Jadi Wali Wisuda Dadakan di Wisma Atlet Pademangan
Wartawati ”Kompas”, Kurnia Yunita Rahayu, secara mendadak harus menjadi wali wisuda bagi seorang mahasiswi yang menjadi rekan sekamarnya di Menara 9 Wisma Atlet Pademangan, tempat isolasi penderita Covid-19.
Kehidupan di ruang isolasi sering kali membawa pasien Covid-19 pada situasi tidak terduga. Tiba-tiba saya harus menjadi orangtua yang mewisuda anak sulungnya.
Alvita Fabiola Aprilia (22) berjalan memasuki kamar dengan wajah tertunduk. Ia menutup pintu perlahan lalu bersandar. Dari balik pintu, ia menghela napas sambil menahan air mata yang hampir jatuh. ”Kak, masa isolasiku ditambah tiga hari lagi karena masih radang tenggorokan,” ujar pasien Covid-19 bergejala ringan itu di Menara 9 Wisma Atlet Pademangan, Jakarta Utara, Kamis (28/1/2021).
Keputusan dokter menambah kesedihan Alvita. Tiga hari sebelumnya, kabar serupa datang dari ibunya yang dirawat di Menara 4 Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat. Masa perawatan sang ibu diperpanjang tujuh hari karena masih positif korona setelah dites usap evaluasi.
Dua kabar itu merenggut impian Alvita yang baru saja lulus dari perguruan tinggi swasta di Depok, Jawa Barat. Ia dijadwalkan mengikuti wisuda daring pada 30 Januari. ”Hari wisuda, kan, hari besar buatku. Inginnya bisa dilakukan bareng mama dan adik di rumah, bukan di tempat isolasi,” kata sulung dari dua bersaudara yang ayahnya sudah meninggal tiga tahun lalu itu.
Namun, mereka bertiga tinggal terpisah karena Covid-19. Alvita dan ibunya diisolasi di tempat terpisah karena perbedaan gejala. Sementara adiknya yang negatif Covid-19 tinggal sendiri di rumah. Jika kondisi kesehatan anak dan ibu itu stabil, semestinya mereka sudah bisa pulang pada hari wisuda.
Sekalipun berat, perempuan yang akrab disapa Vita itu tidak mau berlama-lama dalam kesedihan. Ia menyadari, hidup harus terus berjalan lalu segera memulai persiapan ”hari besarnya”. Mengandalkan jasa ojek daring, ia mengambil toga dari kampus dan pakaian formal dari rumah. Ia pun membeli kuota internet sebesar 2 gigabyte untuk persiapan seremoni wisuda daring.
Pada hari wisuda, Sabtu (30/1/2021), Vita bangun lebih awal dari biasanya. Sejak subuh perempuan setinggi 150 sentimeter itu sudah bersiap mengenakan blus brokat merah mudah yang dimasukkan ke dalam kulot hitam. Di hadapan kaca lemari, ia menyapu wajah dengan bedak, menggambar alis, dan memulas bibir dengan lipstik merah muda. Tak lupa ia juga menyemprotkan parfum mawar ke seluruh pakaian hingga aromanya memenuhi seluruh kamar.
Selesai mematut diri, Vita mengenakan setelan toga dengan atribut kampus bernuansa oranye. Sesekali ia terpaku memandang ke kaca dengan tatapan kosong. Namun, dengan segera tersenyum kembali, berswafoto beberapa kali, kemudian mengirimkan foto diri kepada ibu dan adik yang sejak pagi terus saja menanyakan kesiapannya.
Memasuki pukul 08.00, Vita menata laptop dan ponselnya di ruang tamu kamar isolasi. Dengan koneksi internet yang kerap tersendat, ia mengikuti seremoni wisuda didampingi rekan sesama pasien yang diisolasi dalam unit yang sama dengannya. Rekan itu pula yang menggantikan peran keluarga Vita untuk memindahkan tali di topi wisuda, simbol bahwa gelar sarjananya sudah dilegitimasi.
Kaus lengan panjang
Rekan yang tinggal satu unit dengan Vita tidak lain adalah saya. Sejak menerima kabar perpanjangan masa isolasi, dia sudah meminta tolong agar saya bisa menggantikan peran orangtuanya di hari wisuda.
Permintaan itu membuat saya tertegun sejenak. Ingin rasanya menjawab sambil berkelakar. ”Lewati saja wisudanya, yang penting nanti dapat ijazah,” saya bergumam.
Selain itu, saya baru satu bulan menikah. Belum terbayang bagaimana harus mendampingi anak sulung pergi wisuda.
Namun, saya berempati. Membayangkan lulus perguruan tinggi dalam nuansa zaman yang kacau. Masa yang mengharuskan manusia beradaptasi secara cepat, mengubah cara hidup yang sudah mapan ratusan tahun.
Akhirnya saya menyanggupi dan ikut mempersiapkan diri. Setiap hari saya semakin rajin makan, minum vitamin, dan berolahraga. Selain tak mau sakit di hari-H, hari itu juga merupakan jadwal pemeriksaan kesehatan terakhir, penentuan apakah saya sudah bisa dipulangkan atau belum.
Pada hari wisuda, sama seperti Vita, saya pun bangun lebih awal. Alih-alih mematut diri, saya justru sibuk memotret persiapan teman yang baru saya kenal satu minggu itu. Niatnya ingin membuat esai foto untuk koleksi pribadi atau paling tidak dipamerkan di akun media sosial.
Setelah tuntas memotret, barulah persiapan diri dimulai. Saya mandi dan merias diri sewajarnya. Sementara itu, Vita sudah siap di hadapan laptop sambil menyimak berbagai sambutan dari pejabat kampus.
Ketika memilih pakaian, saya kaget. Tidak ada stok pakaian formal untuk mengikuti upacara wisuda daring! Saya hanya membawa beberapa helai kaus, celana pendek, dan legging untuk bekal isolasi mandiri.
”Vita, ini pakaian paling formal yang kubawa,” saya bilang sambil menunjukkan kaus lengan panjang bergaris merah dan biru.
Ia mengernyit. ”Enggak ada yang lain, Kak?”
Saya menggeleng.
Kami pun duduk berdampingan di depan laptop. Sunyi dan khidmat. Tidak ada suara selain pembawa acara yang memanggil satu per satu peserta wisuda lewat udara.
[video width="1920" height="1080" mp4="https://kompas.id/wp-content/uploads/2021/03/20210130_114406_001.mp4"][/video]
Kami menunggu giliran pemindahan tali topi wisuda sembari menyaksikan wisudawan dan wisudawati lain. Mereka didampingi orangtua masing-masing. Sebagian besar mengenakan pakaian formal, seperti setelan jas dan kebaya.
Pihak kampus merekam dan mengambil foto dari setiap peserta wisuda. Oleh karena itu, kami merumuskan pose santai atau sebenarnya ”sok asik” agar sesuai dengan kaus lengan panjang saya. Kaus yang sering saya kenakan untuk liputan lapangan, dan akhirnya saya kenakan lagi saat menjadi wali mahasiswa dadakan.
Kluster keluarga
Saya menjadi pasien Covid-19 sekaligus penghuni Menara 9 Wisma Atlet Pademangan, menara khusus untuk pasien tanpa gejala dan bergejala ringan, selama 10 hari, yaitu pada 21-31 Januari 2021. Pada Kamis (21/1/2021) sekitar pukul 06.00, saya melaporkan hasil tes usap dengan reaksi berantai polimerase (PCR) ke petugas pelacak (tracer) dari Puskesmas Kelapa Dua Wetan, Ciracas, Jakarta Timur, lalu diberangkatkan dari Puskesmas Ciracas dengan bus sekolah pada sore harinya.
Berdasarkan hasil tes yang saya lakukan di Farmalab Kompas Gramedia, Jalan Palmerah Selatan, Jakarta, Rabu (20/1/2021), saya terkonfirmasi positif korona dengan nilai cycle threshold (CT) 18. Nilai yang jauh di bawah ambang batas aman sehingga virus yang bersarang masih bisa menular ke orang lain. Meski demikian, saya tak mengalami gejala apa pun saat itu.
Sejumlah gejala justru terjadi tiga hari sebelumnya. Sejak Senin (18/1/2021), sendi di pundak dan punggung terasa nyeri dan linu mirip gejala pra-menstruasi. Hidung mampat dan sempat kehilangan daya penciuman (anosmia) pada Rabu (20/1/2021). Oleh karena itu, saya memeriksakan diri ke puskesmas terdekat. Dokter meminta saya tes usap.
Seluruh puskesmas tingkat kecamatan di DKI Jakarta sebenarnya menyediakan layanan tes usap bagi warga terduga Covid-19. Akan tetapi, penjadwalannya jarang bisa terjadi di hari yang sama dengan rekomendasi dokter. Hasilnya pun ditunggu 3-5 hari. Oleh karena itu, saya memutuskan tes usap secara mandiri lalu melaporkan hasilnya untuk ditindaklanjuti puskesmas.
Entah tertular virus dari mana, saya adalah korban dalam kluster keluarga. Sebanyak empat dari total enam anggota keluarga yang tinggal di satu rumah kami terkonfirmasi positif korona. Mereka adalah suami dan dua adik saya. Sebelum terkonfimasi, kami bekerja dan sekolah dari rumah. Aktivitas ke luar sangat minim.
Kendati begitu, virus korona bisa menyerang siapa saja dan kapan saja. Wujudnya berbeda-beda, benar-benar bergantung pada kondisi tubuh si penderita. Karena itu, setelah menjadi pasien, saya merasa harus meningkatkan kewaspadaan di mana saja, termasuk saat berada dengan orang-orang terdekat.
Hampir semua rekan sesama pasien yang saya temui di Wisma Atlet Pademangan pun merupakan korban di kluster keluarga. Orang tua, muda, dan anak balita tumpah ruah memenuhi tempat isolasi seperti ”pindah rumah”.
Kehidupan berjalan seperti biasa walaupun ada sejumlah penyesuaian dan pendisiplinan agar bisa tetap bertahan. Karena itu, beberapa orang tetap bisa melaksanakan ”hari besarnya” di dalam ruang isolasi, mulai dari wisuda hingga menikah. Sebab, korona tak bisa merenggut manusia dari kemanusiaannya.