Nyaris Tenggelam di Labuan Bajo
Ketika berada di alam terbuka, jangan meremehkan setiap langkah kaki. Berhati-hatilah selalu dan kenali kemampuan diri. Lengah sedikit saja dapat mengundang bencana. Itu pelajaran berharga yang didapat sepulang bertualang dari Labuan Bajo, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Minggu keempat September 2018, harian Kompas menugaskan saya berangkat ke Labuan Bajo. Kami memutuskan untuk memenuhi undangan dREAMSCAPE Travel Network, sebuah agen perjalanan wisata luxury yang biasa melayani trip wisata bagi para pemilik perusahaan dan CEO dalam dan luar negeri.
Perjalanan itu menaiki yacht Prana by Atzaro. Sebuah kapal pesiar mewah dengan tarif sewa (carter) sekitar 14.000 dollar AS sekitar Rp 210 juta per malam.
Wisata Labuan Bajo adalah wisata bahari, dari menikmati pantai hingga menjelajah keelokan bawah laut yang tak terkira indahnya.
Sebagai ”orang gunung”, tentu karena saya bermukim di Kota Malang, Jawa Timur, saya tertantang untuk menjelajahi panorama bawah laut Labuan Bajo.
Senin (17/9/2018), saya mulai menyelam di permukaan (snorkeling) di perairan Pulau Sebayor Kecil. Karena baru pertama kali, pengalaman itu cukup menegangkan sekaligus mengasyikkan.
Bersama seorang teman, yang ternyata tidak terlalu ahli, kami bersama-sama menikmati keindahan bawah laut Labuan Bajo dengan beberapa kali berpegangan tangan. Indah sekali alam di Labuan Bajo.
Hari kedua, di sekitar Makassar Reef, yacht kembali berhenti. Agenda utama hari itu adalah fun diving, yakni aktivitas menyelam di perairan dangkal. Diving ini biasanya diikuti oleh penyelam pemula.
Awalnya, saya memutuskan tidak akan ikut. Namun, tergiur dengan ajakan empat orang lainnya, saya akhirnya memberanikan bergabung. Saya berpikir toh nanti dapat berpegangan tangan dengan kawan-kawan lainnya.
Persiapan diving dimulai. Dua instruktur diving menemani kami. Mereka menjelaskan perlengkapan dan tata cara diving. Entah karena instrukturnya sangat menyenangkan, atau karena tidak begitu paham diving, saya tidak banyak bertanya. Dan, itulah awal dari petaka.
Saya bahkan sama sekali tidak bertanya bagaimana naik ke permukaan lagi setelah menyelam cukup dalam. Apalagi, tubuh ini ditambahi pemberat (karena bobot tubuh saya terlalu ringan) untuk dapat menyelam.
Saya bahkan sama sekali tidak bertanya bagaimana naik ke permukaan.
Saya mengira akan selalu bersama-sama dalam satu grup. Dengan demikian, nantinya tinggal menunggu instruksi.
Dengan riang, dan sempat foto-foto sebelum turun dari yacht, kami naik jet ski mendekati pantai. Kami berlima diminta mencoba peralatan dan membiasakan diri dengan laut. Semuanya berjalan begitu normal.
Kami pun dibagi dua kelompok. Saya masuk kelompok kedua, bersama dua orang lain, yang sudah sering menyelam dengan ditemani seorang instruktur. ”Ayo kita diving,” ujar sang instruktur.
Bersama instruktur, saya langsung meninggalkan tepi pantai dan mulai masuk ke kedalaman laut. Aneka karang, ikan, dan warna-warni pasir laut terlihat jelas.
Meski tidak saling berpegangan, dua kawan lain masih tampak menyelam tidak jauh dari posisi saya. Meski lambat laun, mereka terlihat menjauh. Instruktur selam kami pun memutuskan mengejar seorang kawan yang terus meninggalkan kami. Kami akhirnya terpisah.
Semula, saya menyelam cukup stabil sambil melihat keindahan karang di kedalaman 3 meter. Namun, tiba-tiba arus laut menyeret saya ke belakang.
Kini, saya seakan berada di ujung tebing di mana sisi kiri saya tampak seperti cekungan dalam gelap. Warna pasir dan air laut dalam cekungan itu biru gelap. Tidak lagi terang seperti pasir putih di bawah kakiku, di ujung tebing. Sialnya, saya mulai jatuh ke cekungan itu!
Mencegah jatuh makin dalam, saya mengandalkan kekuatan kaki untuk bertahan. Namun, saya hanya manusia kecil di tengah lautan mahaluas sehingga tubuh ini makin terseret menjauh, bergulung-gulung, dan semakin turun ke kedalaman laut.
Kaki kiri saya kemudian mulai kram, napas mulai tak teratur, dan air laut pun mulai terminum. Dan yang menakutkan, saya sendirian.
Dan yang menakutkan, saya sendirian.
Sekali dua kali, saya masih dapat mengusir air laut dengan menekan regulator di mulut sesuai penjelasan di awal. Namun, situasi mulai kacau. Saya mulai kehilangan kendali.
Tangan saya melambai-lambai meminta tolong. Walau demikian, tidak ada yang melihat. Samar-samar, saya melihat seseorang tampak beberapa meter di atas saya tapi dia tak juga menolong. Belakangan, saya tahu kalau dia ternyata tidak dapat turun menyelamatkan saya karena bobot tubuhnya kurang untuk menyelam!
Saat itu, saya sempat berpikir apa yang dapat dikerjakan? Persoalannya, tidak ada peluit, tak ada lampu darurat, dan di dalam air tidak memungkinkan untuk berteriak. Sempat pula terlintas dalam pikiran, apakah ini akhir perjalanan hidup saya?
Namun, saya belum mau menyerah. Dalam hitungan detik, saya membiarkan arus membawa saya sambil mencoba menenangkan diri dan berhenti minum air laut.
Tiba-tiba terlihat di kejauhan tiga penyelam. Untungnya, entah mengapa, arus laut membawa saya mendekat ke arah mereka.
Ketika makin mendekati para penyelam itu, justru saya merasa panik. Mungkin, karena ingin sesegera mungkin menggenggam tangan mereka. Saya gerak-gerakkan tangan untuk menggapai mereka.
Di satu waktu, saya malah justru melepas regulator di mulut. Kenapa tindakan saya begitu konyol? Ketika itu, saya ingin mengeluarkan air asin dari dalam mulut. Tapi justru air laut masuk lebih banyak ke dalam mulut.
Ketika saya memperlihatkan gerakan minta tolong, seorang perempuan bule mencoba menenangkan saya. Tidak lama kemudian, saya merasakan ada sesuatu ditekan (dalam peralatan di tubuh saya), dan tubuh saya meluncur ke atas bersamaan dengan riak dan gelembung tak beraturan.
Akhirnya, saya sampai di permukaan. Dengan cepat saya lepas masker dan menghirup udara dalam-dalam. Beberapa orang membantu saya melepas peralatan dan menarik saya ke atas jet ski. Di sana, saya muntah berkali-kali hingga lemas.
Saya lihat instruktur sudah bersama saya. Dia berkata telah membantu saya kembali ke permukaan. Katanya, saya terbawa arus laut hingga kedalaman 14 meter.
Insiden itu menghebohkan seisi kapal. Mereka memberi saya oksigen, menyelimuti dan membungkus tubuh saya dengan semacam plastik aluminium foil. ”Biar hangat,” kata mereka.
Saya juga dibawa ke RS Siloam dengan naik jet ski selama 20 menit perjalanan menuju dermaga. Prosedur standar yang dijalankan kru kapal patut diacungi jempol.
Sekembalinya dari rumah sakit, saya kembali ke kapal. Pelukan segera menyambut saya. Satu per satu orang menanyakan keadaan. Panitia meminta saya pindah kamar tidur supaya dapat diawasi semalaman. Setabung oksigen besar disiagakan di sisi tempat tidurku. Saya tertidur pulas hingga pagi hari.
Ketika membuka mata, ternyata mentari mulai tinggi. Hari ketiga di atas kapal ini sekaligus akan menjadi hari terakhir saya menikmati kemewahan berpesiar.
Hari terakhir ini dimulai dengan mengikuti kelas yoga, sarapan bersama-sama, dan menengok konservasi komodo dari Loh Buaya, Pulau Rinca sisi utara.
Sepanjang hari, saya tak lepas dari pertanyaan semua orang terhadap kondisi kesehatan saya. Betapa baik dan perhatian mereka semua.
Waktu berpisah pun tiba. Kami berpisah dengan pelukan dan saling bertukar nomor telepon. Semua berharap dapat bertemu dan berkumpul lagi suatu saat nanti.
Saya pun pulang dengan membawa pengalaman berharga. Di setiap kebahagiaan saat meresapi alam, ternyata selalu ada ancaman mengintai. Jangan pula nekat menyelam bila kemampuan serba terbatas. Dan, yang terpenting, sudah saya buktikan bahwa air laut rasanya asin....