JAKARTA, KOMPAS – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise menegaskan kasus-kasus yang menimpa perempuan pekerja migran atau tenaga kerja wanita yang berujung kepada kematian haruslah mendapat perhatian semua pihak. Perekrutan perempuan-perempuan muda untuk tenaga kerja sektor di luar negeri harus dibenahi, demi melindungi perempuan pekerja migran asal Indonesia dari segala bentuk kekerasan.
Kasus kematian Adelina Jamirah Sau (20) pekerja migran asal Desa Abi, Kecamatan Oenino, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur yang meninggal di Malaysia pada awal Februari lalu seharusnya menjadi pelajaran berharga, karena itu merupakan potret perbudakan modern bagi perempuan Indonesia.
Karena itu Yohana meminta praktik-praktik rekrumen pekerja migran yang tidak selama ini mempertimbangkan hak asasi perempuan harus dihentikan. “Laporan-laporan seperti itu (kasus Adelina) banyak masuk ke kementerian kami, harga diri dan martabat perempuan Indonesia diinjak-injak. Ini adalah perbudakan modern,” ujar Yohana kepada Kompas di Jakarta, Selasa (27/2).
Seperti diberitakan, Adelina yang menjadi pekerja rumah tangga (PRT) migran di Malaysia meninggal setelah mengalami perlakuan tidak manusiawi dari majikannya. Ia ditemukan dalam kondisi tak berdaya di emperan halaman majikannya di kawasan Taman Kota Permai, Bukit Mertajam, Penang, Malaysia.
Dari informasi yang dihimpun Migran Care, Adelina berangkat ke Malaysia dalam usia 17 tahun, pada Agustus 2015 lalu. Dia dibawa perekrut tenaga kerja Indonesia (TKI) tanpa pamit pada orangtuanya. Saat Adelina dibawa keluar rumah, ibunya berada di ladang. Sebelumnya orangtua Adelina sempat diberikan uang Rp 500.000. Adelina diberangkatkan ke Malaysia setelah identitasnya dipalsukan. Namanya diganti menjadi Adelina Lisao. Alamatnya pun disamarkan.
Yohana menilai, selain sistem rekrutmen yang tidak memikirkan sisi hak asasi perempuan, kesadaran untuk melindungi dan menyelamatan perempuan dari segala bentuk kekerasan juga masih rendah. “Bangsa kita sendiri yang membunuh warga kita sendiri. Alasan menambah devisa negara ternyata terbalik membunuh kaum hawa yang harus dilindungi. Kita belum sadar perempuan selamat, maka bangsa ini selamat,” tegas Yohana.
Kasus yang menimpa Adelina, ketika bekerja di Malaysia mengalami perlakuan tidak manusiawi dari majikan hingga akhirnya meninggal, menurut Yohana, kasus tersebut harus ditangani serius. Indonesia harus menuntut negara-negara yang tidak mendukung hak asasi perempuan pekerja, apalagi sampai ada kasus meninggal seperti yang dialami Adelina.
“Kita harus melakukan aksi melawan perbudakan modern yang sudah jelas-jelas terlihat dilakukan oleh negara-negara yang menjadi kantong TKW terhadap perempuan Indonesia. Miris sekali melihat dan merasa sesama perempuan di siksa dan berakhir dengan kematian,” ungkap Yohana.
Rekrutmen tak jelas
Selama ini, sebagai Menteri PPPA, Yohana telah mengunjungi shelter-shelter di beberapa negara Malaysia, Singapura, Hongkong, Dubai, Arab Saudi, dan negara-negara lain tujuan pekerja migran asal Indonesia. Dari kunjungan tersebut, dia menemukan salah satu sumber masalah dalam rekrutmen yang dilakukan perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia yang tidak memikirkan HAM perempuan pekerja. Yohana mencontohkan, dengan membayar uang muka sekitar Rp 14 juta 0 Rp 16 juta pekerja migran atau tenaga kerja wanita (TKW), bisa lolos tanpa rekrutmen yang jelas dan berkualitas.
Model-model perekrutan seperti itulah yang membuat banyak kasus yang menimpa perempuan pekerja migran. Karena itu, Yohana menegaskan, tradisi perekrutan inilah yang harus dibenahi. Dia berencana akan mengunjungi perusahaan-perusahaan perekrutan untuk melihat secara langsung proses perekrutan dan outputnya.
Dia menyatakan perekrutan perempuan pekerja migran yang berkualitas merupakan tugas besar yang harus ditindaklanjuti antarkementerian/lembaga, yakni Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Luar Negeri, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), dan berbagai pihak.
Terkait kasus yang menimpa Adelina, yang mengalami perlakuan tidak manusiawi dari majikan hingga akhirnya meninggal, Yohana menegaskan, kasus tersebut harus ditangani serius, Indonsia harus menuntut negara-negara yang tidak mendukung hak asasi perempuan pekerja, apalagi sampai ada kasus meninggal seperti yang dialami Adelina.
“Kita harus melakukan aksi melawan perbudakan modern yang sudah jelas-jelas terlihat dilakukan oleh negara-negara yang menjadi kantong TKW terhadap perempuan Indonesia. Miris sekali melihat dan merasa sesama perempuan di siksa dan berakhir dengan kematian,” ungkap Yohana.
Untuk mencegah perempuan-perempuan di desa yang menjadi kantong pengiriman TKW, saat ini Kementerian PPPA merintis sekolah pemberdayaan perempuan di desa-desa, dalam bentuk akademi komunitas perempuan. Melalui akademi komunitas tersebut akan melatih perempuan agar lebih terampil dan memilki berbagai keterampilan termasuk penguasaan bahasa asing, pengetahuan budaya negara target.
Menurut Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA, Vennetia R Danes, program pemberdayaan perempuan di desa-desa pengirim pekerja migran tersebut dilakukan KPPPA bersama Organisasi Buruh Internasional (ILO) Indonesia dan Migrant Care.
“Pesertanya perempuan-perempuan calon pekerja migran yang sudah jelas diterima di luar negeri. Sebelum berangkat mereka ikut lokakarya. Mereka diajarkan bagaimana agar bisa bertahan hidup di negeri orang, mengerti aturan perundang-undangan, termasuk mempelajari kontrak kerja. Lalu kalau ada masalah harus menghubungi siapa,” katanya.
UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia
Terkait perlindungan pekerja migran, lanjut Vennetia, sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang No.18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. UU tersebut jelas mengatur perlindungan pekerja migran sebelum bekerja, selama bekerja, dan setelah bekerja. UU tersebut diharapkan akan menjamin perlindungan pekerja migran, sehingga tidak ada lagi perempuan pekerja migran yang dikirim secara ilegal apalagi sampai bersinggungan dengan tindak pidana perdagangan orang.
“UU ini memang masih baru dan perlu disosiasiasikan terutama di kantong-kantong TKI. Masyarakat harus tahu bahwa kalau ada yang merekrut pekerja migran secara ilegal akan dikenai sanksi yang berat,” katanya.
Vennetia bahkan mengusulkan agar kasus yang menimpa Adelina tidak terulang lagi, perusahaan-perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia yang selama ini bermasalah harus diumumkan secara terbuka ke publik melalui media massa. “Nama-nama perusahaannya diumumkan terbuka, tidak boleh ditutup-tutupi supaya malu dan jera,” ujarnya.
Lolosnya sejumlah perempuan pekerja migran ke luar negeri meskipun tidak memenuhi syarat, menurut Vennetia hal tersebut terjadi karena ada oknum-oknum yang terlibat. “Untuk masuk ke negara orang kan harus ada paspor. Pertanyaannya kenapa mereka bisa mendapat paspor, itu pasti ada peran oknum dari instansi tertentu yang membantu mengeluarkan paspor dan dokumen lainnya,” tegas Vennetia. (son)