Disambut Gempa Saat Hendak ke Hiroshima dan Nagasaki
Sehari sebelum keberangkatan saya ke Jepang, terjadi gempa besar yang menghancurkan bangunan dan menyebabkan tsunami besar di wilayah timur laut Jepang. Saya terbang dengan pesawat yang belum jelas akan mendarat di mana.
Memasuki bulan Agustus seperti ini, apalagi setelah menonton film biopik Oppenheimer, ingatan selalu melayang ke Hiroshima dan Nagasaki di Jepang. Sejarah mencatat, dua bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada 9 Agustus 1945 mengakhiri Perang Dunia II, tetapi juga menyisakan luka dan trauma yang masih bertahan hingga kini.
Pada tahun 2011, Kompas berkesempatan melihat dari dekat sejarah itu saat diundang Kementerian Luar Negeri Jepang berkunjung ke Hiroshima dan Nagasaki. Waktu itu bulan Maret, Pemerintah Jepang mengundang jurnalis dari sejumlah negara untuk melihat dari dekat efek bom nuklir yang masih dirasakan hingga lebih dari 60 tahun sejak bom dijatuhkan.
Pemilihan jurnalis yang berangkat untuk tur jurnalistik ini diawali wawancara khusus oleh pihak Kedutaan Besar Jepang di Jakarta. Saya dicecar pertanyaan, seberapa jauh mengetahui sejarah penjatuhan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki dan seberapa jauh saya memahami soal tenaga nuklir dan pemakaiannya di dunia saat ini.
Tiba-tiba sekitar pukul tiga sore hari itu, seisi dunia dikejutkan dengan berita gempa besar di lepas pesisir timur Pulau Honshu, pulau utama di Jepang.
Setelah semuanya selesai, dan visa masuk Jepang sudah di tangan, saya tinggal menunggu jadwal keberangkatan pada 12 Maret 2011. Sehari sebelumnya, saya dan keluarga ke mal untuk berbelanja berbagai kebutuhan selama tur tersebut. Tiba-tiba sekitar pukul tiga sore hari itu, seisi dunia dikejutkan dengan berita gempa besar di lepas pesisir timur Pulau Honshu, pulau utama di Jepang.
Sebuah gempa megathrust dengan magnitudo 9,1 terjadi di Samudra Pasifik, 72 kilometer dari pantai timur Pulau Honshu. Selain menyebabkan kerusakan sejumlah bangunan, gempa itu memicu tsunami besar yang meluluhlantakkan daerah Tohoku di Jepang bagian timur laut.
Siaran di televisi menunjukkan bagaimana gelombang air laut merangsek ke daratan, menghanyutkan mobil, rumah, dan orang-orang di dalamnya. Kebakaran terjadi di mana-mana saat pipa-pipa gas meledak. Suasananya bagaikan kiamat kecil.
Acara tur jurnalistik bertema energi nuklir itu pun menjadi tidak jelas, apakah akan tetap berlanjut atau tidak. Pesan yang dikirimkan ke pihak Kedubes Jepang di Indonesia hanya dibalas bahwa mereka juga sedang menunggu kabar dari Tokyo. Sampai ada kabar pasti pembatalan, acara dianggap akan tetap diselenggarakan. Karena itu, saya langsung mengepak barang-barang ke dalam ke koper dan memesan taksi menuju bandara.
Saat pesawat yang membawa saya tinggal landas dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, pilot mengumumkan bahwa pesawat tetap akan terbang menuju Jepang, tetapi belum jelas akan mendarat di bandara atau kota mana.
Seharusnya pesawat itu mendarat di Bandara Internasional Narita dekat Tokyo, tetapi karena daerah itu turut terdampak gempa, pemeriksaan terhadap kerusakan yang mungkin terjadi pada infrastruktur bandara tengah dilakukan.
Jadilah tengah malam itu, kami seisi pesawat terbang menuju ketidakpastian di Jepang. Padahal, ini adalah kunjungan pertama saya ke Jepang. Sampai sekitar enam jam kemudian, saat pagi sudah menjelang di daratan Jepang, pilot memastikan kami tetap akan mendarat di Narita. Keadaan di darat sudah dipastikan aman.
Begitu mendarat di Narita, sekilas tak terlihat kerusakan berarti pada bangunan-bangunan di bandara itu. Pesawat pun merapat dengan mulus di garbarata dan penumpang satu per satu turun.
Ketika masuk ke area dalam bandara, barulah terlihat kekacauan yang ditimbulkan oleh bencana tersebut. Salah satu bagian plafon bandara internasional itu jebol, tepat di atas ban berjalan pembawa koper-koper bawaan penumpang. Semua transportasi umum dari bandara menuju pusat kota Tokyo juga lumpuh. Penumpang pun menumpuk di bandara.
Kompas yang menunggu panitia penjemputan akhirnya juga harus ikut menunggu di bandara. Selama menanti, saya baru sadar, gempa-gempa susulan masih terus terjadi. Saat duduk di area atap gedung terminal kedatangan, goyangan gempa susulan itu masih sangat terasa.
Bangku beton yang diduduki terasa mengayun maju mundur, dan tiang lampu bergoyang-goyang. Namun, anehnya, tak seorang pun terlihat kaget dan panik dengan hal itu.
Saat akhirnya bertemu dengan petugas penjemput, saya dikasih tahu bahwa kami sudah disewakan mobil untuk menuju hotel di Tokyo. Namun, sebelum berangkat, kami diminta menunggu para jurnalis dari Polandia, Kolombia, dan Mesir yang akan tiba dalam beberapa jam agar bisa bersama-sama meluncur ke Tokyo. Jadilah kami harus menunggu lagi.
Saya mendapat kamar di lantai 32 hotel itu. Gempa-gempa susulan masih terus dirasakan dari kamar hotel di ketinggian itu.
Masalah muncul saat rasa lapar menyerang, karena tidak semua restoran di bandara itu buka. Kalaupun buka, menu yang ditawarkan tidak lengkap karena pasokan bahan makanan ke bandara terputus. Akhirnya harus pasrah hanya bisa menyantap mi soba untuk mengganjal perut.
Rombongan baru berkumpul semua menjelang sore, dan perjalanan bermobil menuju Tokyo membutuhkan waktu lebih dari dua jam. Hari sudah gelap saat kami tiba di hotel di kawasan Akasaka, Tokyo.
Saya mendapat kamar di lantai 32 hotel itu. Gempa-gempa susulan masih terus dirasakan dari kamar hotel di ketinggian itu. Goyangan gempa pertama-tama dirasakan dengan bunyi kreyot-kreyot dari atap dan dinding yang saling bergesekan, sebelum kemudian terasa gedung ini mengayun-ayun.
Saya hanya bisa berdoa dan pasrah dengan keadaan ini, dan menaruh kepercayaan penuh pada keahlian para insinyur teknik sipil Jepang yang merancang bangunan tinggi tahan gempa.
Berjalan sesuai jadwal
Keesokan harinya, acara pertama adalah berkunjung ke kantor Kementerian Luar Negeri Jepang untuk berkenalan dengan panitia tur jurnalistik ini. Di dalam bus yang membawa kami, saya sempat mengirimkan pesan kepada Redaktur Pelaksana Kompas waktu itu, Mas Budiman Tanuredjo.
Saya bertanya apakah sebaiknya keluar dari agenda tur ini untuk kemudian melakukan liputan bencana gempa dan tsunami atau tetap mengikuti acara yang sudah disiapkan. Mas Budiman meminta saya untuk tetap mengikuti agenda yang sudah ditetapkan.
Di sinilah terlihat kedisiplinan orang Jepang. Meski dalam kondisi luar biasa di tengah bencana besar, agenda tur jurnalistik ini masih dijalankan sesuai rencana. Dimulai pada hari itu, kami diajak mengunjungi museum kapal Daigo Fukuryu Maru di Tokyo.
Ini adalah museum kapal penangkap ikan tuna yang terkena jatuhan radioaktif akibat tes bom termonuklir yang dilakukan AS di Bikini Atoll di tengah Samudra Pasifik pada Maret 1954.
Hampir seluruh awak kapal itu terkena efek radiasi dari uji bom nuklir tersebut, meski mereka bisa sembuh dan hanya satu awak kapal bernama Kuboyama Aikichi yang meninggal karena komplikasi penyakit akibat radiasi.
Dalam beberapa hari awal di Tokyo ini, masih lumayan banyak waktu luang yang saya manfaatkan untuk bertemu sejumlah teman guna mengetahui dampak gempa yang terjadi.
Saya, misalnya, diajak Profesor Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, ilmuwan asli Indonesia yang mengajar di Universitas Chiba, ke daerah kampusnya di Chiba, dekat Tokyo. Di sana saya ditunjukkan kerusakan di jalan raya akibat likuefaksi yang terjadi saat gempa.
Saya juga sempat mengunjungi Kedutaan Besar RI di Tokyo untuk melihat kesibukan melacak warga negara Indonesia (WNI) yang tersebar di seluruh Jepang. Duta Besar RI untuk Jepang saat itu, M Lutfi, sudah memerintahkan gugus tugas khusus untuk melacak dan apabila perlu menjemput para WNI yang terdampak gempa dan tsunami ini.
Andai tidak ada kewajiban untuk melanjutkan tur jurnalistik ini, saya sudah ingin mengikuti tim pencari dari KBRI tersebut ke wilayah paling parah terkena gempa dan tsunami.
Bersamaan dengan makin terbukanya semua informasi terkait bencana ini, tersiar kabar Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi di Prefektur Fukushima ternyata terkena tsunami dan beberapa reaktor nuklirnya meleleh karena terhentinya sistem pendingin saat bencana terjadi. Ini adalah insiden serius pada sebuah PLTN.
Saya sempat mengikuti sejumlah konferensi pers di Kementerian Luar Negeri Jepang untuk mendapatkan update seputar perkembangan situasi di PLTN tersebut. Berita pun saya tulis untuk langsung dikirim ke Jakarta dan dimuat keesokan harinya.
Namun, sekali lagi, saya tidak bisa terus-menerus memantau perkembangan bencana itu karena harus mengikuti jadwal yang sudah ditetapkan. Pada hari keempat berada di Jepang, kami pun bertolak ke Hiroshima dengan pesawat.
Sesampai di Hiroshima yang terletak di sebelah barat daya Jepang, terlihat suasana kehidupan yang berbeda dibandingkan di Tokyo. Aktivitas warga terlihat tidak terganggu karena memang lokasi Hiroshima sangat jauh dari episentrum gempa. Tur jurnalistik terkait peringatan pengeboman kota itu pun dimulai.
Setelah menginap semalam, kami mengunjungi A-Bomb Dome, sisa bangunan Balai Promosi Industrial Prefektur Hiroshima. Reruntuhan gedung ini adalah monumen paling terkenal untuk memperingati ledakan bom atom pada pagi hari tanggal 6 Agustus 1945. Hari itu kami didampingi pemandu yang juga seorang hibakusha, sebutan untuk penyintas tragedi bom atom di Jepang.
Horor bom atom
Keiko Ogura (74) menjelaskan kepada kami berbagai cerita horor terkait peristiwa pada hari bom atom ”Little Boy” dijatuhkan di Hiroshima. ”Saya masih ingat ratusan pengungsi berbondong-bondong datang dari arah kota. Mereka mengacungkan tangan ke depan, kulitnya terkelupas, menggantung dari daging berwarna merah. Rambut mereka terbakar, baunya menyengat. Mereka seperti hantu,” tutur Ogura sambil membawa kami berkeliling Hiroshima Peace Memorial Park, Rabu (16/3/2011).
Sebagian dari pengungsi itu meminta air kepada Ogura kecil. Namun, setelah meminum air yang ia berikan, mereka tiba-tiba muntah darah dan tewas seketika di depannya.
”Saya merasa sangat bersalah dan berulang kali melihat mereka dalam mimpi-mimpi buruk. Hari itu, ayah saya mengkremasi tak kurang dari 300 jenazah pengungsi,” kata Ogura yang selamat karena hari itu disuruh membolos sekolah oleh ayahnya. Ia berada di rumah yang berjarak 2,4 kilometer dari hiposentrum ledakan.
Sebagian dari pengungsi itu meminta air kepada Ogura kecil. Namun, setelah meminum air yang ia berikan, mereka tiba-tiba muntah darah dan tewas seketika di depannya.
Sambil mendengarkan kisah horor itu, saya memandang sekeliling dan takjub dengan transformasi yang telah terjadi di Hiroshima setelah tragedi itu. Hiroshima Peace Memorial Park adalah sebuah taman yang tertata sangat apik dan rapi, menambah keindahan kota Hiroshima. Tak terbayangkan bagaimana kawasan itu dulu rata dengan tanah akibat keganasan bom yang berkekuatan 15.000 kilogram TNT.
Seusai menjelajah Hiroshima, termasuk museum di Hiroshima Peace Memorial Park dan bertemu sejumlah hibakusha lainnya, kami melanjutkan perjalanan ke Nagasaki.
Perjalanan ke Nagasaki ditempuh menggunakan kereta. Setelah menaiki kereta cepat Shinkansen, kami berpindah ke kereta lebih kecil yang membawa kami ke pusat kota Nagasaki.
Saya sempat mabuk darat dalam perjalanan dengan kereta kedua. Sepertinya karena masuk angin, mengingat beberapa kali acara makan, saya diberi hidangan vegetarian. Itu merupakan bentuk penghormatan panitia atas permintaan saya untuk memakan santapan yang halal.
Mereka enggan ambil risiko menyajikan makanan berdaging yang tidak halal sehingga selalu menyiapkan santapan vegetarian sepanjang perjalanan. Padahal, udara di luar pada awal musim semi di Jepang itu masih dingin menusuk tulang.
Setelah saya jelaskan bahwa ada beberapa jenis daging, seperti daging sapi dan daging ayam atau hidangan laut yang masih bisa saya makan, baru mereka mulai mengubah menu tersebut.
Tiba di Nagasaki, kesan seperti saat di Hiroshima kembali muncul. Nagasaki adalah kota kecil yang sangat indah di salah satu sudut teluk yang tenang. Di teluk itu terdapat pabrik kapal perang milik Mitsubishi Heavy Industries.
Itulah salah satu sasaran yang akan dihancurkan oleh bom atom, tetapi titik jatuhnya bom meleset beberapa kilometer sehingga menghancurkan bagian utara kota itu dan menewaskan puluhan ribu orang.
Kami pun sempat mengunjungi Museum Bom Atom Nagasaki di mana di dalamnya dibangun Nagasaki Peace Memorial Hall for the Atomic Bomb Victims. Air dan cahaya menjadi dua unsur utama di bangunan, yang dibuat khusus untuk mengenang lebih dari 100.000 korban tewas akibat ledakan bom atom di Nagasaki.
Suasana hening dan syahdu langsung menyergap saat orang memasuki pintu masuk yang berbentuk lorong dengan dinding marmer coklat, diterangi cahaya temaram.
”Mereka dulu mati dalam panas. Itu sebabnya, ada banyak air di sini, agar mereka menemukan kesejukan dan kedamaian...,” ujar Kazumi Kai, pemandu kami, setengah berbisik saat kami memasuki ruangan memorial tersebut.
Di satu sisi, negara itu menjadi korban satu-satunya bom nuklir dengan jumlah korban ratusan ribu jiwa. Namun, di sisi lain, PLTN yang tersebar di seluruh Jepang menjadi salah satu pendorong kemajuan negara itu pascaperang. Ditambah bencana yang melanda PLTN Fukushima Daiichi, Jepang semakin berada di simpang jalan nuklir….