"Wisata Toilet" di Bumi Kalimantan
Jalanan cukup gelap, tak banyak lampu jalan yang terpasang. Sejauh mata memandang hanya tampak hutan-hutan. Sekitar satu jam perjalanan, Agiet bertanya kepada penumpang, ”Adakah yang kebelet pipis?”
Katanya, tak baik jika menahan ”urusan ke belakang” lama-lama. Oleh sebab itu, saat melakukan perjalanan liputan yang jauh, manajemen waktu untuk minum dan memperkirakan kapan pipis setelahnya amat penting disiapkan. Itulah yang terjadi saat saya berkesempatan liputan ke bumi Kalimantan. Tanpa disadari, perjalanan jadi terasa bak wisata toilet.
Pengalaman menyambangi berbagai toilet itu terjadi saat berkunjung ke Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara dalam rangka meliput pendokumentasian resep tradisional melalui program Pusaka Rasa Nusantara yang digelar Yayasan Nusa Gastronomi Indonesia pada 6-12 April 2023.
Topik kuliner menjadi payung besar yang diangkat dalam program bersama Kedutaan Besar Amerika Serikat melalui hibah Ambassador Fund for Cultural Preservation.
Saat membaca rencana kegiatan yang dikirimkan oleh tim, saya langsung memasukkan amunisi berupa tisu basah dan tisu kering ke dalam koper. Tentu ini terkait urusan ke belakang. Sedari awal, saya membuang jauh ekspektasi fasilitas toilet umum di sana akan seperti kondisi toilet umum di tempat peristirahatan (rest area) di Jawa.
Dugaan saya benar, tak semuanya nyaman dan bersih. Namun, apa mau dikata, saat ”alam” memanggil, bukankah harus segera dibuang agar tak menjadi racun bagi tubuh?
Moda transportasi yang akan digunakan ternyata bervariasi, yakni mulai dari via darat, udara, laut, hingga sungai. Jumat (7/4/2023) pagi, Mbak Meilati Batubara, Ketua Tim Pusaka rasa Nusantara, menjelaskan rencana perjalanan Sabtu (8/4/2023) yang cukup padat. Saat berangkat, kami akan menempuh perjalanan lebih dari enam jam via sungai dan pulangnya via jalur darat selama 12 jam.
Selain Mbak Meilati, anggota tim yang ikut serta adalah Chef Ragil Imam Wibowo sebagai ahli kuliner, Reza Maulana (communication specialist), Angga Safik (lead researcher), dan Abdullah Zed (senior researcher), serta ditemani dua videografer, Sahrul dan Lung.
Sabtu, kami berangkat sekitar pukul 06.00 Wita dari Dermaga Mahakam Hilir Samarinda menggunakan perahu motor cepat (speedboat). Perjalanan dari Samarinda menuju Kecamatan Melak, Kabupaten Kutai Barat, butuh waktu lebih kurang 6,5 jam.
Di Kecamatan Melak, Tim Pusaka Rasa Nusantara mendokumentasikan resep tradisional yang dimasak oleh masyarakat saat perayaan Paskah.
Sebelum ini, Tim Pusaka Rasa Nusantara telah mendokumentasikan resep masakan tradisional di beberapa lokasi, antara lain Bangka Belitung, Kepulauan Sula, Nusa Tenggara Barat, Yogyakarta, Aceh, Semarang, Bali, Sumatera Barat, dan Manado.
Selama perjalanan di Kalimantan, urusan ke toilet mendapat perhatian penting. Tidak heran, karena rute perjalanan bukan melalui jalan-jalan yang tiap jarak tertentu menyediakan toilet. Pengemudi rajin memberi informasi tentang toilet, sepertinya agar kami bisa mengatur dengan baik waktu dan jumlah asupan, agar tidak bermasalah dengan jadwal mengeluarkan isi kandung kemih dan rektum.
Saat mulai meninggalkan Samarinda, pengemudi speedboat memprediksi kami akan singgah di toilet apung pada pukul 08.00. Mendengarnya, saya memutuskan untuk hanya meneguk air sekitar 250 mililiter dari total bekal 1,5 liter. Apalagi sebelum itu, saya juga sudah minum cukup banyak air sebagai bantuan menelan vitamin. Jadi, kemungkinan besar akan buang air kecil di toilet apung itu.
Untunglah kekhawatiran soal tidak leluasanya berkemih ini kemudian teralihkan dengan berbagai pemandangan sepanjang Sungai Mahakam. Tongkang batubara, gelondongan kayu, hutan, dan rombongan burung silih berganti menarik pandangan.
Hari itu, cuaca berangin dan pelan-pelan merasuki tubuh. Saya merapatkan jaket dan memakai ponconya untuk mencegah agar tak kedinginan dan masuk angin. Bahaya kalau sampai badan dingin, bisa bikin beser alias bentar-bentar pengin pipis, he-he-he.
Baca juga: Priyanka, Puasa, dan Makanan Sahur Setengah Juta
Sesuai prediksi, kami tiba di toilet apung pukul 07.55. Perahu disandarkan di pinggiran sehingga penumpang bisa keluar. Hampir separuh dari kami turun untuk buang air kecil. Toiletnya berdinding kayu yang dilengkapi dengan kloset, ember, dan gayung. Bisa dibilang cukup memadai meskipun badan terasa sedikit bergoyang ketika ada orang melintas di sekitar toilet.
Pukul 08.34, speedboat singgah di Kecamatan Kota Bangun untuk beristirahat dan sarapan. Di sebuah warung makan yang terletak di tepi sungai itu, kami memesan mi instan dan ampal jagung, sejenis gorengan bakwan berbahan jagung manis.
Sebelum melanjutkan perjalanan, kami diingatkan untuk ke toilet sekalian. Sebab, di sisa perjalanan selanjutnya, kami tidak akan singgah lagi di toilet. Seandainya kebelet buang air kecil, ya harus ditahan sampai bertemu toilet.
Untunglah, keinginan berkemih terkendalikan sampai akhirnya tiba di Pelabuhan Melak pukul 12.45. Saya langsung mencari toilet karena kebelet buang air kecil. Ternyata saya tidak sendirian, beberapa teman juga antre buang air kecil. Maklum, cuaca yang begitu terik membuat kami menjadi seperti ”unta” yang minum banyak air.
Selanjutnya, kami berkunjung ke rumah warga yang tengah merayakan Paskah. Tradisi gotong royong terasa kental di Desa Melak Ulu, Kecamatan Melak, Kutai Barat, Kalimantan Timur. Mereka memasak beragam menu yang disiapkan bersama-sama. Kali ini, mereka memotong satu babi kampung berumur sekitar enam bulan.
Baca juga: Sulitnya "Doorstop" Pejabat di China
Menu Paskah yang disiapkan adalah daging yang dimasak dalam bilah bambu, sop daging, daging kecap, ikan saluang masak dalam bambu, dan sambal bawang rambut. Masyarakat sekitar memanfaatkan bahan dan rempah yang tumbuh di sekitar untuk bumbu masakan, misalnya daun mekai yang ditambahkan setelah daging kecapnya matang. Fungsinya, sebagai bahan penyedap untuk masakan.
Pemilihan daun mekai sangatlah penting karena daun yang terlalu tua akan memberikan rasa agak pahit pada masakan. Sementara daun yang terlalu muda dinilai belum memberikan rasa gurih yang signifikan.
Rempah lain yang biasa ditanam di pekarangan adalah bawang Dayak atau bromoot yang diyakini dapat menyembuhkan gangguan mag dan mencegah kanker.
Di Desa Linggang Melapeh, Kecamatan Linggang Bigung, Kutai Barat, Kalimantan Timur, tradisi gotong royong dalam rangka Paskah juga terasa kental. Berbagai menu ala rumahan dimasak secara bersama-sama di dapur keluarga, antara lain bubur jaga, tumis terung asam, daun singkong tumbuk terung pipit, dan sayur pakis ikan baung asap.
Masyarakat suku Dayak Tunjung di Desa Linggang Melapeh terbiasa menyantap bahan pangan nabati dan senang memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia di sekitar rumah.
Selain itu, mereka juga memasak menu yang berbahan hewani, salah satunya landak masak kuah kuning. Landak bukan sengaja diburu, melainkan ditangkap karena menjadi hama tanaman singkong di kebun warga. Jika dibiarkan, landak akan menghambat pertumbuhan singkong.
Baca juga: Jatuh Bangun di Sirkuit Mandalika
Setelah selesai melihat aktivitas warga memasak, kami kembali ke Samarinda pukul 19.30 lewat jalur darat. Agiet, pengemudi mobil kami, memprediksi perjalanan dari Melak ke Samarinda ditempuh paling cepat sepuluh jam. Ini karena kondisi jalanannya tidak rata, banyak lubang, dan berliku. Jangan bayangkan kondisi jalanannya seramai jalur pantura di Jawa ya.
Jalanan cukup gelap, tak banyak lampu jalan yang terpasang. Sejauh mata memandang hanya tampak hutan-hutan. Sekitar satu jam perjalanan, Agiet bertanya kepada penumpang, ”Adakah yang kebelet pipis? Silakan, ada di sebelah kiri. Toilet selanjutnya masih jauh ya, mungkin satu setengah jam perjalanan,” sambil menunjuk sebuah gubuk yang agak temaram.
Karena tak ada penumpang yang kebelet buang air kecil, Agiet pun langsung tancap gas. Tangannya begitu cekatan mengendalikan setir dan mengarahkan ban agar tak masuk ke jalanan berlubang. Sesuai perkiraan, kami tiba di perhentian kedua sekitar pukul 22.00. Malam itu, hujan ringan mengguyur daerah tersebut.
Buru-buru kami ke toilet. Lokasinya ternyata di samping warung makan dan berbatasan dengan hutan. Untuk sampai di sana, kami harus melewati jalan agak berlumpur dalam kondisi gelap. Meskipun kondisinya demikian, tetap dijabani oleh mereka yang ingin pipis. Namanya juga sudah kebelet.
Untuk urusan buang air kecil, saya selalu membawa tisu sendiri karena tak mau berekspektasi tinggi dengan kondisi toilet. Di sini, toilet yang kami jumpai mayoritas diperuntukkan untuk semua jenis kelamin. Ini tak seperti toilet di SPBU yang dibedakan menurut jender pemakainya, yakni toilet pria dan wanita.
Perjalanan berlanjut. Kami kemudian berhenti untuk makan sahur di sebuah warung makan sekaligus untuk menyambangi toilet. Lokasinya di belakang bangunan dan berdekatan dengan mushala. Jalan menuju toilet agak gelap. Air keran berwarna agak oranye mengalir deras ke bak air. Melihatnya bikin saya mules. Saya pun mencoba berdamai dengan kondisi itu. Masih bisa menjumpai toilet dan air saja sudah sangat bersyukur.
Setelah memasuki perkotaan, kami singgah di SPBU untuk mengisi bahan bakar. Saya jadi tersadar bahwa toilet SPBU terasa mewah dibandingkan toilet yang sudah-sudah. Apalagi jika dibandingkan kondisi toilet di kapal yang kondisinya sungguh memprihatinkan, seperti yang kami alami di Kalimantan Utara. Lantainya becek, bau, bak airnya menggunakan kotak sampah, dan klosetnya tidak layak.
Fasilitas dan sanitasi toilet yang memprihatinkan tak jarang membuat sejumlah orang memilih untuk menahan pipis. Mungkin ada yang jijik atau takut terkena penyakit dari toilet yang tidak bersih. Pengalaman ini mengajarkan saya untuk bersiap diri mengatur jumlah asupan dan waktu buang air dalam perjalanan. Amunisi berupa tisu kering dan tisu basah juga tak boleh kurang. Di luar itu, bisa bersentuhan langsung dengan alam Kalimantan dan menghirup udaranya, sungguh sebuah kesempatan yang tak ternilai.