Berdamai dengan Darah Korban Kecelakaan
Muncul pikiran tentang kondisi korban dan keluarganya. Air mata ini pun jatuh, sesak di dada rasanya. Sebelum memotret kendaraan yang ringsek, saya pun sejenak berdoa.
Foto utama halaman depan koran Kompas, 3 September 2019, masih membekaskan ketegangan. Di foto itu, tampak warga mengerumuni mobil hangus yang terlibat dalam kecelakaan beruntun di Tol Purwakarta-Bandung-Cileunyi (Purbaleunyi).
Foto tersebut menghadirkan imajinasi dahsyatnya tabrakan berantai sejumlah kendaraan. Di balik foto insiden mengerikan itu, ada pergulatan yang muncul saat meliputnya.
Sepanjang pengalaman pribadi saya, menyaksikan darah yang muncrat bukanlah hal biasa. Ketika melihat darah, tubuh ini menjadi lemas dan gemetar.
Karena itu, saya akan menghindari hal yang berhubungan dengan kecelakaan dan darah sebisa mungkin. Namun, pengalaman meliput sejumlah kecelakaan maut di jalan tol Purwakarta atau Subang memaksa diri ini terbiasa dan berdamai dengan ketegangan.
Saya ingat betul, Senin (2/9/2019) sekitar pukul 13.15, ponsel saya terus berdering. Saat itu saya baru saja tiba di rumah, setelah mengumpulkan bahan tulisan feature.
Telepon pertama datang dari seorang kawan media lain di Purwakarta, disusul Kepala Desk Nusantara Gesit Ariyanto, Kepala Biro Kompas Jawa Barat Cornelius Helmy, dan Wakil Redaktur Pelaksana Kompas Haryo Damardono.
Semua mengabarkan hal yang sama. Ada tabrakan beruntun yang melibatkan belasan kendaraan di Jalan Tol Purwakarta-Bandung-Cileunyi Kilometer 91, dari arah Bandung menuju Jakarta, sekitar pukul 13.00.
Sebagai wartawan yang belum lama bertugas di Purwakarta, saya tak mau gegabah untuk berangkat sendirian. Bisa-bisa justru tersesat dan membuang waktu.
Saya memutuskan menuju lokasi bersama teman media lain menggunakan motor. Kenapa motor? Sebab, jika menggunakan mobil, kami khawatir akan terlambat akibat adanya penutupan jalur di tol.
Waktu yang dibutuhkan ke lokasi sekitar satu jam. Kami melewati jalan berbatu dan bergelombang, dengan sisi kanan-kiri penuh rumpun ilalang tinggi. Inilah satu-satunya akses untuk mencapai titik kecelakaan. Selama perjalanan, bulu kuduk ini berdiri. Menyiapkan diri agar tak terlalu kaget dengan situasi di sana.
Kami tiba sekitar pukul 14.30. Sejumlah warga sudah berdatangan untuk menyaksikan suasana di lokasi tabrakan dari tepi jalan tol. Sangat ramai. Tampak sebuah truk pengangkut tanah terguling di tengah jalan dengan posisi melintang. Beberapa mobil remuk dan terbakar terlihat berada di sisi kiri jalan, selain mobil yang terlempar keluar dari jalur.
Kepulan asap tampak masih muncul dari beberapa kendaraan. Sebuah truk pengangkut sayuran yang terbakar, mengeluarkan aroma sedap paprika bakar.
Baca juga: Penuh Debar Mengemudikan ”Lead Car”
Muncul pikiran tentang kondisi korban dan keluarganya. Air mata ini pun jatuh, sesak di dada rasanya. Sebelum memotret kendaraan yang ringsek, saya pun sejenak berdoa.
Beberapa meter dari kendaraan-kendaraan hangus itu, petugas sibuk menepikan truk yang menabrak pembatas jalan. Saya mendekati kerumunan petugas. Mereka tengah berupaya memotong bagian depan truk untuk mengevakuasi sopir yang terjebak di dalamnya.
Saya tak mengira jika masih ada korban di sana. Saya mengikuti proses korban dikeluarkan hingga dimasukkan ke kantong jenazah oleh petugas. Ah, ada darah yang masih menetes.
Seketika saya langsung lemas dan gemetar, kepala pun terasa berat. Sementara proses evakuasi masih berjalan, saya menepi mencari tempat ”pelarian” sejenak.
Ponsel kembali berdering. Saya diminta segera mengirimkan berita kilas dan foto dari lokasi. Kalau boleh jujur, saat itu, saya kesulitan untuk menulis laporan untuk Kompas.id. Namun, meski masih syok, saya tetap menulis.
Dari lokasi, sinyal telepon seluler ternyata tidak lancar. Ketika sinyal membaik, berita akhirnya terkirim lewat pesan Whatsapp kepada Kepala Biro Kompas Jawa Barat Cornelius Helmy. Bukan lewat kanal khusus seperti seharusnya.
Baca juga: Stigma Mendorong Saya Meliput tentang Prostitusi
Selanjutnya, editor desk Nusantara menelepon saya terkait jumlah dan posisi kendaraan sebagai bahan untuk membuat infografis kronologi kecelakaan itu.
Tentu belum ada rilis resmi yang detail karena pihak kepolisian masih memproses data di lapangan. Tak mudah menyatukan berbagai potongan peristiwa itu.
Saya pun meminta penjelasan detail dari Kepala Satuan Lalu Lintas Polres Purwakarta Ajun Komisaris Ricky Adi Pratama. Saya catat semua dalam buku kecil dilengkapi dengan sketsa kasar.
Setelah foto dan informasi terkumpul, saya bergegas menuju Rumah Sakit MH Thamrin Purwakarta. Sekitar pukul 18.20, saya menemui salah seorang korban yang mengalami luka di kepalanya, Subana (40).
Luka di tangan kanannya masih mengeluarkan darah dan baunya begitu merebak. Ternyata saya mengobrol dengan sopir truk pengangkut tanah yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka dalam insiden ini.
Baca juga: Jatuh Terjengkang Saat Liputan Maraton
Subana bersama beberapa pengemudi truk tanah lainnya berangkat dari Cianjur menuju Karawang. Salah satunya, Dedi H (45). Sebelum kejadian, Dedi menyalip truk Subana dengan kecepatan tinggi. Subana mengatakan, setelah itu Dedi menelepon dirinya dan mengatakan rem truknya blong.
Subana yang berniat menyusul Dedi dengan niat menolong kemudian memacu truknya dengan kecepatan tinggi. Saat melintasi jalan menurun, dia juga kehilangan kendali dan tidak dapat mengontrol rem truknya. Muatan truk yang melebihi kapasitas membuat upaya mengerem bertambah sulit.
Sebelum itu, ternyata truk Dedi lebih dulu terguling di badan jalan tol. Lima kendaraan di belakangnya berhenti. Truk Sabana yang meluncur tanpa kendali menabrak deretan kendaraan di depannya yang berhenti dan menyebabkan kecelakaan beruntun. Enam mobil pun terbakar (Kompas, 3/9/2019).
Permisi
Pengalaman kedua meliput kecelakaan terjadi di Tol Cikopo Palimanan (Cipali), Subang, Jawa Barat. Meski tidak melihat langsung suasana pasca-kecelakaan di lokasi kejadian, perasaan lemas dan gemetaran tetap muncul saat melihat darah yang menempel di kendaraan.
Bagian depan bus Sinar Jaya remuk, sedangkan bagian kanan badan bus Arimbi penyok, kaca sampingnya pecah. Pemandangan itu saya lihat di Pos Unit Patroli Jalan Raya (PJR) Tol Cipali di Subang, tempat kendaraan-kendaraan yang mengalami kecelakaan dibawa.
Baca juga: Bergulat dengan Bau Menyengat di Pesisir Karawang
Tabrakan terjadi Kamis (14/11/2019) saat bus PO Sinar Jaya yang dikemudikan Sanudin (42) melaju dari arah Cikopo menuju Palimanan. Di lokasi, bus oleng ke kanan, menerabas median jalan, lalu masuk ke jalur berlawanan.
Dari arah berlawanan, datang bus PO Arimbi Jaya Agung. Tabrakan pun tak terhindarkan. Tujuh orang tewas dalam insiden ini.
Saat hendak mengambil foto di sekitar bus, ada seorang bapak yang mengingatkan saya untuk tidak mendekati bus sendirian. Dia mengatakan, ada serpihan tubuh korban yang masih menempel di badan bus. ”Jangan lupa permisi dulu, Neng. Bau anyir darah masih tercium, lho,” kata bapak itu.
Saya pun spontan membalas sapaan mereka sambil bergurau, ”Barangkali ada yang mau ikut menemani saat mengambil foto?” Namun, mereka memilih untuk melihat dari kejauhan saja. Akhirnya, saya berjalan ke bus itu seorang diri.
Baca juga: Geleng-geleng Dibuai Diva Tarling Dangdut Pantura
Sebelum mengambil gambar, saya berdoa terlebih dulu, kemudian meminta izin. ”Permisi, saya potret dulu, ya. Maaf mengganggu dan mohon kerja samanya,” ucap saya. Boleh percaya atau tidak, meski mereka telah tiada, sebaiknya tetap memperlakukan mereka seperti orang (nguwongke).
Tak berselang lama, Minggu (1/12/2019) sekitar pukul 05.00, kecelakaan tabrak belakang terjadi di Tol Cipali. Enam orang tewas akibat kecelakaan tabrak belakang di ruas tol itu. Siang itu, saya langsung memacu motor sejauh 50 kilometer menuju kantor unit PJR Tol Cipali di Subang.
Kali ini saya meninjau kendaraan tidak sendirian. Ada seorang petugas satpam yang sedang patroli mengecek kendaraan yang hancur setelah kecelakaan itu. Di bagasi mobil itu, ada tumpukan karung beras, mungkin oleh-oleh untuk keluarga korban.
Saat kami melihat dari dekat, bekas darah masih menempel pada jok kursi mobil itu. Namun, kali ini saya tidak selemas dulu. Agaknya sudah mulai terbiasa dan berdamai dengan ketegangan ini.
Baca juga: Terkesima Xanana Gusmao nan Flamboyan
Sepoi angin terasa berbeda di lokasi itu. Seolah embusannya membawa pesan tersendiri. Sebuah pesan yang tak mungkin tersampaikan. Bisa jadi perjalanan itu dilakukan untuk pulang kampung demi bertemu keluarga, perjalanan dinas, ataupun tujuan lainnya. Namun, semua terhenti begitu saja dan menjadi misteri Ilahi.
Memang tak ada yang tahu kapan, di mana, dan bagaimana seseorang meninggal. Pengalaman meliput kecelakaan di tol ini kian membukakan mata saya untuk selalu bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Juga berani untuk menepis semua ketegangan diri demi mengabarkan informasi yang penting.