Liputan Perang Irak (3): ”Wisata Kuliner” di Tengah Kecamuk Perang
Saat perasaan takut akan suara ledakan dan peluru nyasar sedikit demi sedikit mulai menghilang, mulai terpikir untuk mencari tempat makan enak di sekitar Baghdad. Warga Irak tetap berjualan seolah tak ada perang.
Oleh
Mohammad Bakir
·5 menit baca
Terkena peluru nyasar atau ledakan bom menjadi risiko sehari-hari saat meliput Perang Irak. Belum lagi rasa prihatin melihat nasib warga setempat. Namun, di sela-sela ketegangan peliputan, wartawan Kompas, Mohammad Bakir, menyempatkan diri menggali khazanah kuliner lokal. Bukan sekadar untuk memuaskan lidah, melainkan juga untuk mengakrabi kultur setempat yang tecermin, antara lain, lewat kulinernya.
Setelah tinggal sepekan di Baghdad, perasaan galau mulai menimpa sebagian dari kami, 11 wartawan dari Indonesia. Saat perasaan takut akan suara ledakan dan peluru nyasar sedikit demi sedikit mulai menghilang, mulai terpikir untuk mencari tempat makan enak di sekitar Baghdad. Namun, selama sepekan berkeliling kota, belum ketemu satu pun tempat yang enak untuk nongkrong, kecuali di pedagang kaki lima pinggir jalan.
Nyaris semua pedagang makanan kaki lima menjual jenis makanan serupa. Daging cacah yang ditaruh di atas papan besi, lalu dipanaskan. Kira-kira mirip sate di Indonesia. Bedanya, daging sapi cacah di Baghdad disajikan dalam kondisi setengah matang. Itu pun kalau kita tidak minta nasi, daging setengah matang itu diberikan begitu saja, ditambah roti gandum yang sangat keras. ”Kalau rotinya sekeras ini, bisa buat melempar anjing,” komentar Mas Budiyana dari koran Pikiran Rakyat.
Sebenarnya, ada sebuah restoran yang layak untuk tempat makan dengan sajian beragam menu. Namun, harganya sudah di luar jangkauan kami. Tempat itu menjadi favorit hampir seluruh awak media Barat yang ditongkrongi sambil menyelesaikan sebagian pekerjaan. Jumlah mereka cukup banyak. Mereka juga memiliki persediaan uang yang cukup sehingga membeli makanan nyaris tanpa menawar.
Hotel Palestine tempat kami menginap tidak menyediakan makan pagi. Bahkan, air keran pun hanya mengalir pukul 05.00-07.00 pagi dan dua jam pada sore hari. Dari Indonesia, sebagian besar kami membawa mi instan, lengkap dengan dendeng, rendang, abon, atau ikan dalam kaleng (sarden). Tak heran jika pada pagi atau malam hari, kami lebih sering memasak sendiri mi atau nasi untuk dimakan bersama.
Namun, setelah persediaan menipis, keinginan untuk makan di luar tak terhindarkan. Saat itulah mencari tempat makan mulai serius dilakukan. Pernah pada suatu siang, kami mengunjungi tempat makan favorit awak media Barat, tetapi sesampai di sana makanan sudah habis. Entah siapa yang memprovokasi lebih dulu, kami pun pergi ke pasar untuk mencari lauk.
Di sebuah pasar terdekat dengan Hotel Palestine, kami melihat ayam potong dijual. Namun, setelah diskusi, di mana akan masak dan bagaimana bumbunya, akhirnya tidak tercapai kesepakatan untuk membeli ayam. Dari situ kami tahu kalau harga seekor ayam potong sekitar Rp 7.500. Akhirnya, lagi-lagi kami mampir di warung kaki lima.
Inilah hebatnya warga Irak. Meski kotanya porak poranda diduduki pasukan koalisi, warganya tetap saja berjualan di pinggir jalan, seolah tak ada perang. ”Kalau kami tidak jualan, mau makan apa. Saya jualan, ya, untuk menyambung hidup,” kata Ali Hakim, warga di kawasan Mansyuriah, kawasan elite di Baghdad.
Saya pun akhirnya punya warung langganan di kawasan dekat tempat kami menginap. Selain menyediakan nasi, di warung itu saya juga bisa mengambil minuman cukup banyak tanpa biaya tambahan.
Saya sedikit heran melihat kebiasaan orang Irak. Mereka tidak terbiasa minum air putih setelah makan. Mereka lebih senang minum kopi atau teh yang disajikan dalam cangkir kecil, mirip cangkir air zamzam kalau di Indonesia.
Diantar sopir taksi langganan, Said Ali, saya sempat mengunjungi pabrik roti di kawasan Kamsyarik, sedikit di luar kota Baghdad. Tiba di sana siang hari, sudah ratusan orang mengantre untuk membeli roti. Pembelian dibatasi hanya boleh dua bungkus per orang.
Seluruh pekerja pabrik roti ini berasal dari Irak. Namun, akibat ketiadaan tenaga, mereka hanya menjalankan satu mesin dari tiga mesin yang dimiliki. Setiap hari, pabrik ini memproduksi sekitar 400.000 roti. ”Kami membatasi pembelian per orang agar lebih banyak warga bisa mendapatkan roti,” ujar Marwan Hadi, penjaga di pintu pagar pabrik.
Kondisi restoran di Baghdad amat kontras dengan di Amman, Jordania. Saat perang di Irak mulai berkecamuk, banyak restoran cepat saji milik Amerika Serikat masih buka meski di bagian depannya ditempeli pengumuman: ”Tahukah Anda, bahwa restoran McDonald’s ini milik warga Arab dan dikelola oleh warga Arab”.
Kelabakan
Rasa syukur kami hidup di negeri tanpa perang amat sangat terasa ketika kami mampir ke rumah sakit (mustasyfa) mana pun di Baghdad. Seluruh tenaga kesehatan tak pernah berhenti menerima kedatangan pasien, baik yang luka maupun meninggal.
Suatu ketika, kami mengunjungi rumah sakit yang menjadi sasaran tembakan pasukan koalisi karena diduga menyembunyikan loyalis Saddam Hussein. Bertepatan kami tiba di sana, terdengar suara sirene meraung-raung. Di pelataran rumah sakit, para tenaga medis terus berteriak-teriak meminta bantuan kepada siapa pun yang bisa mengambilkan alat atau obat yang dibutuhkan.
Di RS Alawy, misalnya, kami mendapat keterangan bahwa setiap hari puluhan anak-anak masuk ke rumah sakit ini. ”Dua hingga tiga orang di antara mereka meninggal setiap harinya,” kata Mochtar Zaidi, dokter di rumah sakit ini.
Entah karena tekanan ekonomi atau kehabisan cadangan, RS Yarmuk dijarah. Penjarahan diduga dilakukan oleh loyalis Saddam Hussein. Rumah sakit ini pun kekurangan obat-obatan sehingga tidak menerima pasien rawat jalan. Beruntung, mereka segera mendapat bantuan dari beberapa LSM, termasuk dari Medical Emergency and Rescue Committee (MER-C) Indonesia.
Nasib sial menimpa para aktivis kemanusiaan dari Malaysia. Mereka membawa obat-obatan untuk disumbangkan di Baghdad. Menyewa mobil dari Suriah, mereka masuk ke Baghdad.
Padahal, hubungan Suriah dan Baghdad kurang bagus selama ini. Baru tiga-empat jam masuk Baghdad, mobil yang mereka tumpangi ditembaki oleh sekelompok orang. Akibatnya, beberapa aktivis sempat dirawat di rumah sakit di Baghdad.
Baru tiga-empat jam masuk Baghdad, mobil yang mereka tumpangi ditembaki oleh sekelompok orang.
Sebenarnya, tim dari MER-C sempat dihalangi saat hendak masuk Irak. Mereka membawa obat-obatan seharga lebih dari Rp 300 juta. Baru beranjak 150 kilometer dari Amman, tepatnya di kota Zarqa, mereka dicegat aparat setempat.
”Kami ditahan karena membawa obat-obatan. Mereka bilang kalau tidak membawa apa-apa, malah diperbolehkan masuk,” ujar dokter Sarbini, anggota tim MER-C.
Empat dokter dari MER-C hanya bertahan 24 jam di Baghdad. Setelah itu, mereka kembali ke Amman. Itu terjadi karena jumlah dokter di Irak sangat memadai sehingga kehadiraannya dirasa tidak efektif. Terlebih situasi di Baghdad yang makin memburuk membuat mereka harus keluar dari Irak.
”Kami ditempatkan di RS Al Kindi, di pusat kota Baghdad. Tetapi, jumlah dokter di sana sangat memadai. Ada 60 dokter umum, 15 ahli bedah umum, dan 10 ahli bedah tulang di RS Al Kindi,” ujar dr Joserizal Jurnalis dari MER-C.
Saya bertemu tim MER-C di Amman seusai mereka kembali dari Baghdad. Sementara saya baru akan menembus Irak, memulai peliputan di negeri yang tengah porak poranda dilanda perang. (Tamat)