Rasanya Naik Ojek Ongkos Jutaan untuk Jarak 30 Km
Saya terperangah saat Papa Adel menyebut angka Rp 2 juta untuk ongkos ojek pergi-pulang. Makin melongo saat dia bilang tak akan mengantar kalau sendiri. Artinya, saya harus menyewa dua ojek sekaligus!
Saya terperangah saat Papa Adel -begitu ia memperkenalkan diri- menyebut angka Rp 2.000.000 untuk ongkos ojek pergi-pulang dari Rongkong ke Seko Tengah melalui jalur Mabusa-Se’pon. Papa Adel adalah seorang pengojek yang bolak-balik Seko-Sabbang.
Jarak Mabusa-Se’pon sebenarnya sekitar 20 kilometer saja. Jika dihitung dari warung tempat saya menginap di Desa Limbong, Rongkong, total jarak sekitar 30 kilometer.
Saya makin melongo saat dia bilang tak akan mengantar kalau sendiri. Artinya, saya harus menyewa dua ojek sekaligus. Tawar menawar harga kemudian terjadi cukup alot hingga akhirnya Papa Adel mau turun ke angka Rp 1.500.000 per ojek.
Ini dengan catatan, saya harus menanggung bensin lima liter per kendaraan, makan tiga kali sehari selama perjalanan, dan rokok. Harga kebutuhan pokok di Rongkong dan Seko umumnya dua-tiga kali lipat harga normal.
Saya coba mencari ojek lain tetapi banyak yang tak mau mengantar. Ada yang mau mengantar tapi setelah Idul Adha dan ongkosnya sama saja. Tak ada pilihan lain, saya akhirnya sepakat diantar Papa Adel dan Agip, rekannya sesama pengojek.
Seko, sebuah kecamatan di wilayah pedalaman Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, harus saya datangi untuk tujuan liputan kali ini. Daerah ini berada di dataran tinggi di antara pegunungan Quarles dan Verbeek. Jaraknya dari Makassar, ibu kota Sulawesi Selatan lebih dari 450 kilometer.
Dari Masamba, ibu kota Luwu Utara, Seko terpaut jarak lebih dari 120 kilometer. Sebagian wilayah Kecamatan ini berbatasan dengan Sulawesi Barat dan sebagian lagi dengan Sulawesi Tengah.
Desa-desa di Seko tersebar di tiga wilayah, yakni Seko Padang, Seko Tengah, dan Seko Lemo. Ibu kota Kecamatan Seko yakni Eno, berada di Seko Padang. Ada dua jalur menuju desa-desa di Seko, yakni melalui Dusun Palandoang-Lambiri atau melalui Mabusa-Se'pon.
Palandoang adalah dusun pertama di Seko yang berada di ujung jalan poros Masamba-Seko. Palandoang menghubungkan ke desa-desa di Seko Tengah dan Seko Padang. Jalur lain melalui Mabusa-Se’pon. Mabusa adalah dusun di Kecamatan Rongkong, tetangga Seko yang menjadi akses ke desa-desa di Seko Lemo.
Tujuan kali ini adalah ke Seko Lemo melalui jalur Mabusa-Se’pon dalam rangka liputan khusus peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia ke-77 tahun, dengan mencari makna kemerdekaan di wilayah pedalaman, pinggiran, dan terluar di 34 provinsi.
Dari dua jalur menuju desa-desa di Seko, jalur Mabusa-Se’pon terbilang cukup parah. Itulah mengapa tak banyak pengojek yang mengambil rute ini. Sebagian warga biasanya memanfaatkan kuda untuk mengangkut barang melintasi jalur ini.
Berangkat naik roda empat dari Makassar, Sabtu (2/7/2022) dinihari sekitar pukul 02.00 wita, saya tiba di Kota Paloposekitar pukul 11.00 wita. Dalam perjalanan ini saya bersama Akbar, staf rumah tangga di kantor Kompas Biro Sulawesi/Indonesia Timur. Dia pula yang menyetir selama perjalanan. Anak bungsu saya yang baru tamat SMA, Yusuf, meminta ikut. Dia penasaran ingin melihat Seko.
Walau Seko berada di Kabupaten Luwu Utara, kami memilih singgah dan menginap di Kota Palopo karena sudah terlalu lelah untuk melanjutkan perjalanan ke Luwu Utara. Lagi pula untuk ke Seko tak harus ke Masamba dulu karena arahnya setelah Palopo dan sebelum Masamba.
Baca juga: Saya Berbohong dan Kapolri Pun "Berbohong"
Keesokan harinya, Minggu (3/7/2022), sekitar pukul 08.00 Wita, kami melanjutkan perjalanan ke Seko. Dari Palopo kami melewati Kabupaten Luwu dan akhirnya masuk Luwu Utara. Di jalan poros Palopo-Masamba, tepatnya di pertigaan Tugu Durian, kami berbelok ke Kecamatan Sabbang melalui jalan poros Masamba-Seko.
Tugu Durian di simpang tiga ini adalah penanda daerah Sabbang sebagai penghasil durian terbaik di Luwu Utara. Di Tugu Durian ini jugalah titik berkumpulnya ojek menuju Seko. Sabbang cukup ramai dan menjadi tujuan warga Seko untuk berbelanja hampir semua kebutuhan, sekaligus untuk menjual hasil bumi. Jaraknya dari Seko lebih dari 100 kilometer.
Selepas Sabbang, kecamatan selanjutnya adalah Rongkong lalu Seko. Hingga mencapai jalan poros Masamba-Rongkong, kondisi sebagian jalan beraspal dan sebagian lagi berupa tanah pengerasan. Masih bisa dilalui dengan kendaraan roda empat sehingga kami tak mengambil ojek di Sabbang.
Setelah berkendara sekitar tujuh jam dari Palopo, akhirnya kami tiba di Desa Limbong, Rongkong, sekitar pukul 15.00 Wita. Kami memutuskan untuk makan siang dahulu mumpung bertemu warung makan. Mabusa masih sekitar 10 kilometer lagi di depan. Rencananya, sehabis makan kami akan ke Mabusa dan mengambil ojek di situ untuk ke Seko Lemo.
Namun pemilik warung, Tandi Sangga (45) memberi tahu kalau kendaraan roda empat tak bisa tembus ke Mabusa. Ini karena ada satu titik di jalan porosyang rusak parah sepanjang 500 meter sehingga tak bisa dilalui sama sekali oleh kendaraan roda empat. Padahal, tahun lalu saat mengikuti perjalanan BBM Satu Harga ke Seko, seingat saya kendaraan masih sampai ke Palandoang.
Usai makan, kami mengecek titik yang disebut rusak parah itu. Benar saja, kendaraan roda empat sama sekali tak bisa melintas. Tanah merah di jalan ini serupa bubur di cekungan dalam. Hanya kendaraan roda dua yang bisa melintas di tepinya. Itupun separuhnya harus didorong karena kondisi tanah berlumpur membuat ban kendaraan tenggelam.
Baca juga: Penuh Haru di Perbatasan
Kami terpaksa kembali ke warung Tandi Sangga. Di situ akhirnya saya bertemu dengan Papa Adel dan sepakat mencoba menembus Seko Lemo via Mabusa-Se’pon keesokan harinya.
Malam itu saya menumpang tidur di warung makan. Kami dipinjami sebuah kamar seukuran 2x2 meter dan selembar tikar sebagai alas tidur. Bangunan warung ini terbilang sederhana, dengan dinding dan alas dari papan serta atap dari seng.
Berada di ketinggian sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut, suhu di Limbong sangat dingin. Di dusun ini tak ada listrik. Jaringan telepon bahkan sudah hilang sejak kami masih di Sabbang.
Pukul 18.00 Wita, Tandi menyalakan genset sehingga kami bisa menikmati cahaya lampu temaram sembari mengisi baterai gawai. Genset dihidupkan hanya sampai pukul 21.00. Sepanjang malam itu, hujan turun cukup deras disertai petir.
Beberapa bulan terakhir, cuaca di Seko memang tak menentu. Lebih banyak hujan dan ini membuat banyak titik di jalan poros Masamba-Seko berubah menjadi bubur tanah dan tak lagi bisa dilalui kendaraan roda empat hingga Palandoang. Jika jalan poros saja sudah sulit dilalui, bagaimana dengan jalur ke desa-desa di Seko? Malam itu rasanya berlalu begitu lama.
Pagi pun tiba. Kami bangun saat matahari belum lagi nampak. Saya mempersiapkan diri untuk perjalanan ke Seko Lemo. Papa Agil akan menjemput sekitar pukul 09.00 Wita. Setelah berembuk dengan Akbar dan Yusuf, kami sepakat bahwa Yusuf yang akan ikut ke Seko Lemo. Dia sudah mendaki ke beberapa gunung dan siap dengan resiko perjalanan. Akbar bertugas menjaga barang dan kendaraan di warung.
Walaupun sudah terbayang akan beratnya perjalanan ini ditambah saya sudah pernah ke Seko Tengah dan Seko Padang sebelumnya, ternyata perjalanan ke Seko Lemo di luar dugaan saya.
Sebagai gambaran, jalur jalan ke Seko Tengah dan Seko Padang juga buruk. Tapi setidaknya kondisi tanahnya masih rata. Berbeda dengan perjalanan ke Seko Lemo yang bukan hanya lebih buruk kondisi jalannya tetapi juga diwarnai banyak tanjakan dan turunan.
Duduk di boncengan, tangan harus kuat berpegangan bagian belakang sadel motor. Kaki juga harus menahan agar badan tak terlalu condong ke depan atau ke belakang saat menanjak atau menurun. Di tanjakan dan turunan yang cukup terjal, kami harus turun dari kendaraan dan berjalan kaki.
Begitupun saat melewati jalan licin berlumpur yang membuat kendaraan separuhnya tenggelam. Rasanya hampir tak ada jalan yang cukup rata yang bisa membuat kami bisa duduk nyaman sejenak. Belum juga separuh perjalanan, celana sudah penuh lumpur.
Baca juga: Mendaki Bukit Terjal ke Goa Hira, Tempat Nabi Menyendiri
Jalur mentega
Sekitar pukul 12.00 Wita, kami singgah di sebuah sungai kecil untuk makan siang. Bekal nasi bungkus dari warung Tandi Sangga, kami santap sesegera mungkin karena tak ingin berlama-lama. Namun, hujan keburu turun. Buru-buru kami bungkus sisa makanan dan melanjutkan perjalanan. Hujan yang semakin lebat membuat perjalanan kian sulit.
Saya dan Yusuf akhirnya lebih banyak memilih berjalan kaki karena tangan sudah sangat lelah berpegangan pada sadel. Saya bahkan mulai sulit menggerakkan tangan ke atas. Dingin juga membuat tangan menjadi kaku.
Sepeda motor juga lebih banyak didorong dan diangkat. Ini membuat saya paham mengapa Papa Adel sejak awal menegaskan tak mau jalan sendiri. Di Seko, setiap pengojek memang harus jalan berkelompok, minimal berdua. Ini agar mereka bisa saling bantu mendorong dan mengangkat motor. Terlebih di jalur Mabusa-Se’pon.
Ada sejumlah istilah untuk menggambarkan jalur ke desa-desa di Seko. Salah satunya, jalur mentega untuk kondisi jalan yang tanahnya sangat licin saat hujan. Di jalur ini, kendaraan biasanya rawan jatuh. Kadang ban motor bergerak ke kiri dan kanan. Istilah lain adalah jalur tamiya. Istilah ini banyak dipakai oleh komunitas offroad yang kerap ke Seko.
“Karena ada banyak lintasan bekas ban motor yang seperti jalur mobil-mobilan tamiya. Untuk lewat jalur seperti ini harus tepat mengambil jalur dari awal. Kadang kita melihat jalurnya bagus di awal tapi ternyata di tengah putus dan kendaraan harus diangkat masuk ke jalur sebelah. Makanya pemilihan jalur awal sangat menentukan. Untuk pengojek yang sudah sering lewat, biasanya sudah tahu. Tapi kadang jalur ini bisa berubah saat hujan dan kubangan makin dalam,” kata Agip.
Siang itu, hujan yang terus turun dan membuat jalan menjadi bubur tanah di mana-mana, membuat perjalanan kian berat. Berkali-kali kaki terperosok ke dalam kubangan tanah. Setengah perjalanan, sol sepatu saya yang sebelah kanan copot. Beruntung pengojek membawa tali yang terbuat dari potongan ban motor. Sol sepatu yang lepas itupun saya ikat dengan tali ban.
Sepanjang jalan, banyak kami jumpai pengojek yang terpaksa menghentikan perjalanan akibat kendaraannya rusak. Ojek yang kami tumpangi juga beberapa kali harus berhenti karena rantainya lepas. Sering pula kami bertemu rombongan kuda pateke, yakni kuda pengangkut barang. Biasanya pemilik akan menggiring kudanya dengan berjalan kaki karena kuda sudah penuh dengan barang-barang yang diangkutnya.
Sebenarnya perjalanan ke Seko Lemo sedikit tertolong dengan keberadaan jalan para-para. Jalan ini terbuat dari papan yang bagian bawahnya disangga potongan-potongan batang pohon. Jalan ini dibuat dengan inisiatif dan partisipasi penuh warga di tiga desa di Seko Lemo. Di berbagai titik parah yang biasanya berubah jadi jalur mentega saat hujan, di situlah para-para dipasang.
Setelah tujuh jam menempuh jarak 30 km, mendekati pukul 17.00 Wita, sampai juga kami di Se’pon, dusun pertama yang kami jumpai selepas Mabusa. Di dusun ini kami menumpang menginap di rumah Sabdir Tibuang, warga setempat. Sepanjang sore hingga malam saya menghabiskan waktu berbincang dengan tetua dan perangkat desa. Sebagian adalah para pemuda desa yang terlibat dalam pembuatan jalan para-para.
“Bisa tiba disini dalam waktu tujuh sampai delapan jam, itu sudah sangat cepat. Kalian terbantu dengan jalan para-para yang sudah dibuat warga desa. Kalau sebelumnya, untuk ke Mabusa saja, kami harus menginap di hutan. Biasanya berangkat pagi dari Se’pon, malam hari baru dapat setengah perjalanan. Biasanya kami lanjutkan lagi pagi hari,” kata Hubungan Pasangki, Kepala Dusun Burasse yang ikut berbincang malam itu.
Saya tertegun membayangkan betapa sulitnya kehidupan warga di desa ini karena infrastruktur jalan yang buruk. Mereka berkisah, untuk sekadar membeli garam di Sabbang, dahulu mereka harus menempuh perjalanan hingga sepekan lamanya. Sehingga harus membawa bekal yang cukup dan harus siap dengan berbagai risiko di perjalanan.
Rasa lelah membuat tidur saya cukup nyenyak malam itu walaupun hanya beralas tikar. Tidur yang cukup juga membuat saya punya tenaga untuk melanjutkan perjalanan keesokan harinya ke beberapa dusun lalu kembali ke warung Tandi Sangga, tempat awal naik ojek.
Perjalanan pulang tentu saja sama sulitnya, bahkan lebih banyak menemui tanjakan. Jalan kaki mendaki tanjakan dan melewati turunan, membuat sepatu basah berlumpur. Sol sepatu kiri pun ikutan lepas, mengimbangi sol kanan yang sudah lebih dulu jebol. Membuat perjalanan terasa kian berat.
Bahkan licinnya jalan membuat saya dan Papa Adel jatuh dari motor. Badan yang pegal terbentur tanah berbatu serta tangan yang kian kaku berpegangan pada sadel, tak menyurutkan semangat untuk mengejar waktu agar bisa tiba di warung Tandi Sangga sebelum malam. Beruntung, kami berhasil tiba sesaat sebelum malam turun.
Tiba di warung,saya menghela napas lega lalu teringat perbincangan dengan warga Seko saat di rumah Tabdir Sibuang.
“Kami merindukan sekali jalan bagus bisa masuk sampai ke desa ini. Tak muluk-muluk, jika aspal tak bisa, setidaknya jalan pengerasan. Sungguh kami semua sudah lelah dengan kondisi ini. Ingin juga kami bisa bebas berkendara seperti orang-orang di desa lain yang punya jalan bagus”.
Semoga dengan usia republik ini yang menginjak 77 tahun merdeka, mereka bisa segera mencecap kondisi jalan yang layak seperti saudara-saudara lainnya se-Tanah Air yang sudah lebih dulu menikmatinya.