DENPASAR, KOMPAS — Jaringan Advokasi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual mendesak DPR segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi UU. Undang-undang diperlukan agar hukum pidana dapat menjangkau bentuk-bentuk kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat dan memberikan keadilan kepada korbannya.
Luh Putu Anggreni dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) Bali mengatakan hal itu dalam acara kampanye 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan di kampus Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Minggu (10/12).
”Kami berharap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sudah ada di DPR mendapat prioritas untuk dibahas dan segera disahkan,” kata Anggreni.
Kami berharap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sudah ada di DPR mendapat prioritas untuk dibahas dan segera disahkan.
Terkait hal itu, LBH Apik Bali bersama Jaringan Advokasi #Gerak Bersama di Bali, antara lain Forum Paralegal Mahasiswa Bali, Asosiasi Perempuan Internasional Bali, dan Oxfam di Indonesia, menggelar kampanye 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan. Kampanye dimulai pada Sabtu (25/10) hingga Minggu (10/12) yang bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia.
Minggu kemarin, kampanye dilangsungkan di kampus IHDN Denpasar dengan melibatkan mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Denpasar dan Tabanan. Serangkaian kampanye itu, LBH Apik bekerja sama dengan IHDN Denpasar untuk membentuk jejaring perlindungan perempuan dan anak di IHDN Denpasar.
Rektor IHDN Denpasar I Gusti Ngurah Sudiana mengatakan, pihaknya bekerja sama dengan jaringan advokasi perlindungan perempuan dan anak karena memiliki kesamaan misi. IHDN Denpasar memiliki program studi hukum Hindu dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) serta Pusat Studi Jender dan Anak. ”Dari sisi agama, Hindu menempatkan perempuan sebagai pihak yang harus dihormati,” kata Sudiana.
Kasus meningkat
Anggreni mengatakan, kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia rata-rata meningkat setiap tahun. Kondisi itu berdasarkan Catatan Tahunan 2017 Komisi Nasional Perempuan. Adapun jenis kekerasan yang sering dilaporkan terjadi adalah pemerkosaan, pemaksaan hubungan seks, meraba, mencium, dan eksploitasi seksual.
”Belakangan ini fenomena kekerasan seksual melalui teknologi informasi,” kata Anggreni. Korban diperdaya untuk mengunggah foto bernuansa seksual kemudian diancam atau diperas. Anggreni menyatakan, LBH Apik Bali pernah menangani kasus kekerasan seksual melalui teknologi informasi dengan korbannya remaja SMP.
Belakangan ini fenomena kekerasan seksual melalui teknologi informasi.
Menurut Anggreni, UU tentang penghapusan kekerasan seksual dibutuhkan karena undang-undang yang ada belum menjangkau bentuk-bentuk kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat. Undang-undang tersebut juga diharapkan memberikan keadilan kepada korbannya.
Ketua LPPM IHDN Ni Ketut Srie Kusumawardani menyatakan, IHDN Denpasar memiliki Pusat Studi Jender dan Anak dan LPPM yang dapat membantu memberikan bimbingan dan penyuluhan. Melalui kerja sama antara IHDN Denpasar dan Jaringan Advokasi #Gerak Bersama, IHDN Denpasar dapat lebih memperluas jejaring perlindungan perempuan dan anak.