Bagaikan Kurcaci Hobbit di Hadapan Gunung Anak Krakatau
Terombang-ambing di antara tebing sisa letusan Gunung Krakatau membuat nyali saya ciut. Saya tidak melihat pelampung di kapal, padahal saya tidak bisa berenang. Bagaimana kalau terjadi sesuatu?
Letusan dahsyat Gunung Krakatau 140 tahun lalu menyebabkan ”Benua Biru” digayuti mendung selama berbulan-bulan. Sepersekian kekuatannya saya saksikan dari dekat pada tahun 2010.
Kenangan akan kejadian itu muncul kembali ketika beberapa waktu lalu Facebook memunculkan foto-foto lawas yang saya potret dan unggah 13 tahun lalu, yaitu foto saat liputan ke Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda.
Dalam foto itu ada fotografer kawakan Kompas, Eddy Hasby, dan Heru Sri Kumoro; wartawan Kompas di Lampung, Yulvianus Harjono; dan fotografer berstatus magang, Amrul.
Kami berlima saat itu ditugaskan meliput Festival Krakatau Ke-20 yang berlangsung pada 24-25 Juli 2010. Festival Krakatau diselenggarakan setiap tahun untuk memperingati letusan Gunung Krakatau pada tanggal 26, 27, dan 28 Agustus 1883. Bulan Agustus tahun ini menandai 140 tahun letusan mahadahsyat Gunung Krakatau.
Saya yang saat itu bertugas di Palembang, Sumatera Selatan, berangkat dengan menyetir mobil operasional Kompas Biro Sumbagsel. Rekan-rekan lain berangkat dari daerah penugasan masing-masing.
Saat itu di Sumatera belum ada Jalan Tol Trans-Sumatera yang mempersingkat perjalanan dari Palembang ke Bandar Lampung. Kondisi jalan lintas timur Sumatera belum mulus. Banyak lubang besar yang memperlambat laju kendaraan.
Setelah bertemu di Bandar Lampung, kami berlima sepakat untuk tidak melewatkan kesempatan melihat Gunung Anak Krakatau dari dekat. Festival Krakatau tidak hanya digelar di Kota Bandar Lampung, tetapi juga di perairan Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda. Saat itu Gunung Anak Krakatau sedang ”batuk-batuk” atau sedang aktif. Kami tidak ingin melewatkan momen istimewa itu.
Baca juga : Disambut Gempa Saat Hendak ke Hiroshima dan Nagasaki
Untuk mencapai Gunung Anak Krakatau hanya bisa dengan menumpang kapal kayu dari Pelabuhan Canti, Kabupaten Lampung Selatan. Setiap hari, kapal hanya beroperasi dua kali, yaitu pukul 07.30 dari Pulau Sebesi ke Pelabuhan Canti dan pukul 13.30 dari Pelabuhan Canti ke Pulau Sebesi. Pulau Sebesi adalah pulau berpenghuni yang letaknya paling dekat dengan Gunung Anak Krakatau.
Perjalanan dari Pelabuhan Canti ke Gunung Anak Krakatau pada Sabtu siang berjalan lancar. Saat itu penumpang kapal hanya kami berlima ditambah awak kapal sebanyak tiga orang. Biasanya kapal langsung menuju Pulau Sebesi, tetapi saat itu kami meminta kapal juga memutari Gunung Anak Krakatau.
Kurcaci Hobbit
Saat mendekati gugusan Pulau Krakatau yang terbentuk akibat letusan pada tahun 1883, kapal kayu yang kami tumpangi terasa begitu kecil. Suasana berubah menjadi tenang dan wingit. Burung dan ikan menjauh. Di hadapan kami, berjajar gugusan Kepulauan Krakatau yang terdiri dari Pulau Panjang, Pulau Sertung, Pulau Rakata, dan Pulau Gunung Anak Krakatau.
Saya merasakan energi yang berbeda di tempat itu. Warga Pulau Sebesi menganggap keramat Gunung Anak Krakatau. Setiap tahun, warga menggelar doa bersama di Gunung Anak Krakatau agar dijauhkan dari amukan gunung berapi tersebut.
Saat itu, asap kelabu terus mengepul dari puncak Gunung Anak Krakatau. Di sebelah tenggara, menjulang Pulau Rakata (815 meter) yang berbentuk kerucut terbelah. Dari puncak Pulau Rakata hingga ke dasar berupa tebing yang melengkung, menandakan separuh bagiannya yang musnah akibat letusan dahsyat.
Baca juga : Dengan Mata Terluka Saya Temui Para Buruh
Pulau Rakata dahulu merupakan bagian dari Gunung Krakatau. Namun, letusan dahsyat Gunung Krakatau pada 27 Agustus 1883 melenyapkan dua pertiga tubuh gunung berapi itu. Sebelum 1883, Gunung Krakatau terdiri atas tiga gunung, yaitu Rakata, Danan (450 meter), dan Perbuatan (120 meter).
Letusan Gunung Krakatau tahun 1883 melenyapkan Danan dan Perbuatan serta melenyapkan sebagian Pulau Rakata dan menyisakan kaldera berdiameter 7 kilometer.
Kapal kami bagaikan sampan para kurcaci Hobbit saat memasuki Gerbang Argonath di film The Lord of the Rings: Fellowship of the Ring. Dalam film berdasarkan novel fiksi JRR Tolkien tersebut digambarkan, terdapat dua patung berukuran raksasa di mulut Gerbang Argonath yang dikelilingi tebing menjulang.
Kapal kami bagaikan sampan para kurcaci Hobbit saat memasuki Gerbang Argonath di film The Lord of the Rings: Fellowship of the Ring.
Terombang-ambing di antara tebing sisa letusan Gunung Krakatau membuat nyali saya menciut. Ombak di perairan Gunung Anak Krakatau sedang tenang, tetapi laut di sana dalamnya puluhan, bahkan ratusan meter.
Saya tidak melihat pelampung di kapal, padahal saya tidak bisa berenang. Perairan tersebut sore itu sepi dari lalu lalang kapal. Bagaimana kalau terjadi sesuatu?
Di tengah rasa gundah itu, Gunung Anak Krakatau terus mengeluarkan asap dan memuntahkan hujan pasir. Butiran pasir lembut jatuh ke ujung rambut sampai ujung kaki. Saya tercenung melihat pemandangan indah sekaligus mencekam itu.
Baca juga : Menggantikan Tukang Ojek sampai "Hoek-hoek" Saat Cycling de Jabar
Kamera rusak, ban kempis
Minggu pagi setelah menginap semalam di Pulau Sebesi, kami naik kapal menuju Gunung Anak Krakatau. Perjalanan dari Pulau Sebesi ke Gunung Anak Krakatau sekitar 1,5 jam. Hari itu jadwal Festival Krakatau digelar di perairan sekitar Gunung Anak Krakatau.
Kami sudah tidak sabar untuk segera menginjakkan kaki di Gunung Anak Krakatau. Namun, tidak ada fasilitas dermaga di Gunung Anak Krakatau. Wisatawan turun dari kapal dengan tangga atau meloncat dari kapal.
Amrul, yang ingin cepat turun ke darat, langsung meloncat dari kapal. Ia tidak sadar air masih cukup dalam, sekitar 50 sentimeter. ”Byur!” Separuh badannya basah kuyup.
Celakanya, tidak cuma badannya yang basah, tetapi kamera SLR yang dicangklong di bahunya juga terendam air laut. Akibatnya bisa diduga, kamera yang dibawanya tidak berfungsi. Rusak.
Baca juga : Di Sungai Kutemukan Kerusakan Sungai hingga Ekspresi Kehidupan
Saya yang berada di dekat Amrul tidak sempat mengingatkan. Gara-gara kejadian itu, Amrul seharian menjadi murung. Apa hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur.
Setelah insiden kamera itu, kami naik ke Gunung Anak Krakatau. Ketinggiannya sekitar 300 meter dari permukaan laut. Namun, karena saya gemuk dan tidak pernah olahraga, tidak mudah untuk menaklukkan tanjakan. Sementara empat rekan lain yang badannya lebih langsing berjalan jauh di depan saya.
Rasa lelah disertai ngos-ngosan akhirnya terbayar setelah sampai di titik terdekat dari puncak Gunung Anak Krakatau. Pulau Panjang, Pulau Sertung, dan Pulau Rakata terlihat jelas dari ketinggian. Ketiganya adalah saksi bisu letusan Gunung Krakatau tahun 1883.
Menurut catatan Simon Winchester, geolog dari Universitas Oxford, Inggris, letusan itu terdengar dari jarak 4.600 kilometer oleh seperdelapan penduduk Bumi. Letusannya setara dengan 200 megaton bom TNT atau 13.000 kali lebih dahsyat daripada bom atom di Hiroshima, Jepang.
Baca juga : Bersama Wapres Amin Dikejar Hujan
Letusan Krakatau yang berlangsung dalam waktu 48 jam itu menghasilkan tujuh kali tsunami, salah satunya setinggi 40 meter yang menyapu Teluk Lampung dan pesisir Banten.
Tercatat 165 desa dan kota hancur, 36.417 warga tewas. Selama berminggu-minggu, abu Krakatau menutupi atmosfer sehingga menghalangi sinar matahari dan menyebabkan perubahan iklim hingga Benua Eropa.
Saat hendak pulang, kami terkejut melihat ban mobil kami kempis. Padahal, saat kami tinggalkan kondisinya baik-baik saja. Rupanya, ada yang sengaja mengempiskan, entah apa tujuannya.
Setelah selesai jalan-jalan di kaki Gunung Anak Krakatau, akhirnya kami kembali ke Pelabuhan Canti. Saat hendak pulang, kami terkejut melihat ban mobil kami kempis. Padahal, saat kami tinggalkan kondisinya baik-baik saja.
Rupanya, ada yang sengaja mengempiskan, entah apa tujuannya. Perjalanan pulang pun terhambat karena harus mengganti ban. Untunglah tidak terlalu masalah, karena wartawan Kompas selain harus bisa menyetir juga harus terampil mengganti ban mobil.
Liputan ke Gunung Anak Krakatau merupakan salah satu liputan paling berkesan bagi saya. Bukan cuma karena pemandangannya yang luar biasa, melainkan juga karena perasaan yang bak kurcaci di hadapan kekuatan alam mahadahsyat. Kenangan didera hujan pasir Gunung Anak Krakatau hingga kini masih membekas di ingatan.