Menyentil Keluarga ”daripada” Soeharto Lewat Sepatu
Pengalaman Wartawan Kompas, Andreas Maryoto, saat bertugas di Bandung. Maryoto mengungkap rencana penyeragaman sepatu nasional dan memancing reaksi banyak pihak sehingga Presiden Soeharto akhirnya membatalkannya.
Akhir tahun 1996, saya diterima sebagai calon wartawan Kompas. Saat itu, saya mulai mengikuti pendidikan wartawan di Kompas. Pendidikan itu dilaksanakan di Bandung, Jawa Barat. Pendidikan ini wajib bagi calon wartawan yang baru masuk. Pengajarnya adalah wartawan senior dan juga pengajar tamu. Kami diajar beberapa hal, terutama jurnalistik dan bahasa.
Tak lama setelah pendidikan itu, para calon wartawan mendapat surat penempatan. Saya ditempatkan di kota tempat saya mendapat pendidikan calon wartawan, yaitu Bandung. Jadi, saya tidak perlu pindah. Saya tidak menyangka ditugaskan di kota ini karena saya selalu ingin mendapat pos di luar Jawa. Tidak menyangka pula di kota ini, saya untuk pertama kalinya menyentil keluarga penguasa, tepatnya orang yang sangat berkuasa saat itu, yaitu keluarga ”daripada” Soeharto, lewat kisah sepatu sekolah.
Liputan sehari-hari di kota itu saya nikmati. Kota yang indah dan beragam tema liputan menjadi keasyikan tersendiri. Di kota ini pula, saya, wartawan bau kencur alias baru beberapa bulan bekerja, harus berhadapan dengan sebuah isu besar yang terkait dengan keluarga penguasa saat itu. Liputan pertama saya soal sebuah program bernama Kakak Asuh dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Barat.
Berita itu dimuat dengan inisial awal saya, yaitu QQ. Saat itu di Kompas sebelum menjadi wartawan tetap, inisial masih menggunakan dua huruf kembar. QQ itulah menjadi inisial saya sebelum kemudian mendapat inisial MAR ketika diangkat menjadi karyawan tetap.
Sebagai wartawan mula, yang kala itu disebut koresponden lepas, saya belum menerima gaji tetap. Penerimaan saya masih bergantung dari jumlah tulisan. Meski demikian, jumlah yang saya terima sering sangat besar dibandingkan dengan wartawan lain atau wartawan yang statusnya bergaji tetap karena di Bandung banyak sekali isu yang bisa diangkat. Jumlah berita saya lumayan banyak. Dengan model penggajian awal seperti itu, saya harus tekun dan sering mengirim berita agar dompet selalu tebal.
Satu per satu berita saya dapatkan dan mendapat tempat yang lumayan di halaman-halaman koran. Akan tetapi, kalau di koran lain ada berita heboh sementara di Kompas tidak ada, pagi-pagi saya dan beberapa wartawan mula harus diam dan tertunduk. Kepala Biro Jawa Barat Her Suganda (alm) sangat galak dan tentu langsung menegur kami para wartawan bau kencur. Belum lagi telepon dari kantor pusat Jakarta yang menanyakan, kenapa di koran A ada berita ini sementara di Kompas, kok, tidak ada? Pucat seharian kami.
Baca juga: Menonton Drama Penyelundupan BBM di Cilincing
Satu peristiwa pada Agustus 1997 yang membuat saya tertunduk dan diam adalah ketika koran kebanggaan masyarakat Jawa Barat, Pikiran Rakyat, membuat berita tentang rencana penjualan sepatu seragam untuk siswa sekolah dasar. Pagi itu saya langsung pening. Duh…pasti kena, nih!
Entah mengapa, Her Suganda kali ini tidak marah-marah. Bahkan, dia tidak menanyakan tentang berita sepatu itu. Akan tetapi, saya sendiri bingung mau melangkah. Kalau saya membuat berita ini keesokan harinya, malu sekali karena hanya sekadar melanjutkan isu milik Pikiran Rakyat. Muka mau ditaruh di mana? Wartawan lain pun akan tahu kalau kami cuma mengekor isu yang digarap koran lain.
Hari kedua dan hari ketiga, berita itu masih muncul di halaman dalam Pikiran Rakyat. Menariknya, berita dari koran itu menyebutkan beberapa sekolah yang juga diwajibkan membeli sepatu seragam, tetapi program itu dikira hanya untuk wilayah Jawa Barat saja, bukan program nasional.
Saya masih bingung mau mencari titik pijak yang tepat agar Kompas setidaknya tidak terlihat mengekor Pikiran Rakyat serta koran lokal lainnya yang mulai ikut memberitakan sepatu seragam. Menurut saya beritanya masih biasa-biasa saja alias belum ada perkembangan mencolok. Kalau tidak salah sempat sehari berita soal sepatu itu menghilang.
Baca juga: Pengalaman Dikejar Awan Panas Gunung Merapi
Hingga suatu hari ada undangan jumpa pers dari perusahaan produsen dan penyalur sepatu, yaitu PT Aryo Nusa Pakarti. Mereka mungkin telah membaca berita di Pikiran Rakyat dan terusik. Oleh karena itu, mereka ingin memberikan penjelasan kepada media. Saya datang ke acara itu tanpa semangat. Saya hanya ingin mendengarkan. Ibarat dalam pertandingan, kami telah dipermalukan oleh pesaing. Pikiran Rakyat telah melangkah jauh di depan.
Tak dinyana, saat jumpa pers, saya mulai mendapatkan sesuatu. Sesuatu yang, menurut saya, cocok diberitakan di Kompas dengan melihat dampak sepatu seragam itu secara lebih luas. Saya mencoba menggali dan bertanya mengenai program sepatu seragam itu secara lebih mendalam. Saya yang semula ogah-ogahan menjadi tertarik untuk bertanya lebih lanjut. Saya seperti menemukan emas yang sangat berharga dan bisa menjadi berita besar.
Saya langsung bergegas pulang ke kantor biro yang letaknya tidak jauh dari kantor Dinas Pendidikan dan Pendidikan Jawa Barat. Saya langsung mengetik bahan-bahan penjelasan. Hanya, saya mulai sadar. Saya tidak berani menulis secara vulgar. Seingat saya, judulnya datar-datar saja. Informasi penting bahwa program sepatu seragam itu tidak hanya di Jawa Barat, tetapi rencananya berlaku secara nasional tidak menjadi judul. Sebagai wartawan kemarin sore, saya tidak terlalu berani bermain-main dengan judul.
Baca juga: Menembus Hutan Mengendus Jejak Konflik Satwa
Sore itu, seperti biasa, calon isi berita didaftarkan ke desk Nusantara di Jakarta dan kemudian saya kirim tak lama setelah budgeting. Saya tidak terlalu memikirkan lagi soal berita itu hingga redaktur Nusantara di Jakarta menelepon saya dan menanyakan beberapa hal terkait berita itu. Redaktur itu ingin memastikan beberapa hal penting. Setelah itu saya duduk santai dan pergi ke kamar tidur yang ada di belakang kantor.
Alangkah kagetnya keesokan paginya, berita saya menjadi berita di halaman satu tertanggal 22 Agustus 1997 dengan judul ”Sepatu Pelajar Diseragamkan secara Nasional”. Di dalam berita itu disebutkan, penyeragaman sepatu tidak hanya untuk anak sekolah dasar, tetapi juga untuk SLTP dan SLTA. Uji coba dilaksanakan di Jawa Barat dan Jawa Timur. Sementara selama ini seragam sepatu kabarnya hanya untuk anak sekolah dasar. Editor di Jakarta telah mengubah judul berita saya hingga terkesan makin lugas dan berani.
Pikiran Rakyat yang beberapa hari memberitakan terus soal sepatu ini justru hanya membuat berita penjelasan dari perusahaan sepatu kemarin dengan porsi kecil dan di halaman dalam. Mungkin karena sekadar penjelasan dari perusahaan saja. Hari itu, saya sangat riang dan nafsu mengejar lanjutan berita mulai muncul.
Sehari setelah itu, berita rencana penyeragaman sepatu pelajar secara nasional mendapat tanggapan dari berbagai kalangan. Para orangtua siswa di Jawa Barat dan DKI Jakarta yang ditemui ataupun menghubungi Kompas meminta agar pemerintah membatalkan program itu. Kabarnya, pembaca bertubi-tubi menelepon redaksi mengeluhkan rencana itu. Alasan mereka, harga sepatu program nasional jauh lebih mahal daripada harga pasar. Mereka juga meragukan kualitasnya. Pada hari itu, redaksi menulis tajuk rencana terkait dengan penyeragaman sepatu dengan judul, ”Apa Betul, Apa Perlu Sepatu Pelajar Diseragamkan secara Nasional”.
Baca juga: Ketika Gas Air Mata Mengganas
Saya terus mencari perkembangan soal ini. Di tengah pencarian kabar terbaru, sontak saya ingat pesan beberapa senior, kalau kita ketinggalan berita, sebisa mungkin kita menyalip di tikungan. Intinya, jangan pasrah ketika koran lain melahirkan isu-isu penting. Pada saat yang tepat, kamu harus bisa menyalip mereka dengan kemampuan kamu. Itu salah satu pesan tambahan dari senior. Hari itu saya makin semangat untuk menggali soal program sepatu nasional ini.
Saya mengontak beberapa orang tokoh untuk mendapat komentar tentang program ini. Kemudian saya juga mencari informasi tambahan. Keesokan harinya berita program penyeragaman sepatu secara nasional kembali muncul dengan tambahan dari beberapa wartawan lainnya.
Beberapa hari berita soal penyeragaman sepatu muncul di halaman satu dan ada satu penulis opini yang juga membahas soal sepatu seragam ini. Isinya kurang lebih mendesak agar pemerintah membatalkan rencana penyeragaman sepatu secara nasional.
Satu yang konyol, beberapa kali membahas soal sepatu, tetapi tidak pernah muncul foto sepatu itu di media. Hingga suatu petang editor desk Nusantara, Djoko Purnomo (alm), yang akrab dipanggil Mas POM menelepon saya menanyakan foto sepatu. Sialnya, saat jumpa pers dengan perusahaan sepatu saya tidak membawa kamera, padahal mereka membawa beberapa contoh sepatu.
”Mas, maaf saya tidak punya foto sepatu itu,” ujar saya.
”Bagaimana pun caranya kamu harus dapat foto itu,” kata POM.
”Sebenarnya ada, Mas, tetapi punya wartawan lain,” kata saya.
”Kalau perlu beli, kamu beli. Kabari saya,” katanya.
Saya ingat ada fotografer yang ikut dalam jumpa pers. Fotografer itu adalah wartawan senior koran Gala, Yayat Wiryadi. Di koran Gala, foto sepatu justru tidak dimuat. Saya menelepon dia dan langsung diminta datang ke kantor redaksi Gala. Malam itu kami bertemu dan Yayat langsung memberikan foto itu. Ketika saya meminta foto itu, ia dengan senang hati memberikan. Saya mendapat beberapa foto sepatu yang bentuknya aduhai.
”Kang, saya harus bayar berapa?” tanya saya.
”Ah, sudahlah kamu bawa saja,” jawabnya.
Saya pun langsung ke kantor dan cepat-cepat memindai foto ini ke salah satu alat pindai foto yang sepertinya belum banyak dimiliki media lain. Malam itu foto terkirim ke Jakarta. Saya sempat mengontak Mas POM untuk menanyakan harga foto yang pantas untuk wartawan Gala. Ia menyebut angka dan menurut saya pantas. Beberapa hari kemudian saya memberikan uang itu kepada wartawan senior ini, meski sebenarnya ia tetap menolak. Ia sangat baik. Sekian tahun saya tidak bertemu, dia sebenarnya ingin bertemu saya, sekadar ingin mengobrol kisah sepatu ini.
Paginya, tanggal 26 Agustus, berita penyeragaman sepatu kembali muncul berikut dengan foto sepatu. Kompas sepertinya satunya-satunya media yang memuat foto sepatu itu meski bukan dari wartawannya sendiri. Untuk ukuran Kompas, berita soal sepatu itu tergolong berani meski cara penyajiannya tetap khas Kompas, yaitu tidak meledak-ledak. Kalem.
Setelah terjadi polemik beberapa hari, pemerintah mengumumkan membatalkan program sepatu itu. Presiden Soeharto melalui Menko Kesejahteraan Rakyat kala itu, Azwar Anas, yang bertemu dengan presiden di rumah Jalan Cendana seperti termuat di dalam Kompas halaman 1 tanggal 29 Agustus 1997 mengatakan, tidak menyetujui penyeragaman sepatu secara nasional.
Membaca keputusan pemerintah itu, saya bangga sekali. Wartawan kemarin sore telah ikut membuat perubahan kebijakan yang sangat mungkin berdampak kepada masyarakat umum karena tak semua orang bisa membeli sepatu. Dada agak mengembang setiap bertemu wartawan lain.
Beberapa hari setelah itu, ada berita lanjutan yang meminta agar tidak ada lagi kebiasaan ”surat sakti” atau rekomendasi dari pejabat untuk tujuan bisnis. Saat itu ”surat sakti” memang sering dipakai untuk memperlancar tujuan-tujuan bisnis dari beberapa orang.
Surat rekomendasi semacam itu makin memanaskan suasana. Iklim politik saat itu sebenarnya sudah panas terkait dengan penguasa yang sudah lama duduk di kursi pemerintahan sehingga soal sepatu ini menjadi isu politik. Sejumlah lembaga gerah dengan langkah-langkah yang dinilai aneh. Kritik pedas banyak dilontarkan oleh beberapa aktivis. Kabar yang kemudian berembus, program seragam sepatu ini terkait dengan salah satu bisnis cucu penguasa saat itu, Soeharto.
Keterkaitan keluarga penguasa itu memang tak pernah ada buktinya. Sebatas gosip sana-sini. Meski demikian, penyeragaman sepatu itu tidak mungkin hanya dilakukan oleh pebisnis murni. Muskil mereka bisa menjalankan program penyeragaman sepatu sendirian. Mereka pasti mendapatkan dukungan dari sejumlah pejabat karena kemudian terbukti muncul ”surat sakti” dari salah satu pejabat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memperlancar program sepatu seragam. Nah, siapakah yang meminta ”surat sakti” itu?