Keindahan panorama dari Punthuk Setumbu telah "ditemukan" Pak Suparno jauh sebelum film AADC 2 (2016). Namun lokasi itu baru populer setelah foto panorama di sana tampil di halaman muka Kompas tahun 2004.
Oleh
Eddy Hasby
·6 menit baca
Suara terompet kemeriahan malam pergantian tahun baru 2003 menuju 2004, sudah tak terdengar lagi, arloji telah menunjukkan pukul 03.00. Di antara jalan protokol Yogyakarta yang dipenuhi sampah terompet sisa pesta malam tahun baru itu, kami berlima dalam satu kendaraan, Hariadi Saptono, Budi Suwarna, Dwi Oblo (fotografer lepas Reuters) dan mas Giman (rumah tangga biro Yogya) mulai meninggalkan kota Yogyakarta menuju Muntilan, Magelang, Jawa Tengah.
Seminggu sebelum pagi hari itu, saya sudah berjanji dengan Suparno yang biasa kami panggil Pak Parno, seorang fotografer tinggal tak jauh dari kompleks Candi Borobudur, untuk mendaki bukit kecil Punthuk Setumbu, yang terletak di Kurahan, Karangrejo, Kecamatan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Suparno merupakan sahabat lama almarhum Rudi Badil wartawan senior harian Kompas sejak lama, bahkan Rudi Badil pernah menulis sosok Suparno, seorang fotografer yang banyak mendokumentasikan Candi Borobudur di harian Kompas halaman 12, tanggal 5 Januari 2000.
Kami menjemput Pak Suparno di rumahnya, lalu berangkat menuju desa Karangrejo sekitar 5 kilometer dari kediamannya. Berbekal penerangan lampu senter kami mulai mendaki jalan setapak.
Menerobos alang-alang dan semak belukar serta jalan setapak licin sedikit berlumpur, mewarnai perjalanan kami. Jalan menuju puncak bukit kami tapaki bagai babat alas.
Kaki bukit pertama sudah melihat Candi Borobudur samar-samar, tetapi sayangnya lokasi di tengah bukit ini pepohonan dan semak belukar terlalu tinggi, menghalangi pandangan dan kenyaman komposisi gambar.
Kami akhirnya memutuskan untuk mendaki bukit Setumbu yang paling tinggi, yaitu puncaknya, meski harus bergelut dengan jalan setapak yang licin dan penuh semak belukar.
Sesampainya di puncak, semak belukar dan rimbun pepohanan mewarnai bukit Setumbu ini. Kami mencoba mencari tempat terbuka, dan tidak terhalangi pepohonan rindang dan semak belukar untuk melakukan pemotretan.
Siluet gunung Merapi mulai samar-samar tampak dari kejauhan dari arah timur, tetapi hamparan kabut tebal menutupi Candi Borobudur. Sungguh saya tidak tahu posisi Candi Borobudur dalam selimut tebal kabut pagi itu, kalau tidak saja pak Suparno memberi tahu arah sambil menunjukkan dengan jari telunjuknya.
Saya terkagum dan terdiam ketika perlahan kabut pagi itu membuka tabir Candi Borobudur. Saya menarik napas panjang, menghirup udara segar sedalam-dalamnya, di bukit ketinggian 400 meter dari permukaan laut itu.
Bayangkan saja, beberapa jam sebelumnya, hiruk pikuk warga kota Yogyakarta berpesta menyambut pergantian tahun, suasana ingar bingar suara terompet dan bau petasan, gegap gempita mewarnai sepanjang jalan Malioboro.
Kedamaian dan keindahannya saya rasakan di pagi itu ketika Candi Borobudur seperti menyapa, dan memberikan syahduhannya. Kesempatan ini tak saya sia-siakan, beberapa frame gambar saya ambil dengan kamera DSLR dan lensa 70-200 mm.
Meski kelelahan dan semalaman belum tidur kekurangan tidur karena liputan perayaan malam pergantian tahun baru di kota Yogyakarta, pagi itu, puas terobati. Apalagi pendakian itu, Hariadi Saptono selaku kepala biro Kompas Jawa Tengah saat itu ikut langsung memberikan semangat kepada kami.
”Mas Eddy, sangat beruntung,” ujar Pak Suparno saat saya diam menikmati kemegahan Candi Borobudur terselimut kabut. ”Pagi ini udara bersahabat, Borobudur terlihat cerah,” tambah Pak Parno.
Saya mengucapkan banyak berterima kasih kepada Pak Suparno, ketika berpisah pulang menuju Yogyakarta.
Apresiasi Pak JO
Pagi Jumat 2 Januari 2004, koran Kompas mengawali tahun baru dengan sampul foto keindahan Borobudur berselimut kabut. Lama memperhatikan foto yang sehari sebelumnya saya abadikan dari atas bukit Punthuk Setumbu itu.
Belum sempat koran saya letakkan di atas meja, telepon seluler berdering. ”Selamat pagi, Bung,” sapa seorang dari seberang dengan nada berat. ”Selamat pagi, Pak,” jawab saya sekenanya.
”Foto bung hari ini indah sekali,” pujinya. Aksen dan intonasinya ini mengingatkan saya pada Pak JO (Jakob Oetama).
Tapi apakah betul ini pak JO langsung yang langsung menelepon saya? ”Saya lahir dan besar di sekitar Borobudur, tapi baru kali ini melihat Candi Borobudur indah berselimut kabut,” tambahnya.
Hampir 10 tahun, saya tidak pernah menerima langsung telepon dari Pak JO. Ini pasti mas TRA (Tri Agung Kristanto) menjahiliku, pikir saya saat itu, biasanya dia yang suka menirukan suaranya Pak JO. Entah kenapa saya menahan diri untuk tidak membantah bahwa yang menelepon ini bukan Pak JO.
Pak JO menanyakan keluarga dan domisili saya bertugas saat itu di Biro Semarang. ”Boleh saya dicetakkan fotonya?” katanya lagi. ”Siap Pak, akan saya cetakkan fotonya buat Bapak,” jawabku. Seusai percakapan itu, saya masih tidak percaya kalau yang menelepon tersebut adalah Pak JO.
Saya menelepon kantor redaksi Kompas di Palmerah. Dan dengan berbicara Tahjuddin yang piket di ruang lobi penerima tamu. Infonya, memang betul tadi Pak JO meminta nomor saya dan menelepon saya.
Baru setelah itu saya percaya bahwa yang menelepon adalah Pak JO. Dan dengan sigap saya berangkat segera mencari lab foto yang buka di Semarang untuk mencetak foto tersebut dan segera untuk dikirimkan ke Jakarta.
Sungguh saya tidak menyangka seorang Pak JO masih sempat memberikan apresiasi terhadap karya jurnalisnya tempat dia berkarya di harian Kompas.
Diselimuti abu vulkanik Merapi
Dalam suasana memprihatinkan pada 12 November 2010, kembali saya bersama Pak Suparno mendaki bukit Punthuk Setumbu. Kali ini saya ingin melihat bagaimana suasana panorama Candi Borobudur yang hampir sebulan penuh dihujani abu vulkanik gunung Merapi pada saat matahari terbit.
Di Dusun Kurahan di kaki bukit Setumbu ini, kami disambut warga setempat dengan kesibukannya membersihkan tumpukan abu vulkanik erupsi gunung Merapi. Beberapa warga sibuk membersihkan atap rumah dan sebagian warga menebang pepohanan bambu tumbang terbebani berat tumpukan abu vulkanik yang menutup jalan kampung.
Di tahun 2010 ini, mendaki Punthuk Setumbu tak sesulit di ujung awal tahun 2004. Jalan setapak menuju bukit sudah di beton semen oleh warga, mungkin karena sudah banyak pengunjung yang ingin menikmati panorama matahari terbitdari bukit ini.
Meski tak begitu sulit menggapai, tetapi saya tetap menggunakan masker karena debu abu vulkanik berterbangan ditiup angin perbukitan.
Dari puncak bukit ini saya melihat, abu vulkanik membumbung tinggi, memayungi kawasan Muntilan dan Candi Borobudur. Sinar mentari pagi membuat siluet gunung merapi, terlihat indah, tetapi mengerikan.
Candi Borobudur mahakarya bangsa dari Wangsa Syailendra ini menampakkan kemuramannya, terselimut material abu vulkanik, seperti pepohonan kelapa yang kuncup mengelilingnya berwarna abu.
Saya merekam beberapa shot video dan membuat fotografi timelapse di lokasi ini dan mewawancarai Pak Suparno mengenai penemuannya lokasi bukit Setumbu.
”Punthuk Setumbu semakin dikenal oleh kalangan fotografer dan turis, setelah foto keindahan Borobudur dimuat di harian Kompas awal tahun 2004 lalu itu Mas,” cerita Pak Suparno kepada saya.
Dan kini setelah film Ada Apa Dengan Cinta 2 yang mengambil shooting lokasi di bukit ini, Punthuk Setumbu semakin ramai dikunjungi wisatawan. Saya sendiri sempat terkaget ketika berkunjung kembali bersama Pak Suparno, pagi hari di bulan September 2019 sebelum masa pandemi, bukit ini dipadati wisatawan yang berkunjung. Para warga di sekitar lokasi wisata Punthuk Setumbu yang menjajakan minuman dan suvenir tampak semringah menyambut para wisatawan.
Semoga di hari-hari ke depan saya dapat berkunjung kembali ke Punthuk Setumbu, menyeruput segelas kopi, tentunya sembari ditemani Pak Suparno kembali.