15 Jam yang Mendebarkan di Atas Kapal Tunda
Dalam pekatnya malam, kapal terus melaju dan tiba-tiba, ”brraaakkk...!” Terdengar suara benturan cukup keras. Kapal tiba-tiba berhenti karena membentur karang. Semua penumpang terdiam. Bayangan buruk bermain di kepala.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F18%2Fbe2574d1-a787-4673-a575-5da8b16553e4_jpg.jpg)
Suasana Desa Kolo Bawah di Kecamatan Mamosalato, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, yang berjarak 800 kilometer arah timur Kota Palu, 2011. Desa ini berpenduduk miskin terbanyak di Kecamatan Mamosalato. Warga umumnya bekerja sebagai nelayan. Saat itu, mereka resah karena lepas pantai Tiaka yang menjadi andalan untuk mencari ikan berubah menjadi menjadi lokasi pengeboran minyak.
Saya sedang liputan di Kolonodale, ibu kota Morowali Utara, Sulawesi Tengah, Rabu (24/8/2011), saat mendengar terjadi unjuk rasa yang kembali dilakukan oleh warga Desa Kolo Bawah di Kecamatan Mamosalato.
Dua hari sebelumnya, Senin (22/8/2011), mereka juga berunjuk rasa di anjungan minyak lepas pantai di Tiaka, perairan Teluk Tolo, yang berbuntut pada meninggalnya dua pendemo. Tercatat beberapa orang lainnya luka-luka.
Warga Mamosalato pun diliputi duka atas kematian dua warga mereka, Marten dan Yusrifin, sekaligus berang atas rencana pengeboran minyak di lokasi yang selama ini menjadi tempat mereka mencari ikan.
Lokasi ini bagi warga setempat adalah kerajaan ikan. Jadilah, mereka meradang, bukan hanya karena kehilangan sumber mata pencarian, melainkan juga karena tak mendapat kompensasi.
Informasi unjuk rasa pagi itu membuat saya berpikir keras. Saya putuskan untuk berangkat ke Mamosalato secepat mungkin. Bergegaslah saya ke pelabuhan feri di Kolonodale. Naas, tak ada kapal yang siap berangkat saat itu.
Alternatif jalan darat sama sekali bukan pilihan karena minimnya kondisi infrastruktur saat itu. Kolonodale dan Mamosalato belum terhubung lewat jalur darat. Artinya, saya harus memutar melalui Poso, Tojo Unauna, dan Banggai jika hendak menempuh jalan darat.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F18%2F09095626-b471-4901-8e46-6c4a1428bf62_jpg.jpg)
Suasana pemakaman Marten Datu Adam di Pemakaman Umum Desa Kolo Bawah, Kecamatan Mamosalato, Kabupaten Morowali, Sulteng, 800 km arah timur Palu. Marten Datu Adam (31) adalah korban penembakan dalam aksi protes di anjungan pengeboran minyak JOB Pertamina-Medco di Teluk Tolo, Senin (22/8/2011).
Perjalanannya akan memakan waktu lama. Bisa dua hari baru sampai di Mamosalato. Padahal, dengan kapal bisa tiba dalam lima jam, setidaknya ke pelabuhan terdekat.
Sebagai gambaran, Mamosalato adalah Kecamatan di Morowali Utara yang berjarak lebih dari 760 kilometer (km) dari Palu, ibu kota Sulawesi Tengah. Adapun jarak Palu dengan Kolonodale lebih dari 400 km.
Biasanya orang menempuh jalur via Luwuk, ibu kota Kabupaten Banggai, jika ingin menempuh jalur darat dari Kolonodale ke Mamosalato. Lebih cepat lewat jalur laut meskipun hanya dengan kapal rakyat. Untunglah kini sudah ada feri yang menghubungkan Kolonodale dan Mamosalato.
Saat itu, dalam keadaan bingung, saya melihat sepasukan Brimob ditambah pasukan dari Kepolisian Resor Poso dan Morowali Utara tengah menunggu di dermaga. Kelihatannya mereka hendak ke sana. Saya pun segera mencari sang komandan.
Kepadanya, saya sampaikan harapan untuk bisa ikut menumpang kapal bersama para pasukan. Setelah negosiasi yang cukup panjang, akhirnya saya diizinkan ikut.
Syaratnya, saya hanya boleh ikut berlayar. Sesampai di lokasi, saya tak boleh bergabung dengan aparat yang akan melakukan pengamanan. Saya langsung menyetujuinya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F18%2F8cce5efa-cd66-4c72-8f5c-6972343063f8_jpg.jpg)
Seorang nelayan di Desa Kolo Bawah memperhatikan perahunya yang tertambat di pesisir. Saat itu, pasca-insiden Tiaka pada akhir Agustus 2011, nelayan masih belum berani melaut.
Dari pembicaraan dengan komandan Brimob, saya mendapat kabar bahwa sebenarnya mereka juga masih menunggu kapal yang akan membawa pasukan.
Barangkali karena pertimbangan situasi keamanan, akhirnya pasukan akan dibawa dengan menggunakan kapal tunda. Saat itu, memang hanya kapal tunda yang sedang berada di pelabuhan dan memungkinkan untuk membawa pasukan. Singkat cerita, ikut naiklah saya ke kapal ini.
Dihantam ombak dan angin
Berdasarkan rencana awal yang saya dengar, kapal akan membawa pasukan ke pelabuhan terdekat dari Mamosalato, yakni pelabuhan di Baturube. Selanjutnya perjalanan akan disambung via darat. Hitungannya, perjalanan dengan kapal hanya akan memakan waktu 3-4 jam.
Kami berangkat meninggalkan Kolonodale sekitar pukul 10.00 Wita. Saat berangkat, cuaca cerah. Sinar matahari terasa terik, menembus langit yang tampak biru terang.
Laut yang tadinya tenang tiba-tiba mulai berombak.
Namun, belum lagi satu jam perjalanan, langit berubah gelap tertutup awan. Angin mulai bertiup kencang. Laut yang tadinya tenang tiba-tiba mulai berombak.
Tak butuh lama, cuaca kian memburuk. Kapal terasa begitu oleng. Sejumlah petugas mulai mual, bahkan kemudian muntah-muntah. Saya menyaksikan mereka bolak-balik ke kamar mandi karena tak tahan dengan goyangan kapal.
Sebagian hanya bisa duduk pasrah di bagian samping kapal, siap memalingkan wajah ke laut untuk menumpahkan isi perut saat tak mampu menahan rasa mual.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F18%2Faca6419e-0628-4e4f-9fad-24fbc5eb3d89_jpg.jpg)
Aparat dari Kepolisian Resor Morowali dan Poso saat hendak meninggalkan Pelabuhan Kolonodale menuju Pelabuhan Baturube dan Desa Pandauke, Kecamatan Mamosalato, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, Selasa (23/8/2011). Setelah aksi protes warga di lokasi pengeboran minyak di Teluk Tolo, aparat kepolisian disiagakan di sejumlah wilayah di sekitar lokasi demonstrasi.
Saya yang juga mulai mual berusaha tenang. Untuk mengalihkan perhatian, saya duduk di bagian depan kapal dan memandang langit. Awan terlihat seolah naik turun. Rupanya ombak kian besar.
Kapal terasa sebentar naik turun, sebentar oleng ke kiri dan kanan. Hujan yang mulai turun memaksa saya pindah mencari perlindungan.
Setelah lebih dari tiga jam berlayar, suasana berubah menjadi kasak-kusuk. Terdengar pembicaraan bisik-bisik bahwa pelabuhan yang seharusnya menjadi tujuan sudah terlewat.
Nakhoda kapal bingung antara harus memutar kemudi atau meneruskan perjalanan. Namun, kemudian mereka mendapat informasi masih akan ada dua pelabuhan kecil di depan yang bisa disinggahi.
Kapal pun melanjutkan perjalanan di tengah cuaca yang kian buruk. Selepas siang, tampak salah satu pelabuhan yang dimaksud. Akan tetapi, kapal batal bersandar karena kondisi dermaga yang dangkal dan banyak karang.
Setelah para pihak terkait berdiskusi, perjalanan dilanjutkan. Namun, entah mengapa pelabuhan yang dituju seolah terasa begitu jauh. Hari mulai malam dan kami masih juga berada di kapal. Beberapa kali kapal mencoba menepi, tetapi kondisi tepian yang dangkal membuat kapal kembali ke tengah laut.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F18%2F7ce64acc-86ec-4a04-8270-e2ca095e7bd9_jpg.jpg)
Ilustrasi. Suasana pelabuhan di Desa Kolo Atas, Kecamatan Mamosalato, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah, Rabu (14/12/2016). Mobilitas warga dengan kapal kayu masih menjadi andalan utama untuk bepergian di Morowali Utara.
Di tengah cuaca yang kian buruk, rasa lapar turut mendera. Sejak pagi saya tak sempat makan. Di kapal juga tak ada makanan. Tentu saja, karena ini bukan kapal penumpang. Tak ada juga yang membawa bekal makanan mengingat perjalanan kapal diperkirakan hanya memakan waktu 3-4 jam.
Usaha agar bisa berangkat secepat mungkin, ditambah harus bernegosiasi dengan komandan pasukan Brimob, membuat saya tak sempat lagi memikirkan bekal untuk dibawa. Sebotol air minum yang terbawa sudah habis.
Membentur karang
Dalam pekatnya malam, kapal terus melaju hingga tiba-tiba, brraaakkk...! Terdengar suara benturan cukup keras dan kapal pun tiba-tiba berhenti. Semua penumpang terdiam. Saya yang tadinya lapar tiba-tiba merasa kenyang. Kaget, syok, dan takut bercampur jadi satu. Bayangan buruk tiba-tiba bermain di kepala.
Di tengah situasi mencekam, seorang petugas yang entah latah atau ingin menghibur diri tiba-tiba bersiul dan lamat-lamat terdengar nada lagu soundtrack film Titanic, ”My Heart Will Go On”.
Dalam keremangan cahaya, kami mencoba mencari arah suara tersebut. Belum juga ketemu siapa pelakunya, terdengar suara seseorang memaki. Rupanya petugas yang sedang bersiul itu kena marah seniornya.
Di tengah situasi mencekam, seorang petugas yang entah latah atau ingin menghibur diri tiba-tiba bersiul dan lamat-lamat terdengar nada lagu soundtrack film Titanic, ’My Heart Will Go On’.
Cukup lama kapal diam tak bergerak. Kami mendapat informasi bahwa bagian bawah kapal membentur karang. Nakhoda memutuskan melanjutkan perjalanan setelah memastikan kondisi kapal baik-baik saja.
Cuaca lalu sedikit tenang dibandingkan sebelumnya meskipun belum benar-benar normal. Angin dan ombak masih saja terasa kencang.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F18%2Fe9cec632-3811-4138-8035-83bda0f58faf_jpg.jpg)
Ilustrasi. Kawasan perbukitan di pesisir Kecamatan Kolonodale, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, tampak terkupas oleh kegiatan penambangan yang merangsek hingga ke bibir pantai, Kamis (10/5/2012). Penambangan yang mengangkut material mentah dengan kandungan nikel dan bahan tambang lainnya terjadi di sejumlah pesisir Kabupaten Morowali.
Saat waktu menunjukkan pukul 23.00 Wita, kami kian khawatir. Entah kapan perjalanan ini akan berakhir. Nakhoda mendapat kabar tak ada lagi pelabuhan yang bisa disinggahi. Jalan satu-satunya adalah mencari desa terdekat dari lokasi tujuan dan berharap ada kapal nelayan yang bisa menjemput ke tengah laut.
Kami semakin resah mendengar informasi ini. Jantung berdebar kencang saat membayangkan harus ke darat menggunakan sampan diiringi terpaan angin dan ombak di kegelapan malam. Tapi, apa boleh buat, tak ada jalan lain selain pasrah. Tujuan sudah dekat, tak mungkin kembali.
Sekitar pukul 01.00 Wita, pihak kapal mencoba memberi sinyal ke arah daratan. Berharap ada warga yang melihat. Lampu kapal disorotkan ke arah desa di pesisir. Sorot lampu dibuat kelap-kelip, hidup mati hidup mati, sebagai kode butuh bantuan.
Akhirnya, setelah sekian lama memberi tanda, ada juga balasan cahaya senter dari kejauhan. Melalui pengeras suara, petugas di kapal meminta beberapa nelayan untuk datang menjemput. Angin masih kencang dan udara sangat dingin. Kami semua menunggu datangnya sampan dengan perasaan cemas.
Saat sampan mendekat, perasaan saya seolah tidak keruan. Sampan itu kecil, hanya cukup untuk memuat paling banyak lima orang. Perahunya pun tak menggunakan mesin, melainkan dayung. Duh....
Satu per satu kami turun dari kapal sembari berusaha agar bisa tepat menjejakkan kaki di sampan. Kami turun perlahan dengan bantuan tali yang dipasang dan diikat ke bagian kapal. Suasana sangat gelap. Pencahayaan hanya berasal dari lampu senter. Sebagian membantu dengan sorot lampu dari telepon genggam.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F18%2Fd3268e9b-ef1b-48ef-bf2a-2904dfe5d874_jpg.jpg)
Ilustrasi. Kondisi kawasan perbukitan di pesisir Kecamatan Kolonodale, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, tampak terkupas oleh kegiatan penambangan yang merangsek hingga ke bibir pantai, Kamis (10/5/2012). Penambangan yang mengangkut material mentah dengan kandungan nikel dan bahan tambang lainnya terjadi di sejumlah pesisir kabupaten Morowali.
Ketika sudah duduk di sampan, saya melihat seorang petugas yang nyaris jatuh ke laut saat berusaha turun. Malang, senjata yang sedang dipegangnya tercebur ke air. Entah bagaimana kelanjutannya.
Dengan sampan yang dikayuh manual, kami berusaha menjangkau daratan. Cahaya sangat seadanya. Angin yang masih cukup kencang bertiup membuat sampan terus bergoyang. Lampu kapal terus disorotkan ke arah pesisir di mana kami akan mendarat.
Perjalanan bersampan yang sebenarnya tak sampai satu jam itu jadi terasa bak berjam-jam. Di atas sampan, kami semua diam membisu sembari berusaha tak membuat banyak gerakan.
Perasaan baru sedikit lega saat samar-samar tercium bau khas pesisir. Saya mengucap syukur tak terhingga saat akhirnya sampan berhenti dan kami bisa turun. Saya tak lagi hirau dengan sepatu dan celana yang basah. Yang penting bisa menginjak daratan.
Pagi harinya, saya memulai liputan dengan menemui keluarga korban dan warga, dan menengok situasi dari dekat. Janji saya untuk tak ”mengganggu” aparat yang sedang melakukan tugas saya tepati.
Ketika sepekan kemudian liputan selesai, saya sama sekali tak berkeinginan untuk kembali menumpang kapal ke Kolonodale. Padahal, Kolonodale hanya berjarak 400 km dari Palu, tempat tinggal saya. Saya lebih memilih perjalanan darat walaupun butuh waktu lebih dari sehari dengan kondisi jalan yang penuh gelombang.
Perjalanan yang mendebarkan selama 15 jam di atas kapal tunda membuat saya memilih jalan darat via Banggai untuk kembali ke Palu yang berjarak 800 km. Hingga saya meninggalkan Mamosalato, warga masih terus memperjuangkan hak mereka untuk memperoleh kompensasi atas wilayah tangkapan ikan yang berubah menjadi lokasi pengeboran minyak.