Mengarungi Laut Maluku Bersama Perempuan Nelayan
Liputan jelajah laut di Maluku mempertemukan wartawan "Kompas" dengan perempuan nelayan muda Mentari Tuhumury.
Langit mendung di laut Maluku pagi itu seperti perasaan saya: kelam. Saya khawatir, perahu miring yang kami gunakan ditelan ombak.
Harian Kompas berkolaborasi dengan Yayasan EcoNusa menggelar liputan khusus Jelajah Laut Papua Maluku selama Juni-September 2023. Sejumlah tim diterjunkan menyaksikan langsung persoalan perikanan, termasuk manusianya, di lumbung perikanan nasional tersebut.
Saya masuk tim wilayah Ambon, Pulau Seram, dan Buru. Saya bersama Final Daeng, Fransiskus Pati Herin, dan Raynard Kristian Bonanio Pardede. Selama 30 Agustus-10 September, kami menemui nelayan, melihat dampak tambang, dan lainnya.
Agenda yang cukup mendebarkan adalah melaut bersama Mentari Tuhumury (22), perempuan nelayan. Mahasiswa Jurusan Keperawatan di Universitas Kristen Indonesia Maluku itu termasuk penangkap ikan tuna andal Desa Urimessing, Kecamatan Nusaniwe, Ambon.
Bagi saya yang tidak mahir berenang, naik perahu membuat jantung berdegup kencang. Memang, saya pernah menumpang perahu nelayan di Cirebon dan menyisir pantai utara Jawa. Namun, gelombang di sana tidak setinggi di Maluku. Apalagi, ini pengalaman perdana.
Hari pertama dan kedua di Ambon, saya masih ”terbebas” dari tugas melaut. Sebab, Mentari saat itu sukar dihubungi dan cuaca sedang tak bersahabat.
”Besok, pukul 05.00 (pagi) start dari hotel,” pesan Frans di grup Whatsapp disertai foto bersama Mentari, Sabtu (2/9/2023) tengah malam.
”Tidak usah ke dalam-dalam laut, Kaka Frans. Ha-ha-ha,” pesan saya ke Frans.
”Aman sudah,” balasnya.
Baca juga : Kisah Para Perempuan Tangguh Penakluk Ombak dari Kepulauan Maluku
Kami memang sudah menyiapkan empat pelampung tiup untuk berjaga-jaga. Bahkan, Final Daeng memberi kursus singkat penggunaan pelampung yang dibeli khusus untuk jelajah ini.
Pada Minggu (3/9/2023) sebelum pukul 05.00, kami bergerak ke lokasi. Dalam perjalanan sekitar 45 menit dengan langit yang masih gelap, Frans bercerita banyak hal tentang Mentari.
Namun, yang saya ingat hanyalah pesan, ”Perahu Mentari agak miring. Jadi, tidak bisa banyak orang.”
Akhirnya, kami sampai di tempat tinggal Mentari yang sederhana. Belum semua lantainya berkeramik dan beberapa titik di plafonnya ada yang bocor. Catnya juga memudar, seperti dua stiker calon legislatif yang tidak jelas isi pesannya.
Mentari menyambut kami dengan senyum sembari melambaikan tangan kirinya yang bagian pergelangannya dilapisi daun hijau. Daun itu menjelma menjadi obat tradisional untuk meredakan keseleo di tangannya saat mengendarai motor. Meski linu, ia meyakinkan bisa melaut.
Kami pun menuju pantai, tidak jauh dari rumahnya. Tanpa alas kaki, tangan kanan Mentari menenteng bensin sekitar 5 liter, sedangkan tangan kirinya membawa oli. Gemuruh ombak yang pecah kian terdengar saat kami mendekati pantai. Embusan angin ikut menyapa.
”(Ombak) ini tergolong biasa. Hari ini teduh, kemarin itu yang tinggi,” kata Mentari, yang tidak mengenakan pelampung keselamatan.
Kami terenyak. Bagaimana mungkin perempuan dengan tinggi kurang dari 150 sentimeter itu menganggap ombak setinggi 1,5 meter tergolong biasa.
Mentari lalu mengangkat batang kayu dan menaruhnya di pasir pantai untuk menjadi jalur perahunya menuju laut. Pamannya dan sejumlah warga turut membantu meluncurkan perahu sepanjang 7,5 meter itu. Ia pun menarik tali starter perahu hingga mesin tempel 15 PK menderu.
Selain mengenakan pelampung, kami juga menggunakan dua perahu untuk memastikan keamanan. Saya bersama Frans dan Mentari, sedangkan perahu lainnya berisi Final Daeng, Raynard, dan paman Mentari. Pembagian itu sesuai perhitungan keselamatan.
Baca juga : Fauziah Madjid, Daya Perempuan Jailolo
Saya dan Raynard tidak mahir berenang. Jadi, kami tidak boleh satu perahu. Kami harus berada di dekat Frans dan Final Daeng, yang merupakan perenang ulung. Bahkan, Frans pernah melompat dari kapal di tengah selat Pulau Lembata demi mengikuti tahapan tes di Kompas.
”Aman sudah,” ucap Frans meyakinkan. Saya duduk di depan perahu, Frans di tengah, dan Mentari di bagian kemudi.
Berada di paling depan, sejauh mata memandang hanya ada lautan. Tingginya ombak membuat lambung depan perahu berbunyi saat membentur permukaan laut.
Meliput atau diliput
Langit mendung di laut Maluku pagi itu seperti perasaan saya: kelam. Saya khawatir, perahu miring yang kami gunakan ditelan ombak. Dua tangan saya memegang erat sisi perahu. Kami membisu. Dalam hati, saya berdoa dengan lantang.
Saya sontak teringat buku Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme yang ditulis Ahmad Arif, wartawan Kompas. Salah satu bagiannya menerangkan peristiwa tenggelamnya dua wartawan ketika mengikuti tim investigasi kasus Kapal Motor Penumpang Levina I pada 2007 silam.
Kita semua berduka atas kejadian itu. Doa terbaik untuk para jurnalis yang gugur dalam tugasnya. Namun, tragedi itu mengingatkan pentingnya wartawan menganalisis situasi dan mengantisipasi kemungkinan terburuk. Jangan sampai niat meliput berakhir dengan diliput.
”Bahaya akan selalu membayangi kerja wartawan. Kebanyakan wartawan malu mengakui bahwa mereka takut pada bahaya yang mengintai kerja mereka,” tulis Arif. Ia mencontohkan David Handschuh, fotografer New York Daily News yang memotret tragedi 11 September 2001.
David menuturkan, biasanya wartawan tak dapat menolak tugas dari bosnya meski dia tahu betul tugas itu sangat berisiko. ”Hal itu akan berdampak pada karier kami mendatang karena dicap sebagai wartawan yang tak mampu meliput berita,” ujarnya dikutip dalam buku itu.
Di sisi lainnya, publik biasanya tak ingin tahu bagaimana kekhawatiran jurnalis dalam meliput. Audiens hanya mau membaca hasil liputan wartawan, bukan keluh kesah mereka. Padahal, meski terobsesi dengan tantangan, jurnalis umumnya juga rentan stres bahkan trauma.
Selain buku itu, saya juga teringat pesan Final Daeng saat rapat, ”Yang terpenting di liputan jelajah ini keamanan dan keselamatan. Kalau cuaca buruk, jangan menyeberang.” Saya kembali mengevaluasi perjalanan kami yang belum sampai setengah jalan.
Selain ombak yang cukup tinggi, perahu kami juga dalam kondisi agak miring. Beberapa kali Mentari mengingatkan agar kami tidak banyak goyang. Di lautan juga hanya tampak dua perahu.
Nelayan lainnya tidak melaut karena hari Minggu mereka beribadah. Saya sempat ragu melanjutkan ini.
”Kak Frans, pulang sudah,” ucap saya. Ia lalu bertanya kepada Mentari tentang berapa lama lagi sampai ke lokasi tuna. Perjalanan masih sekitar sejam lagi.
Namun, ombak terasa semakin tinggi di tengah laut. Kami akhirnya meminta Mentari memancing di lokasi terdekat.
Mentari mematikan mesin perahu. Sambil menunggu perahu lainnya, kami memotretnya menebar pancing. Setidaknya kami mengetahui caranya menangkap ikan.
Sayangnya, karena bukan di lokasi utama, ia tidak mendapatkan tuna. Ia pun menawarkan melanjutkan perjalanan.
Mentari merekomendasikan agar salah satu dari kami pindah ke perahu lainnya agar perahunya seimbang. Namun, saya ragu perahu pamannya yang ukurannya sedikit lebih kecil bisa menampung empat orang. Saya kembali meminta berbalik arah. Frans akhirnya setuju.
Sejujurnya, saya merasa bersalah karena liputan kali ini tidak maksimal. Namun, tim tidak pernah menyalahkan saya. Bahkan, mereka mencoba menenangkan.
Sambil menyilangkan tangan, saya mengabarkan ke Final Daeng, pimpinan tim, untuk kembali ke darat. Ia sepakat meski raut wajahnya menyimpan banyak pertanyaan.
Paman Mentari bahkan tersenyum. Menurutnya, ombak saat itu masih tergolong sedang, bukan bahaya.
Sesampainya di pesisir, saya menjelaskan lagi alasan untuk tidak melanjutkan perjalanan. Untungnya, tim bisa memahaminya.
”Jangan lanjut kalau ragu. Saya juga sempat khawatir kalau perahunya pecah setelah menabrak permukaan laut,” ucap Final Daeng.
”Perahu itu kalau bocor atau terbalik langsung tenggelam,” balas Frans seakan mendukung keputusan kembali ke darat.
Sejujurnya, saya merasa bersalah karena liputan kali ini tidak maksimal. Namun, tim tidak pernah menyalahkan saya. Bahkan, mereka mencoba menenangkan.
Frans, misalnya, beberapa kali melontarkan candaan khas orang Maluku. Salah satunya, politisi petinju.
”Ini panggilan warga untuk politisi yang pelit, enggak kasih bantuan. Jadi, kalau dia datang, tangannya dikepal seperti petinju, enggak mau kasih duit,” ujarnya sambil tertawa.
Setelah menerjang ombak bersama Mentari, kami kembali ke laut. Kami menyeberangi lautan menggunakan kapal feri dan kapal cepat berjam-jam ke Pulau Buru dan Pulau Seram. Maklum, namanya saja jelajah laut, jadi harus melintasi laut.
Dari perjalanan ini, kami semakin sadar bahwa transportasi di Maluku tidak semudah di Jawa. Kehidupan nelayan, seperti Mentari, juga penuh risiko. Apalagi, perempuan belum diakui sebagai nelayan. Padahal, pengakuan itu bisa membantunya mengakses asuransi nelayan dan bantuan.
Liputan kali ini juga kembali mengingatkan pentingnya mengantisipasi hal terburuk, termasuk saat melaut. Memang ada pepatah di kampung saya, Bugis Makassar, ”Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai” yang menunjukkan perjuangan dan optimisme warga.
Namun, dalam kondisi tertentu, mungkin semboyan itu bisa berbunyi, ”Sekali layar terkembang, pantang lanjut bila tak aman”. Ingat, tidak ada berita seharga nyawa.
Baca juga : Maluku Utara