Asian Games 2018 mewariskan sarana olah raga kelas dunia untuk kota Jakarta, yaitu Velodrome Rawamangun. Velodrome yang dirancang oleh arsitek spesialis Velodrome Ralph Schuermann dari Jerman itu, bukan hanya memenuhi standar dunia, tetapi juga dianggap sebagai salah satu velodrome terbaik di dunia.
Lintasan balap (trek)-nya yang menggunakan kayu khusus dari Siberia, dengan ukuran yang berpresisi sangat tinggi, serta para pekerja langsung dari Jerman, membuat trek sangat "mulus" untuk para pebalap. Akan tetapi yang membuat Velodrome Rawamangun itu lebih unggul dari velodrome kelas dunia di tempat lainnya, adalah sirkulasi udara di dalam velodrome itu yang dibuat memutar dari bawah ke atas, atau vertikal.
"Dengan aliran udara seperti itu, maka tidak ada pengaruh sama sekali kepada para pebalap. Dan untuk saat ini, velodrome Rawamangun inilah satu-satunya di dunia yang punya aliran udara seperti itu. Di tempat lain, aliran udaranya biasanya memutar horisontal, sehingga cukup berpengaruh terhadap para pebalap," jelas Ketua Umum PB ISSI Raja Sapta Oktohari.
Berada di dalam velodrome yang dibangun dengan menghabiskan biaya sekitar 650 miliar itu, kita mungkin merasa seperti tengah berada di tempat lain. Semuanya serba rapih, bersih, dan tertata baik. Tempat duduknya pun nyaman dan dari kursinya para penonton dengan jelas bisa menyaksikan aksi para pebalap di seluruh bagian trek.
Tidak mengherankan jika pada perhelatan Asian Games 2018 dan Asian Para Games 2018 lalu, kursi-kursi penonton terisi nyaris penuh. Mereka membayar untuk bisa menonton di dalam velodrome itu, meski harga tiketnya relatif tidak mahal, yaitu antara Rp 50.000 sampai Rp 100.000.
"Enggak rugi nonton di sini, malah asyik. Gedungnya bagus banget. Saya seperti sedang berada di negara lain. Nyaman banget di dalamnya," ungkap Lidyastuti, salah seorang ibu yang sengaja datang dari Cibubur ke Rawamangun untuk menonton balap sepeda trek Asian Para Games 2018 lalu.
Gairah Para Atlet
Kondisi Velodrome Rawamangun yang megah itu juga berpengaruh positif kepada para atlet. Mereka sangat bergairah untuk mengukir prestasi terbaik di velodrome kebanggaan Indonesia itu dan memuji velodrome yang disampaikan Schuermann sendiri sebagai velodrome terbaik di Asia pada saat ini dan juga salah satu yang terbaik di dunia.
Bahkan saat perhelatan Asian Para Games 2018, mantan pebalap motor yang kemudian beralih menjadi atlet balap sepeda setelah mengalami kecelakaan yang membuatnya kehilangan satu kakinya, Muhammad Fadli Imammudin, menorehkan tinta emas dengan meraih medali emas di nomor Individual Pursuit Putra kelompok C4. Para penonton pun larut dalam kegembiraan besar, apalagi setelah Fadli mendatangi istri dan keluarganya yang menonton di pinggir trek.
Yang lebih menyenangkan, saat perhelatan Asian Para Games 2018 lalu, para penonton bahkan bisa langsung ikut menari di saat jeda perlombaan, dengan dipandu para pertugas. Suasana kebersamaan langsung terlihat di velodrome itu, karena sejumlah atlet asing pun ikut menari dan bergembira bersama puluhan orang lainnya. Penulis pun tak kuasa menahan godaan, juga ikut larut menari bersama mereka.
Adanya atraksi di sela-sela pertandingan itu sudah selayaknya dibiasakan agar penonton lebih menikmati pertandingan-pertandingan olah raga meski harus membayar. Hal seperti itu sudah biasa dilakukan pada perhelatan liga bola basket NBA di Amerika Serikat. Dampaknya, pertandingan basket di sana hampir selalu penuh dengan penonton.
Yang pasti adanya penonton berkelas dunia di Rawamangun menjadi babak baru bagi dunia olah raga balap sepeda Indonesia. Sudah sepantasnya bila di tempat itu banyak digelar pertandingan balap sepeda yang dikemas dan dipadu dengan atraksi hiburan. Dengan demikian, Velodrome Rawamangun diharapkan mampu menarik kedatangan publik untuk menyaksikan kejuaraan-kejuaraan di tempat itu. Sayang sekali jika velodrome yang sudah dibangun dengan biaya sangat besar dan membutuhkan biaya pemeliharaan ratusan juta rupiah per bulan itu, dibiarkan menjadi arena olah raga yang sepi penonton.