “Padahal pengetahuan responden mengenai hal ini sangat penting untuk mengurangi angka kematian ibu. Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap JKN dan BPJS Kesehatan, membuat banyak perempuan yang tidak mengetahui dan mengakses layanan kesehatan reproduksi,” kata Herna.
Karena itu, menurut Zumrotin, seharusnya sosialisasi kepada masyarakat tentang jenis layanan apa saja yang ditanggung BPJS Kesehatan digalakkan. “Karena masyarakat tidak tahu, tenaga kesehatan juga tidak tahu, kadang-kadang seorang pasien yang harusnya mendapat pelayanan tidak mendapatkannya,” katanya.
Untuk itu, Pihak BPJS Kesehatan perlu meningkatkan mutu pelayanan, terutama terkait kesehatan perempuan. Untuk mengurangi angka kematian ibu dan anak, misalnya, harus ada layanan dari bidan dan dokter di puskemas di daerah yang terpencil.
Rosalia mengakui, tingkat kepuasaan masyarakat terhadap program JKN-KIS cukup tinggi. Sebab, akses layanan kesehatan semakin mudah, terutama pembiayaannya, sehingga makin banyak orang bisa mendapat layanan kesehatan.
Deteksi dini
Namun, dia menilai, upaya pendeteksian dini dari berbagai penyakit masih kurang. Padahal pencegahan melalui pemeriksaan rutin amat penting agar jangan sampai penyakit sudah parah baru diobati sehingga pembiayaan menjadi tinggi. Sejauh ini layanan terintegrasi juga belum terlihat.
Selain itu, masih ada pasien yang harus membeli obat di apotik, karena ketika berobat di fasilitas kesehatan diberitahu obatnya tidak ada sehingga perlu resep dokter yang ditebus di apotik. “Dalam penelitian kami, ini yang masih banyak. Begitu juga dengan x-ray, test darah. Itu harus dimonitor ketat dari BPJS Kesehatan dan Kementeria Kesehatan, serta diawasi publik, media dan lembaga swadaya masyarakat. Hanya sedikit LSM peduli isu kesehatan,” kata Rosalia.
Ririn Hayundiani, Direktur Lembaga Pengembangan Daya Mitra salah satu jaringan dari JP2K di Lombok, NTB mengungkapkan, di sejumlah daerah, upaya menurunkan angka kematian ibu dan anak masih rendah. Contohnya, di puskesmas di daerah pelosok, tidak ada bidan dan dokter. Kalau pun ada bidan, tinggalnya jauh atau tidak di desa tempat dia bertugas. Infrastruktur jalan sangat buruk, dan sarana pendukung juga sangat minim.
Tini Hadad, pengurus YKP juga menilai, belum ada koordinasi yang baik antara BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan, terkait fasilitas pelayanan kesehatan untuk perempuan.
Dari survei itu, YKP dan JP2K merekomendasikan pentingnya pembiayaan semua aspek layanan kesehatan reproduksi yakni pencegahan dan pengobatan kanker, HIV, termasuk tindakan medis berupa penghentian kehamilan yang aman sesuai peraturan, layanan kontrasepsi, kesehatan reproduksi remaja, dan layanan infertilitas yang masih belum dijamin BPJS Kesehatan.
Selain itu, perlu ada penempatan tenaga medis yang terlatih untuk layanan kesehatan reproduksi di semua fasilitas kesehatan tingkat pertama termasuk ketersediaan obat-obatan dan darah melalui bank darah.
Rekomendasi lainnya adalah, publikasi dan akses informasi yang mudah, lengkap, serta menjangkau masyarakat, terutama yang tinggal di daerah pedesaan, terpencil, dan kepulauan. Jadi, informasi tentang cakupan layanan, jenis penyakit, obat-obatan, dan fasilitas kesehatan yang ditanggung JKN-KIS di semua tingkat layanan, harus dilakukan secara masif.