Liputan Travel Saat Pandemi: Antara Antusias dan Waswas
Pengalaman wartawati ”Kompas”, Denty Piawai Nastitie, menjalani liputan ke Palembang dalam kondisi pandemi Covid-19. Protokol kesehatan diterapkan dengan ketat agar tetap dapat meliput dan terhindar dari infeksi virus.
Aktivitas masyarakat di tepi Sungai Musi, Sumsel, Selasa (25/8/2020). Terlihat di kejauhan Jembatan Ampera yang megah dan bersejarah. ”Kamu akan dilibatkan dalam Tim Kendara untuk liputan ke Palembang, apakah kamu siap?” tanya editor saya, Budi Suwarna, melalui pesan singkat Whatsapp.
Ini sudah kedua kalinya editor bertanya mengenai kesiapan saya berangkat liputan perjalanan ke Palembang, Sumsel. Ia menjelaskan, di tengah pandemi keselamatan dan kesehatan karyawan menjadi yang utama. Apalagi, saat ini Kompas menerapkan anjuran reporter sebisa mungkin bekerja dari rumah untuk menghindari kemungkinan terpapar virus.
Oleh karena itu, ia membuka kesempatan agar saya bisa menyampaikan kekhawatiran menjelang liputan. Sebelum editor mengirimkan pesan, sebenarnya saya cukup ragu untuk bepergian di tengah pandemi. Kalau dulu saya menyambut tugas ke luar kota dengan semangat, kini saya harus berpikir berkali-kali untuk liputan. Apalagi, ini akan menjadi liputan pertama saya ke luar kota setelah sekitar enam bulan menerapkan sistem bekerja dari rumah.
Banyak pikiran negatif yang mengganggu, terutama terkait kemungkinan terpapar virus yang menyebabkan penyakit Covid-19. Kita tidak akan pernah tahu dari mana datangnya virus. Apalagi, saya tinggal bersama orangtua dan mempunyai keponakan berusia balita. Ancaman virus tidak hanya menyerang saya sebagai individu, tetapi juga bisa mengancam keluarga.
Untuk memecahkan dilema ini, saya berkonsultasi dengan keluarga. Ayah dan ibu saya tidak keberatan saya menjalankan tugas selama mematuhi protokol kesehatan yang sudah ditetapkan pemerintah. Restu ini kemudian memantapkan saya untuk melaksanakan tugas.
”Saya sudah konsultasi dengan orangtua, Mas. Saya tidak masalah dan diizinkan berangkat,” tulis saya, kepada editor.
Tugas liputan ini dilaksanakan untuk menjajal Jalan Tol Trans-Sumatera ruas Bakauheni (Lampung)-Jakabaring (Palembang) yang baru selesai dibangun beberapa waktu lalu. Kalau beberapa tahun lalu perjalanan ini bisa memakan waktu sedikitnya 9 jam, kini sudah dipangkas hingga hanya tersisa sekitar 4 jam.
Tugas liputan kendara dilakukan selama lima hari, yaitu Senin–Jumat (24-28 Agustus 2020). Perjalanan darat menggunakan kendaraan mobil Wuling Cortez CT Tipe S dilakukan tim Kompas yang terdiri atas tiga orang, yaitu Dahono Fitrianto, Eddy Hasby, dan saya. Reporter Adrian Fajriansyah yang merupakan orang asli Palembang juga bergabung dengan rombongan.
Sesungguhnya, teman-teman dan saya sangat antusias dengan perjalanan ini. Mas Eddy Hasby dan Adrian Fajriansyah terlihat semangat karena untuk pertama kalinya mudik ke daerah asal mereka di Palembang melalui Jalan Tol Trans-Sumatera. Mas Dahono Fitrianto juga tidak sabar karena ini merupakan pengalaman pertamanya mengunjungi Palembang. Bagi saya, kunjungan ke Palembang menjadi obat rindu karena saya sudah beberapa kali mengunjungi kota ini dalam rangka persiapan liputan Asian Games 2018.
Rombongan Kompas menempuh perjalanan dari Jakarta pada Senin (24/8/2020) siang. Selanjutnya, menjelang matahari tenggelam menyeberang dari Terminal Eksekutif Pelabuhan Merak ke Bakauheni. Setelah bermalam di Bandar Lampung, keesokan harinya pada Selasa (25/8) baru meluncur ke Palembang.
Seperti hitam dan putih kehidupan, sepanjang perjalanan kami merasakan antusiasme sekaligus menyimpan rasa khawatir. Jalanan tol yang panjang membentang dengan panorama hutan di pinggir jalan memberikan pengalaman wisata yang cukup menarik. Namun, kami tidak boleh terlena. Menjaga kesehatan tetap menjadi keutamaan.
Di dalam mobil, teman-teman dan saya berbincang tetap dengan menggunakan masker untuk menjaga diri sendiri dan orang lain. Ketika berpapasan dan berbicara dengan orang lain, sebisa mungkin menjaga jarak fisik. Tim Kompas juga membawa dari 50 lembar masker, belasan botol cairan disinfektan dan penyanitasi tangan untuk menjaga kebersihan. Setiap memegang sesuatu, entah itu gagang mobil, pegangan anak tangga, kotak makanan, botol minuman, secara refleks pasti langsung membasuh tangan dengan penyanitasi tangan. Kami juga sudah mengantongi surat tes cepat nonreaktif sehingga merasa lebih tenang bekerja.
Perjalanan ke Sumatera ditempuh dengan menggunakan KMP Sebuku. Begitu memasuki kapal untuk berlayar, tim Kompas segera mencari anjungan. Tempat terbuka dengan udara laut cukup membuat tenang daripada berada di dalam ruang tertutup. Begitu juga ketika dalam perjalanan pulang menggunakan KMP Portlink, saya memilih untuk duduk di anjungan.
Tugas ke Palembang ini membuka mata saya bahwa Covid-19 telah memengaruhi berbagai aspek kehidupan. Tidak hanya memengaruhi kesehatan nasional, tetapi juga mengganggu tatanan ekonomi dan sosial. Sebagian orang tidak punya kemewahan untuk tetap di rumah seperti saya. Termasuk penumpang kapal yang sedang berlayar ini, dengan berbagai alasan, baik personal maupun profesional, mereka terpaksa menempuh perjalanan menantang.
Dalam perjalanan liputan ini, teman-teman dan saya menginap di dua tempat, yaitu di Hotel Aston, Bandar Lampung, dan Hotel Santika Palembang. Memasuki kamar hotel, tidak ada acara leyeh-leyeh melepas lelah. Tujuan utama saya pasti langsung kamar mandi. Ada perasaan kotor sehingga ingin langsung membersihkan badan. Biasanya, setelah mandi saya baru berani memegang benda-benda yang ada di kamar hotel, seperti gelas dan tempat tidur.
Di depan pintu kamar tidur, perlengkapan kerja seperti laptop dan kamera, juga pasti langsung dibersihkan dengan tisu basah dan disemprot cairan disinfektan. Memang agak merepotkan, tetapi ini menjadi tanggung jawab yang harus dipatuhi saat liputan.
Ada pengalaman menarik ketika menikmati sarapan di hotel. Meskipun pemerintah sudah menetapkan protokol kesehatan, rupanya setiap hotel menerapkan aturan yang berbeda-beda.
Di Hotel Aston Bandar, Lampung, saya terkejut karena tidak ada pembatasan tamu hotel yang menikmati sarapan. Selain itu, makanan masih disajikan secara prasmanan. Ketika hendak mengambil makanan, saya berpikir seribu kali untuk memegang sendok di restoran. Beruntunglah, Hotel Aston menyediakan sarung tangan plastik untuk tamu hotel. Saya segera memakai sarung tangan itu untuk mengambil makanan.
Lain lagi di Hotel Santika, ada petugas hotel yang menuangkan makanan di atas piring tamu. Meski terasa lebih aman, tetapi kenormalan baru ini juga memberikan perasaan berbeda karena tamu tidak bisa leluasa untuk mengambil makanan sesuai yang mereka inginkan.
Krisis Covid-19 juga memengaruhi kunjungan wisatawan di berbagai tempat. Padahal, pesona wisata Palembang sedang naik daun setelah pelaksanaan pesta olahraga antarnegara se-Asia dua tahun lalu. Setelah Asian Games 2018, wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Sumatera Selatan sepanjang Januari–Juli 2019 mencapai 9.886 kunjungan atau naik 51 persen daripada periode yang sama tahun lalu.
Kini, banyak tempat wisata yang sepi karena pandemi. Tempat-tempat wisata yang dulu dengan sukacita menyambut kedatangan tamu dihadapkan pada dilema kemungkinan terpapar virus dari tamu luar kota. Tim Kompas bahkan sempat ditolak ketika mengunjungi rumah bersejarah Baba Boentjit, Palembang. Di pintu masuk rumah itu tertulis bahwa pemilik rumah tidak menerima tamu karena ada pandemi Covid-19.
Di sisi lain, penurunan wisata ini memengaruhi pendapatan asli daerah. Kunjungan wisatawan di Kampung Wisata Al Munawar, misalnya, menurun drastis. Sebelum pandemi, sekitar 50 orang berkunjung ke tempat ini setiap hari kerja. Jumlahnya bisa mencapai ratusan orang saat akhir pekan. Kini, jumlah kunjungan menurun drastis sehingga kampung itu harus merumahkan beberapa orang yang sebelumnya bertugas sebagai tenaga administrasi.
Ahmad Syech, keturunan dari Al Munawar, menjelaskan, dulu tidak banyak orang berkunjung ke kampungnya. Menjelang Asian Games atau pada 2017 Kampung Arab dipromosikan sebagai salah satu tempat wisata sehingga orang-orang dari luar kota dan luar negeri datang berkunjung. Setelah sempat populer, kini kunjung wisata kembali menurun.
Padahal, menurut Ahmad, pemasukan dari wisatawan sangat berguna untuk membangun kampung, seperti untuk merawat rumah-rumah yang dijadikan cagar budaya. ”Sekarang, perawatan rumah dilakukan seadanya saja oleh orang-orang yang tinggal di rumah itu. Tidak ada bantuan dari pemerintah karena kami tahu situasinya serba sulit,” kata Ahmad Syech.
Umat yang datang di Klenteng Soei Goeat Kiong atau lebih dikenal dengan Klenteng Chandra Nadi, juga berkurang karena pandemi. Padahal, klenteng yang dibangun di pinggir Sungai Musi ini dalam hari-hari normal selalu kebanjiran umat yang datang beribadah. Kini, pekerja tidak terlalu sibuk. Sebagian mengisi waktu luang dengan duduk bersantai di depan klenteng. Beberapa pekerja secara rutin menyemprotkan cairan disinfektan.
Setelah kembali dari Palembang, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memutuskan kembali menerapkan pembatasan sosial berskala besar. Dengan aturan ini, aktivitas masyarakat kembali terbatas. Kemungkinan, orang-orang harus menunda atau membatalkan perjalanan yang sudah mereka rencanakan. Perlu waktu lama untuk menantikan kebangkitan sektor pariwisata.
Teringat ketika meninggalkan Palembang, beberapa pekerja di Klenteng Soei Goeat Kiong yang menjadi narasumber saya mengajak foto bersama. ”Foto bersama untuk kenang-kenangan, Ci. Mungkin akan lama bertemu kembali,” katanya. Kalimat itu merupakan harapan sekaligus menyimpan kenyataan bahwa tidak ada yang pasti di tengah pandemi.