Sebotol ”Wine” dan Sepucuk Kartu dari Paris
Saat hendak meninggalkan perahu, Cissé menahan dan meminta saya menunggu sebentar. Ia bergegas ke dapur dan kembali dengan sebotol wine. ”Mon amie... s’il vous plait,” kata Cissé mengangsurkan botol itu kepada saya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F11%2F8729b140-1541-41b9-93a1-2c4e5209528e_jpg.jpg)
Wisatawan sedang duduk di Jardin des Tuileries (Taman Tuileries) sambil menghadap kolam dan Obélisques de Louxor (tugu Obelisk Mesir kuno), Paris, Perancis, Kamis (20/7/2023).
Kunjungan ke Perancis pada 17-20 Juli 2023 lalu tidak hanya meninggalkan kenangan menikmati keagungan bangunan arsitektural bersejarah, kuliner, dan karya seni, tetapi juga pengalaman unik. Mulai dari tersesat di kota Paris hingga mendapat sepucuk kartu dan sebotol wine gratis.
Tak pernah terbayangkan sebelumnya, saya akan mendapat penugasan pertama dinas luar negeri (DLN) ke Perancis. Saya berangkat ke sana untuk mewakili Kompas yang memperoleh undangan dari PT Indomobil Wahana Trada dan Stellantis. Indomobil sebagai distributor Citroën dan Stellantis sebagai perusahaan yang menaungi Citroën.
Tentu, rasa senang dan antusias sekaligus deg-degan bercampur jadi satu seusai menutup panggilan telepon penugasan yang disampaikan Mas Tra, Wakil Pemimpin Red Harian Kompas.
Beberapa hari sebelum berangkat, saya menyempatkan mampir ke kantor untuk mengambil uang saku dan koper. Di sana, saya juga bertemu sejumlah editor dan senior yang berpesan agar saya menikmati DLN pertama ke ”Benua Biru”. Tak lupa mereka juga berbagi pengalaman dan saran mengingat saya ke sana sebagai representasi Kompas.
Salah satu sarannya adalah agar berpakaian rapi, sopan, dan menyesuaikan dengan agenda acara dari pihak pengundang.
”Ojongisin-isinke, harus pakaian rapi dan sopan. Uang DLN dipakai untuk beli pakaian,” kata Mas Gesit, Sekretaris Redaksi Kompas, sembari tertawa melihat celana hitam saya yang tak lagi berwarna hitam.
Baca juga: Mengenang Paris Sekali Lagi
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F11%2F72f8085f-a4e7-4696-9f11-a2313372574e_jpg.jpg)
Sudut kota Saint-Germain-en-Laye, Perancis, Rabu (19/7/2023). Tampak bangunan bersejarah, seperti gereja Saint-Germain yang bergaya neoklasik.
Menghayati pesan-pesan itu, uang DLN pun saya gunakan untuk membeli pakaian, terutama celana panjang karena empat celana yang saya miliki sudah bulukan. Ada pula yang robek di bagian lutut karena bahannya sudah tipis. Dalam hati merasa senang karena punya alasan untuk beli pakaian baru.
Pada hari keberangkatan, 16 Juli 2023, saya bersama 12 anggota rombongan lainnya menempuh sekitar 13 jam perjalanan dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Charles de Gaul, Paris, via Doha, Qatar.
Tiba pada pukul 07.25, kami tertahan sekitar satu jam di pintu kedatangan karena tidak tahu siapa yang akan menjemput. Mas Herry dari PT Indomobil Wahana Trada kemudian sibuk menelepon untuk memberi tahu bahwa rombongan sudah tiba.
Saya tidak paham persis siapa saja yang ia telepon. Hanya, salah satu yang diteleponnya adalah sopir yang akan menjemput. Mas Herry bahkan sempat mengirim pesan berupa foto tempat kami berada.
Namun, setelah beberapa waktu, tak kunjung ada yang menghampiri. Rupanya kami saling menunggu karena komunikasi sedikit terkendala mengingat sang sopir tidak bisa berbahasa Inggris.
Saya lalu berinisiatif mencari informasi. Dengan modal mengingat-ingat pelajaran bahasa Perancis di bangku kuliah dulu, akhirnya berhasil juga saya menemukan sang sopir.
Baca juga : Di Vietnam, Makan Terus tetapi Enggak Gemuk

Suasana taman di restoran Le Jardin de Plumes di Giverny, Perancis, Rabu (19/7/2023). Di taman itu terdapat karya pematung metal bernama Jean Alexander Delattre.
Pada mulanya, saya bertanya kepada petugas bandara lokasi pintu keluar dan tempat parkir mobil. Ketika hendak menuju pintu keluar, seorang pria tampak celingak-celinguk, lalu bertanya kepada beberapa orang yang melintas di dekatnya. Saya lantas menghampirinya. Ternyata benar, ia sopir yang kami cari. Si sopir lalu membawa kami keluar menuju lokasi parkir kendaraan.
Setelah itu, saya jadi ”mendadak guide” karena harus menerjemahkan pesan dari sopir kepada rombongan.
”Gaes, kata pak sopir perjalanan menuju hotel sekitar 1 jam sampai 1,5 jam karena agak macet. Jangan lupa pakai sabuk pengaman. Kalau enggak pakai dan ketahuan, bisa kena denda yang mahal dari polisi,” kata saya.
Tersesat
Salah satu agenda kunjungan ke Perancis selama empat hari ini adalah uji kendaraan mobil Citroën dengan menjelajahi kota Paris menuju kota Evereux. Rute ke Evereux tidak melalui jalan tol, tetapi melewati jalan perkotaan dan perdesaan.
Ternyata seru sekali. Tidak saja karena bisa menikmati pemandangan berupa bangunan bersejarah dan monumental, rumah-rumah tua, taman, ladang gandum, dan bunga matahari, tetapi juga karena sempat tersesat saat menuju kota Evereux.
Baca juga : Menyelisik Kisah Pangan yang Tak Ringan di Pulau Timor
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F11%2F9c698e30-2f8a-4b89-b13d-a9e0a02ea69b_jpg.jpg)
Wisatawan mengelilingi kawasan Musée des Arts Décoratifs (Museum Seni Dekoratif) di sisi barat Museum Louvre, Paris, Kamis (20/7/2023).
Berangkat dari Hotel Molitor, tempat kami menginap di Paris, kami meluncur dengan mobil masing-masing. Saya pikir bakal ada pengawalan dari polisi. Rupanya kami hanya dibekali fitur peta digital di layar yang ada di dasbor mobil.
Saat itu, saya berpasangan dengan rekan jurnalis dari Tempo, mengendarai seri C5 Aircross. Awalnya rombongan kendaraan meluncur beriringan. Namun, belum juga lewat 1 kilometer, rombongan sudah terpisah dan berbaur dengan kendaraan lain.
Sulit memang untuk terus beriringan karena kami harus mematuhi aturan lalu lintas. Tak bisa asal menyalip kendaraan, apalagi nekat menerobos lampu lalu lintas, meski lampu masih kuning.
Karena tak lagi melihat satu pun mobil anggota rombongan, mau tak mau saya harus mengandalkan peta digital. Sambil adaptasi menggunakan setir kiri, saya juga harus fokus memperhatikan jalan dan peta digital.
Kekhawatiran kami pun jadi kenyataan. Kami tersesat karena beberapa kali salah memilih belokan di persimpangan. Rupanya harus benar-benar cermat dalam membaca peta digital. Kami pun berusaha membaca peta digital dengan lebih saksama agar bisa kembali ke jalan yang benar.
Baca juga : Terkurung di Balkon Wisma Atlet Chengdu
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F11%2Fe6e91864-36c9-4e6b-a1ec-1134b9e52629_jpg.jpg)
Suasana kawasan kastil bernama Chateau de Thoiry di Desa Thoiry, Perancis, Rabu (19/7/2023). Kastil itu dibangun pada abad ke- 16 dengan arsitek Raoul Moreau dan Philibert de L'Orme. Kastil yang berada di kawasan seluas 150 hektar itu dikelilingi oleh taman botani dan kebun binatang.
Beruntung, kami segera menguasai pembacaan peta digital yang akhirnya sangat membantu mencegah kami tersesat lebih jauh. Akhirnya, kami berhasil sampai di titik kumpul yang telah ditentukan. Ternyata bukan kami saja yang tersesat, beberapa teman lain pun tersesat.
Dan, rupanya tidak cukup sekali saya tersesat. Saat mengunjungi sejumlah obyek wisata, kembali saya tersesat. Salah satunya di kawasan Menara Eiffel. Setelah menikmati makan malam di restoran Madame Brasserie di Menara Eiffel, sebagian rombongan turun melalui lift dan sebagian lagi melalui anak tangga.
Saya salah satu yang memilih turun dengan menapaki 699 anak tangga agar bisa menikmati keindahan kota Paris dan struktur bangunan menara yang dirancang oleh Gustave Eiffel itu.
Hingga selesai menuruni anak tangga, lalu menyusuri kawasan dalam dan luar Menara Eiffel, barulah saya sadar terpisah dengan rombongan yang telah berkumpul untuk bersama-sama kembali ke hotel.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F11%2Ffd5c3797-c6d0-4ddc-ae62-4bc57dc10e4d_jpg.jpg)
Seorang wisatawan turun menyusuri 699 anak tangga Menara Eiffel, Rabu (19/7/2023). Wisatawan bisa menikmati keindahan kota Paris dan melihat kemegahan menara yang pembangunannya selesai pada tahun 1898 itu.
Setelah melihat titik lokasi yang dibagikan live oleh salah satu anggota rombongan via Whatsapp, saya pun bergegas menuju titik yang berjarak sekitar 2 kilometer itu. Ternyata saya kesulitan mencapainya. ”Aduh, saya tersesat,” gumam saya, berusaha mengingat jalan yang telah dilalui sebelumnya.
Terpaksa saya kembali ke titik di mana saya telah salah pilih jalan, lalu berganti haluan ke jalan yang benar.
Sebotol ”wine”
Untunglah, pengalaman di Perancis tidak hanya diisi dengan acara tersesat. Masih ada pengalaman lain yang membekas dan berkesan, yaitu saat berkesempatan menikmati keindahan Paris melalui Sungai Seine dari perahu wisata bernama Bateau Parisien.
Sungai Seine membentang sepanjang 777 kilometer dari hulu di Dijon, Perancis bagian utara, dan membelah Paris menuju Kanal Inggris di Le Havre.
Menyusuri Sungai Seine dengan perahu bak mengunjungi museum berjalan yang menampilkan keindahan dan kemegahan mahakarya yang tercipta sejak berabad-abad silam.
Sambil naik perahu, kami menikmati hidangan yang tersaji di atas meja. Saya sulit untuk tidak berkhayal tentang betapa romantis jika saat itu bisa makan bersama pasangan.
Bercengkerama sambil menyaksikan karya yang terpajang di pinggir Sungai Seine dan mendengarkan suara merdu biduan mendendangkan ”Aux Champs-Elysees”, ”Ave Maria”, dan lagu-lagu lainnya, aduhai indahnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F11%2F785bc641-9049-48c3-9cd9-4e0a7181ca72_jpg.jpg)
Turis menyusuri Sungai Seine dengan perahu wisata Bateau Parisien sembari menikmati senja kota Paris dan bersantap, Selasa (18/7/2023). Di sepanjang Sungai Seine berjejer bangunan dan jembatan bersejarah.
Suara merdu sang penyanyi terus menemani kami yang asyik menyaksikan deretan bangunan bersejarah nan megah, seperti Museum Orsay, Museum Louvre, Asemblée Nationale, hingga jembatan-jembatan bersejarah yang melintang di atas Sungai Seine.
Beberapa yang terkenal adalah Pont d’Iéna, Pont de L’alma, Pont des Ivalides, Pont Alexandre III, Pont de la Concorde, Pont du Carrousel, Pont des Arts, dan Pont Neuf.
Tak terasa, kami sudah menghabiskan waktu selama tiga jam di atas perahu. Saat langit kota Paris mulai gelap, mata pun langsung tertuju pada Menara Eiffel yang bermandikan kerlip cahaya kuning terang. Seorang pramusaji memberi saran untuk menuju dek belakang agar bisa melihat Menara Eiffel lebih jelas.
Dari kejauhan, menara itu tampak anggun. Para penumpang yang berada di dek perahu sibuk mengabadikan kemilau Menara Eiffel melalui kamera telepon seluler masing-masing sebelum perahu berlabuh, termasuk saya. Setelah puas, saya kembali ke area dalam dan bersiap meninggalkan kapal.
Sebelumnya, saya sempatkan menghampiri seorang pramusaji untuk mengucapkan terima kasih atas keramahannya. Pramusaji bernama Cissé itu membalas dengan penuh senyum dan meminta kami untuk datang kembali.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F11%2Fed3031a4-9884-435c-8fd2-928c9d6090de_jpg.jpg)
Suasana malam di kota Paris yang terlihat dari atas perahu wisata Bateau Parisien yang membawa wisatawan menyusuri Sungai Seine, Selasa (18/7/2023). Tampak dari kejauhan cahaya lampu Menara Eiffel.
Percakapan kecil berlanjut dengan ia menanyakan asal kami. Setelah tahu kami dari Indonesia, ia langsung mengucapkan ”Assalamualaikum", yang saya balas dengan, ”Waalaikumsalam”.
Saat hendak meninggalkan perahu, Cissé menahan saya. Ia meminta saya untuk menunggu sebentar lantas bergegas ke dapur dan kembali dengan sebotol wine.
”Mon amie... s’il vous plait (temanku, silakan),” kata Cissé sambil mengangsurkan botol wine itu kepada saya.
Sebotol wine itu sebenarnya pesanan seorang tamu. Karena tak jadi diminum, oleh Cisse, wine itu diberikan untuk saya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F11%2F4f8d7872-2372-4f66-8b94-017743c309f1_jpg.jpg)
Gemerlap cahaya lampu Menara Eiffel yang terlihat dari perahu wisata Bateau Parisien yang membawa wisatawan menyusuri Sungai Seine, Selasa (18/7/2023).
Sepucuk kartu
Pengalaman berkesan lain terjadi saat mengunjungi restoran kecil bernama Le Pergolèse di Rue Pergolèse (Jalan Pergolèse). Saat masuk ke dalamnya, tiga pramusaji dan seorang chef menyambut kami dengan hangat.
Setelah menunggu sang chef menyiapkan hidangan 7 -course fine dining, tiga pramusaji menghidangkan makanan itu dan mempersilakan kami menyantapnya.
Satu suapan sup berwarna hijau berisi kacang polong dan kaviar mendarat di rongga mulut dengan lembut. Teksturnya terasa creamy. Saya pun makan perlahan untuk meresapi sensasi cita rasanya.
Suapan kedua hingga kelima, saya hanya bisa menganggukkan kepala demi menikmati sup itu. Spontan sebuah kata terucap, ”Lezat!” Pramusaji tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F11%2F8dff679b-34fa-45d4-9aa9-4832bbaf4783_jpg.jpg)
Suasana jalanan di Rue Pergolèse (Jalan Pergolèse) dan jejeran bangunan tua menjadi salah satu tujuan wisata di Paris, Perancis, Kamis (20/7/2023). Di jalan ini ada sejumlah restoran, salah satunya Le Pergolèse milik chef bintang Stéphane Gaborieau.
Hidangan utama kedua yang berbahan ikan dan hidangan ketiga dari daging domba bergantian menggoyang lidah.
Saya pun dibuat takjub dengan hidangan ketiga. Meskipun dimasak dengan tingkat kematangan medium rare atau setengah matang, tidak ada jejak bau prengus sama sekali. Setiap potongan dagingnya yang berpadu dengan campuran saus jahe dan lemon terasa begitu empuk, kaya rasa, dan bersari.
Terdorong oleh rasa penasaran, saya memanggil pramusaji untuk menanyakan nama ketiga hidangan menu utama itu. Serangkaian nama pun disebutkan: Velouté de petits pois glacé mousse à l'oignon blanc, quenelle de caviar; Aiguillette de Saint-Pierre meunière; dan Cylindre d'agneau parfumé.
Setelah mendapat jawaban, tak lupa saya mengatakan amat menyukai sajian makanan yang istimewa dan lezat itu.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F12%2Ff64b1472-101f-4b62-93ca-76ab5fe6301d_jpg.jpg)
Suasana di restoran Le Pergolèse, Kamis (20/7/2023) malam. Chef Stéphane Gaborieau, pemilik restoran Le Pergolèse, memajang lukisan agar restorannya lebih berwarna dan pengunjung bisa menikmati hidangan sembari melihat lukisan.
Sang pramusaji kembali ke dapur. Tak lama ia keluar lagi bersama pramusaji lain membawakan sajian keenam, Déclinasion de fruits rouge, dan hidangan ketujuh, Café ou infusion-mignardises.
Di belakangnya, chef menyusul menghampiri meja kami. Ia memperkenalkan diri lalu meminta komentar tentang masakannya. Semua sepakat bahwa sajiannya lezat dan kami menikmatinya.
Sejurus kemudian saya tersadar bahwa chef yang bernama Stéphane Gaborieau itu adalah chef bintang di Perancis, setelah melihat kerah pakaiannya yang berhias warna bendera Perancis, biru-putih-merah.
Lingkar kerah dengan bendera Perancis itu hanya bisa diperoleh chef yang mendapatkan gelar bergengsi Meilluer Ouvrier de France (MOF) atau chef terbaik di Perancis.
Penobatan sebagai MOF dan penganugerahan medali penghargaan MOF Honoris Causa dari Presiden Perancis bertempat di Sorbonne. Stéphane mendapatkan gelar MOF itu pada 2004. Tiga tahun kemudian, ia membuka restoran Le Pergolèse dan mendapat bintang Michelin.
Baca juga : Disambut Gempa Saat Hendak ke Hiroshima dan Nagasaki
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F11%2F72528873-28c0-4de6-8dcb-aa91b76eb168_jpg.jpg)
Chef Stéphane Gaborieau dari restoran Le Pergolèse.
Rasa senang telah bertemu chef bintang berakhir dengan sebuah kejutan kecil. Stéphane memberikan sebuah kartu yang ia tulis tangan sendiri: ”Meilluer Ouvrier de France 2004, Stéphane Gaborieau Cuisiner”, disertai stempel. Ucapan terima kasih saya ia balas dengan sedikit membungkuk sambil memegang dadanya.
Rupanya, hanya saya satu-satunya yang menerima surat itu. Teman-teman lain yang menyaksikan momen itu lalu bertepuk tangan dan mengatakan saya sangat beruntung telah mendapatkan surat dari seorang chef bintang.
Tak mau melewatkan kesempatan itu, saya meminta chef Stéphane untuk foto bersama. Rangkulan erat dan hidangan lezat dari Stéphane menjadi penutup kunjungan kami di Perancis karena keesokan harinya kami harus bertolak ke Tanah Air.
A bien tôt Français, sampai jumpa lagi Perancis.....