Beberapa Hari Bersama Jusuf Kalla di New York
Meliput Wakil Presiden Jusuf Kalla saat menghadiri serangkaian pertemuan di Sidang Umum ke-73 Perserikatan Bangsa-Bangsa di Markas Besar PBB sepanjang 24-27 September 2018 lalu memberi beberapa pengalaman. Saya pun menyaksikan sisi-sisi santai dan humanis dari seorang Jusuf Kalla.
Beberapa wartawan termasuk saya tiba di New York, Sabtu (22/9/2018) petang, sedangkan Wapres Kalla atau JK tiba keesokan harinya. Kesibukan baru mulai Senin (24/9/2018) pagi untuk KTT Perdamaian untuk Memperingati 100 tahun Nelson Mandela (Mandela Peace Summit) di Markas PBB.
Untuk menuju Markas PBB, kami pun menempuh jalan memutar. Penyebabnya adalah, begitu banyak jalan diblokade menuju Markas PBB. Pagar-pagar besi berkaitan disebar di mana-mana. Polisi tampak di seantero kota.
Sepanjang pagi, televisi New York sudah menyiarkan jalan-jalan yang sudah diblokade. “Welcome to gridlock,” seloroh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi ketika bertemu di Markas Besar PBB.
Jalan menuju pintu depan Markas PBB misalnya hanya bisa dilalui para kepala negara, wakil kepala negara, kepala pemerintahan, dan rombongan terbatas. Diplomat atau delegasi biasa masuk melalui antrean terpisah. Jalur paling kiri adalah jalur untuk wartawan. Polisi PBB pun memeriksa ketat kartu identitas.
Memasuki Markas PBB, dibutuhkan seorang petugas penghubung dari setiap perwakilan tetap negara bersangkutan. Erma Rheindrayani dari Perwakilan Tetap RI (PTRI) untuk PBB pun sangat gesit mengawal kami ke mana-mana. Dia hafal tiap sudut Markas PBB dan mengenal hampir semua polisi PBB.
Kali pertama, saya memilih liputan dari balkon untuk fotografer. Di balkon itu, pengambilan foto lebih mudah meski letaknya di samping ruang sidang. Kelemahannya tak ada earphone untuk mendengar terjemahan dari pidato-pidato berbahasa Inggris atau bahasa lain.
Sementara balkon untuk wartawan tulis kira-kira persis di bagian atas belakang para pemimpin negara. Tidak heran bila polisi-polisi PBB menjaga ketat balkon bagian belakang ini.
Bahkan, bila ada wartawan ribut atau berdiri mengambil foto maka polisi PBB segera mendekat dan meminta wartawan atau siapapun itu untuk segera keluar.
Bila tampak menjengukkan kepala ke bawah ke arah para pemimpin negara, polisi PBB pun segera mendekat dan menanyakan apa yang dicari. Setelah itu, polisi PBB memberikan peringatan keras.
Setelah itu, polisi PBB memberikan peringatan keras.
Kewaspadaan itu wajar. Sebab, di bawah balkon terdapat jajaran pemimpin negara. Tentu, polisi PBB bertanggung jawab penuh atas keselamatan semua peserta sidang. Kendati para pemimpin negara dikawal pasukan pengawalnya sendiri, jumlahnya terbatas.
Siangnya, kami ‘dikawal’ ke kafe tempat para diplomat dan pemimpin negara makan siang, minum kopi, mengobrol dan berbaur. Di sini, kami bertemu dengan Pak Jusuf Kalla, Menlu Retno, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, dan Kepala PTRI Dian Triansyah Djani.
Langsung saja kami mewawancara Pak JK dan Bu Puan.
Seusai wawancara, Pak JK melangkah ke toko buku PBB. Kebetulan, ada jeda waktu sampai gilirannya menyampaikan pidato di pertemuan berikut, Panel Tingkat Tinggi Konsil Ekonomi Sosial tentang Pembiayaan Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan. Pak JK akhirnya memilih sepuluh buku.
“Kalau saya pilih buku, saya lihat dulu tahun terbitnya selain judul dan daftar isi. Sebab, kita perlu selalu belajar," tutur Pak JK, yang biasanya menyisihkan waktu di pagi dan malam hari untuk membaca.
Saya ingat, pada satu acara di Perpustakaan Nasional, Pak JK menceritakan kebiasaannya membaca menjadi modal untuk menyelesaikan berbagai konflik.
Ketika menangani konflik di Poso dan Aceh, Pak JK membaca semua buku yang berkaitan dengan wilayah tersebut. Bukan hanya buku sejarah, antropologi, atau sosiologi wilayah tersebut, bahkan sastra dari tempat itu.
Ketika menangani konflik di Poso dan Aceh, Pak JK membaca semua buku.
Sebab, kata JK, memahami semua hal terkait latar budaya dan sejarah sangat membantu dalam menangani konflik.
Gerimis
Selasa (25/9/2018), menjadi hari yang lebih sibuk karena Sidang Umum PBB secara resmi dibuka. Semua pemimpin negara dan organisasi internasional hadir. Termasuk Presiden Donald Trump yang kerap menimbulkan kontroversi.
Menjelang jam 6 pagi, kami para wartawan sudah berjalan kaki dari hotel ke Markas PBB. Meski ketika itu, hujan rintik-rintik tak ada hentinya.
Benar perkiraan Erma, kendati hujan, wartawan sudah antre untuk masuk ke balkon tempat foto maupun balkon tempat wartawan. Untung saja, kami tetap bisa masuk untuk meliput pembukaan Sidang Umum PBB di General Assembly Hall.
Karena hujan, Pak JK dan rombongan terbatas akhirnya naik mobil. Biasanya, Pak JK memilih berjalan kaki untuk menuju Markas PBB.
Saat sibuk memotret di balkon fotografer, seorang petugas meminta kami keluar balkon untuk bergantian dengan fotografer lain. Biasanya, petugas memberikan waktu tujuh menit. Pola bergantian seperti ini jarang dilakukan di Indonesia.
Namun ternyata, tidak semua fotografer hanya ingin meliput pidato Sekjen PBB Antonio Guterres maupun Presiden Sidang Umum ke-73 Maria Fernanda Espinosa Garces. "Nanti, setelah (Donald) Trump,” ujar para fotografer bersikukuh.
Kenyataannya, Presiden Trump telat datang. Baru setelah Presiden Ekuador Lenin Moreno berpidato, Trump muncul dan kembali pidatonya mengundang gerah.
Sebab, bukan hanya dia mengklaim dua tahun pemerintahannya lebih baik ketimbang semua pemerintahan pendahulunya, tetapi dia juga mengatakan Amerika Serikat tidak akan membiayai PBB lebih dari 25 persen. Amerika juga tidak akan berpartisipasi dalam perjanjian global terkait migrasi.
Adapun JK baru mendapat jadwal berpidato di Sidang Umum PBB pada Kamis (27/9/2018) sore. Jadi, seusai pembukaan Sidang Umum PBB, JK menggelar pertemuan bilateral. Pertama, dengan Ratu Maxima utusan PBB untuk inklusi keuangan. Setelahnya, pertemuan bilateral dengan Wapres AS Mike Pence.
Pertemuan bilateral dengan Ratu Maxima dilakukan di bilik-bilik sempit di salah satu bagian Markas Besar PBB. Ukuran bilik bersekat setinggi manusia ini berukuran sekitar 3x3 meter. Bilik-bilik ini pun digunakan berbagai delegasi negara secara bergantian.
Pertemuan bilateral kedua, dilangsungkan hanya beberapa menit setelah pertemuan dengan Ratu Maxima.
Lokasinya pun bukan di Markas Besar PBB, tetapi di Hotel Lotte New York Palace. Kami wartawan tak bisa meliput karena terdapat berbagai acara di Markas Besar PBB. Adakalanya, wartawan memang tidak dapat bebas dalam memilih liputan karena berbagai keterbatasan.
Pak JK Antre
Bagi Pak JK, ini ketiga kalinya dia memimpin delegasi Indonesia di Sidang Umum PBB. Ketika ada waktu luang sedikit saja, banyak hal dapat dilakukannya.
Di satu pagi, misalnya, Pak JK sarapan bersama Imam Islamic Center New York Syamsi Ali, yang kelahiran Bulukumba, Sulawesi Selatan. Di pagi lainnya, Pak JK sarapan bersama dua mantan tokoh Organisasi Papua Merdeka, Nick Messet dan Franzalbert Joku.
Seusai sarapan, terkadang kami mewawancara Pak JK mengenai pertemuan-pertemuan yang dilakukannya maupun isu-isu lain di tanah air.
Ketika di New York, Pak JK memang terbiasa sarapan di ruang makan hotel bersama delegasi Indonesia dan delegasi negara lain. Pak JK pun ikut mengantre mengambil makanan yang disajikan prasmanan.
Soal mengantre, hal ini pun dilakukan JK saat makan siang di kantin PBB. Semua delegasi baik para pemimpin negara, menteri, staf, wartawan semua berbaur tanpa batas memilih makanan di berbagai konter penjual makanan.
Biasanya, antrean paling panjang terjadi di konter makanan hangat berupa steak daging dan ikan. Setelah itu, kami mengantre di kasir dan membayar makanan minuman yang dipilih.
Pak JK ikut antre saat mengambil makanan dan membayar makan siangnya.
Pak JK tak terkecuali. Beliau ikut mengantre saat mengambil makanan dan membayar makan siangnya. Setelah itu, Pak JK dan rombongan makan bersama di meja-meja dan kursi yang tersedia. Di kantin itu, semua setara.
Di luar Markas Besar PBB, keamanan diserahkan ke berbagai petugas keamanan. Polisi dari New York Police Department berjaga-jaga di berbagai sisi jalan.
Di hotel-hotel tempat para kepala negara menginap, terlihat pula prajurit tentara dari berbagai negara. Umumnya, mereka memakai setelan jas, alat komunikasi, dan tentu bersenjata. Hanya pin bergambar lambang negara bagian masing-masing yang menandakan asal mereka yang tampak di salah satu kerah jas.
Seperti di hotel tempat JK menginap, puluhan prajurit tampak di berbagai sudut. Mulai depan hotel, lift, sampai di lorong-lorong koridor hotel.
Maklum, hotel itu tak hanya tempat Wapres Kalla menginap, tetapi ada beberapa pemimpin negara lain seperti dari Lesotho, Belize, Guatemala, Honduras, Trinidad Tobago, dan Kepulauan Solomon.
Luang
Ketika ada waktu luang, Pak JK juga menyempatkan berjalan kaki dan menikmati New York. Pak JK sempat berjalan-jalan ke Grand Central Station dan Central Park. Dua cucunya, Mashita dan Fikri, yang tinggal di London dan ikut ke New York pun mengiringi.
Di Central Park, JK bahkan sempat jajan wafel seharga 7 dollar AS sambil bercanda.
Bahkan, dia sempat menyampaikan teka-teki kepada juru Bicaranya Husain Abdullah. ”Kendaraan transportasi apa yang paling mahal di sini?” tanyanya.
Tak ada jawaban, Pak JK pun menjawab sendiri. Menurutnya, becak adalah kendaraan paling mahal di New York. ”Coba liat itu, 3 sampai 4 dollar AS per menit. Kalau 1 jam tentu 180 dollar AS,” katanya.
Pada hari Rabu (26/9/2018) siang, Pak JK juga berjalan kaki menuju Markas PBB ditemani kedua cucunya itu. Sambil menjaga kedekatan dengan para cucu, JK memberi kesempatan pada mereka untuk mengenal PBB lebih dekat.
Beberapa hari bersama Pak JK di New York, kami pun berkesempatan sedikit lebih banyak melihat kebiasaan dan sisi-sisi manusiawi dari seorang Jusuf Kalla.