Di Vietnam, Makan Terus tetapi Enggak Gemuk
Menu lainnya adalah salad yang berisi daun sirih bumi atau ketumpang air dengan saus asam dan pedas. Di Tanah Air, tanaman yang banyak ditemukan di pekarangan ini jarang dimanfaatkan karena lebih sering dianggap gulma.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F16%2F8117c76f-43dd-4d3b-b781-d4a03e3e3989_jpg.jpg)
Menikmati hidangan boga bahari di kota Da Nang. Di sana banyak restoran boga bahari yang terletak bersampingan dengan pantai.
Kuliner Vietnam selalu punya daya tarik tersendiri. Banyak olahan masakan Vietnam yang diklaim lebih sehat karena minim proses penggorengan. Katanya, ini rahasia turun-temurun agar berat badan tetap terjaga.
Setelah kesekian kalinya meliput tentang makanan, baru kali ini saat menimbang berat badan, jarum timbangan tidak bergerak ke kanan, malah ke kiri! Entah sugesti atau bukan, selama di Vietnam saya amat menikmati semua hidangan kuliner yang didominasi sayuran dan buah-buahan.
Liputan ke Vietnam menjadi penugasan luar negeri pertama sejak saya menjadi wartawan Kompas lima tahun lalu. Bermula dari pesan pribadi Mbak Sarie Febriane pada 5 Agustus 2023, ”Mel, dirimu punya paspor, kan? Kamu minggu depan ke Vietnam bisa enggak ya?” Tanpa berpikir panjang, saya langsung mengiyakan tawaran itu.
Sejak lama, Vietnam memang masuk daftar negara yang ingin saya datangi suatu saat nanti. Rupanya kesempatan ke sana datang lebih awal melalui penugasan ini.
”Di Vietnam, makanannya enak-enak! Kamu bakal suka deh,” kata Mbak Sarie. Setelah sampai di Vietnam dan mencicipi kulinernya, saya mengamini betul pesan Mbak Sarie. Ya ampun, makanan di Vietnam ini kok enak-enak semua. Cocok untuk lidah orang Indonesia yang menyukai hidangan pedas dan asam.
Kunjungan ke Vietnam pada 11-15 Agustus 2023 merupakan bagian dari undangan Vietjet, maskapai swasta asal Vietnam. Perjalanan ini bertujuan memperkenalkan rute penerbangan terbaru Vietjet, yakni Jakarta-Ho Chi Minh yang dibuka mulai awal Agustus 2023.
Tujuan terbagi menjadi dua destinasi, yakni ke kota Da Nang (11-13 Agustus 2023) dan Ho Chi Minh (13-15 Agustus 2023). Ada 18 jurnalis dari Jakarta yang bergabung dalam kegiatan tersebut.
Baca juga: Cintaku pada "Pho"
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F16%2F1fa3059e-e0f4-4bdf-a71a-3c093ef19841_jpg.jpg)
Menu makan siang lumayan “berat” yang ditawarkan di atas pesawat, berupa mien xao tom cua atau bihun yang ditumis dengan bombay, udang, daging kepiting, daging ayam, jamur shitake, dan irisan wortel.
Petualangan lidah pun di mulai. Di dalam pesawat menuju Ho Chi Minh, kami ditawari sejumlah menu dari negara-negara Asia Tenggara. Saya berfokus pada daftar menu khas Vietnam saja. Pilihan pun jatuh pada mien xao tom cua atau bihun yang dicampur dengan bombay, daun bawang, wortel, jamur shitake, ayam, daging kepiting, dan udang.
Aromanya sedap sekali. Cita rasanya tidak berlebihan, sederhana dan nyaman. Saya menduga bihunnya ditumis dengan bawang dan kecap ikan karena rasanya begitu gurih dan ”ikan banget”.
Hidangan tersebut tandas saya santap, tak bersisa sedikit pun. Waktunya tidur. Namun, mata belum jadi terpejam, pramugari sudah datang lagi. Kali ini menawarkan camilan untuk dinikmati.
Durasi penerbangan yang lebih dari tiga jam membuat penumpang di kelas yang saya tempati ini mendapat ”jatah” makan besar dan makanan ringan. Jadi, intinya makan dan makan terus.
Tiba di Bandara Internasional Tan Son Nhat, Ho Chi Minh, kami transit sekitar satu jam sebelum bertolak ke Da Nang dengan penerbangan domestik. Durasi penerbangan sekitar 1 jam 30 menit.
Perut belum terlalu lapar sebenarnya, tetapi tak lama setelah terbang, pramugari mulai menawari makanan. Kali ini, saya memilih snack ketan yang agak unik bernama xoi man. Snack ketan ini terdiri dari nasi ketan gurih, sosis lapchiong, abon babi, telur puyuh, sosis babi Vietnam, dan minyak daun bawang.
Makanan yang diantar tak jauh berbeda dengan foto dan deskripsi pada daftar menu. Wah, sangat tidak mengecewakan! Kenyang sekali menyantap makanan yang katanya dikenal sebagai snack jajanan pinggir jalan ini.
Baca juga: Menyelisik Kisah Pangan yang Tak Ringan di Pulau Timor

Jajanan khas Vietnam, xoi man atau ketan yang dilengkapi dengan sosis lapchiong, abon daging, telur puyuh, sosis babi khas Vietnam, dan minyan daun bawang (scallion oil).
Kuliner di Da Nang
Keesokan harinya, kami berkunjung ke Ba Na Hills dan Kampung Hoi An. Di Ba Na Hills, kami makan siang di Arapang Buffet Restaurant dengan paket all you can eat senilai 350.000 dong atau sekitar Rp 223.000 per orang.
Ada banyak menu yang tersedia di sana. Yang menarik perhatian adalah makanan dengan perpaduan rasa asam dan pedas, seperti goi ngo sen tom thit (salad dari akar bunga lotus yang dimasak dengan udang dan babi) dan mien tron hai san (bihun dan seafood).
Olahan bunga lotus memang terkenal di Vietnam. Dari biji hingga akarnya bisa digunakan sebagai bahan makanan. Akar lotus memiliki tekstur yang renyah dengan rasa tawar. Ini mengingatkan pada rebung atau pucuk bambu muda.
Baca juga: Di Sini Senang, di Da Nang Senang

Goi ngo sen tom thit (kiri) dan mien tron hai san (kanan).
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F16%2Fd2b7c30d-bb4a-4399-ab44-51aef518dd6f_jpg.jpg)
Setelah berkeliling di Ba Na Hills, sempatkan untuk singgah makan siang di Arapang Buffet Restaurant. Dengan paket all you can eat sebesar 350.000 dong atau sekitar Rp 223.000, seorang pengunjung bisa menikmati beragam menu mancanegara. Salah satunya jajanan khas Vietnam banh xeo tom thit (pancake telur dengan isian kacang hijau, udang, taoge, dan daun bawang).
Mayoritas masakan Vietnam menggunakan daun ketumbar, entah sebagai hiasan atau campuran. Tampilan daunnya sekilas mirip dengan seledri, tetapi aromanya lebih tajam.
Semula lidah ini belum terbiasa. Padahal, seledri juga sering dijumpai di kuah bakso dan soto, kan. Bedanya, ketumbar terasa lebih segar, seperti aroma pasta gigi yang tajam.
Menu lainnya yang saya cicipi adalah pho bo atau sup kuah daging sapi lengkap dengan mi tepung beras. Irisan daging berwarna merah muda diletakkan setelah kuah dan mi beras. Amat juicy dan gurih.
Chau Quang Huong Duong yang lancar berbahasa Indonesia ini lebih akrab disapa Joko. Ia kemudian mengatakan, pho merupakan bentuk akulturasi budaya antara Perancis dan China.
Chau Quang Huong Duong, pemandu wisata kami di Da Nang, memberikan saran dalam menyantap pho, yakni dengan perasan jeruk nipis dan acar bawang merah.
Chau Quang Huong Duong yang lancar berbahasa Indonesia ini lebih akrab disapa Joko. Ia kemudian mengatakan, pho merupakan bentuk akulturasi budaya antara Perancis dan China, yakni mi yang berasal dari budaya China dan kuah kaldu hasil pengaruh kebiasaan menyantap sup oleh bangsa Eropa. Vietnam pernah dijajah oleh Perancis selama 100 tahun.
Setelah kenyang dengan pho, saya juga mencicipi jajanan pinggir jalan khas Vietnam bernama banh xeo tom thit atau panekuk telur berisi udang, kacang hijau, taoge, dan daun bawang.
Baca juga: Terkurung di Balkon Wisma Atlet Chengdu
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F16%2F4206c678-ef7a-4f7d-b2c3-1e39e5c41627_jpg.jpg)
Menu khas Vietnam yang tak boleh dilewatkan adalah pho bo atau sup kuah daging sapi yang dilengkapi dengan mi tepung beras. Kuahnya bening dan memiliki rasa kaldu yang segar. Daging sapi baru dimasak ketika pho bo hendak disantap.
Panekuk atau pancake ini terbuat dari adonan telur yang tipis seperti kulit lumpia. Mereka menyantapnya dengan kuah asam manis (nuroc mam chua ngot) yang terbuat dari campuran saus ikan, jeruk nipis, bawang merah, dan cabai. Asam dan pedasnya amat seimbang memenuhi mulut hingga saliva saya hampir saja menetes. Duh, nikmatnya!
Sebagai penutup, saya mengambil semangkuk es kacang merah dengan isian kacang merah Jepang (azuki), daging kelapa kering, kacang tanah, agar-agar, kuah santan jahe, dan gula aren cair. Rasanya cukup unik. Bayangkan kuah santan jahe yang biasanya menghangatkan malah berpadu dengan serutan es batu. Panas dingin euy.
Di sisi lain, irisan daging kelapanya renyah dan memberikan sensasi berbeda. Namun, mulut jadi bekerja ekstra untuk melumat setiap bagian. Sepertinya saya salah strategi, harusnya mengambil hidangan penutup yang lebih lembut.
Dalam perjalanan pulang dari Ba Na Hills, kami singgah di sebuah restoran Banh Mi Phuong, Sabtu (12/8/2023). Banh mi merupakan makanan khas Vietnam berupa roti baguette dengan isian daging, paprika merah, timun, wortel, daun basil, daun bawang, dan daun ketumbar. Kata Joko, restoran banh mi ini merupakan salah satu yang terenak. Saya sepakat dengannya setelah mencicipi banh mi di tempat lainnya.
Harga seporsi banh mi pork belly di Banh Mi Phuong adalah 35.000 dong atau sekitar Rp 23.000. Dengan isian yang padat dan lengkap dengan aneka sayur, saya sedikit pun tidak menyesal meski sudah menyantap roti gandum yang mengandung gluten. Lagi, sayuran dan acar selalu masuk dalam hidangan Vietnam.
Baca juga: Trauma Seusai Ratusan Kali Gempa Dangkal Guncang Jayapura

Banh mi pork belly
Malam terakhir di Da Nang ditutup dengan pesta kuliner boga bahari. Ekspektasi sudah saya turunkan sedari berangkat dari Jakarta karena bumbu yang digunakan pastilah tak sebanyak menu Nusantara. Benar saja, menu boga baharinya dimasak dengan cara yang sederhana, yakni dikukus, dipanggang, atau dimasak dengan kuah bening.
Udang panggang dan cumi kukusnya tidak dilumuri bumbu apa pun. Cara memakannya cukup dengan mencocolkan ke racikan garam, merica, dan perasan jeruk nipis. Cara yang sama dilakukan juga untuk cumi kukus.
Ada keraguan saat menyantapnya karena khawatir lokasi tumbuhnya sirih bumi ini kotor atau dekat dengan got.
Saya lebih senang menyantap cumi dan udang tanpa tambahan apa pun. Ini semakin menguatkan ”Oh jadi begini ya rasa asli dari seafood yang segar. Ada manis-manisnya.”
Menu lainnya adalah salad yang berisi daun sirih bumi atau ketumpang air (Peperomia pellucida). Tanaman ini di Tanah Air jarang dimanfaatkan karena lebih sering dianggap gulma.
Di Vietnam, tanaman ini justru disajikan dalam bentuk salad dengan saus asam dan pedas. Ada keraguan saat menyantapnya karena khawatir lokasi tumbuhnya sirih bumi ini kotor atau dekat dengan got. Namun, pada akhirnya, saya tetap menyantap salad tersebut.

Cumi kukus berukuran hampir setelapak tangan.

Salad sirih bumi atau daun peperomia.
Minim minyak
Bergeser ke kota Ho Chi Minh, kami berjumpa dengan pemandu berbahasa Indonesia yang tinggal di sana, yaitu Tran Thuy Thanh Xuan atau akrab disapa Santi. Kata Santi, makanan Vietnam memang lebih banyak dikukus dan berkuah. Mereka kurang menyukai yang digoreng lama dengan minyak berlimpah seperti gorengan di Indonesia.
”Mungkin ini yang membuat mayoritas perempuan di Vietnam bentuk badannya relatif kecil, ya,” seloroh Santi kepada rombongan jurnalis. Kami pun tertawa meringis mendengarnya sambil teringat pada perut.
Pantas saja ao dai atau pakaian tradisional perempuan Vietnam ukurannya kecil-kecil. Selama di Vietnam, kami selalu melihat mereka yang mengenakan ao dai berbadan kurus dan kecil. Jejak sejarah bentuk tubuh masyarakat Vietnam yang identik kecil ini dibuktikan saat ke terowongan Cu Chi.
Beberapa teman jurnalis yang mencoba masuk ke lubang bawah tanah sempat tersangkut pada bagian pinggul dan pantat. Mereka pun disarankan untuk keluar naik ke atas secara perlahan.
Kata Santi, masyarakat Vietnam dulu berat badannya sekitar 40 kilogram dengan tinggi badan rata-rata 160 sentimeter. Mereka banyak mengonsumsi bahan-bahan nabati yang ada di sekitar.
Setelah mendengar penjelasan ini, saya semakin semangat menyantap semua makanan di Vietnam. Saya sendiri meyakini bahwa makanan yang masuk ke tubuh berpengaruh pada kondisi kesehatan seseorang. Kalau kemudian mendapat erat badan yang stabil dan kulit yang sehat, anggap saja sebagai bonus.

Beberapa hidangan Vietnam menggunakan sayur atau buah-buahan. Ini adalah salad akar lotus dan udang kukus.
Menu yang dijumpai di Ho Chi Minh tak jauh berbeda dengan di Da Nang. Saya menjumpai salad sirih bumi, tumis bayam, dan salad udang akar lotus. Rasanya mirip. Menu lainnya yang berkesan di lidah adalah sup bi do tom (sup labu dan udang) dan tom hap nu oc dua (udang yang direbus dengan air kelapa).
Usai sudah perjalanan menyusuri Vietnam. Selama di sana, saya jarang menjumpai ayam goreng, ikan goreng, atau udang goreng. Lebih banyak bahan makanan yang diolah dengan cara dikukus, dimasak sup, atau ditumis sejenak. Entahlah, memang kebetulan atau begitu menu-menu makanan di Vietnam, minim gorengan.
Petualangan kuliner pun ditutup dengan memesan menu pho bo di dalam pesawat Vietjet. Sesampainya di rumah, saya langsung mengecek berat badan. Hasilnya, bobot malah turun 1 kilogram selama lima hari perjalanan.
Apakah karena selama di sana banyak jalan sehingga kalori yang masuk segera terbakar kembali atau memang karena faktor makanan yang relatif sehat. Apa pun itu, yang jelas makanan Vietnam telah memikat hati saya....