Penjelajahan ”Kompas” di Tatar Sunda demi Angklung
Awal September 2018, Tim Ekspedisi Alat Musik Nusantara menjelajah ke sejumlah tempat di Jawa Barat dan Banten untuk menguak berbagai hal tentang angklung. Apalagi, bagi masyarakat Sunda, angklung rupanya tak sekadar alat musik.
Makna angklung bagi masyarakat Sunda sangat agung karena dalam sejarahnya sangat dekat dengan ritual padi yang merupakan saka guru masyarakat agraris.
Karena dalam peliputan ini ada empat titik yang harus kami kunjungi, Tim Angklung akhirnya dibagi dua. Tim pertama terdiri dari Nawa Tunggal (reporter) dan Rafni Amanda (grafis), dibantu Abdullah Fikri Ashri, reporter yang bermarkas di Cirebon, dan Samuel Oktora, reporter yang bermarkas di Bandung. Tim pertama ini meliput angklung di Kuningan dan Bandung, Jawa Barat.
Tim kedua terdiri dari Dwi As Setianingsih (reporter), Riza Fathoni (fotografer), Rian Septiandi (videografer), Machradin Wahyudi Ritonga (reporter yang bermarkas di Bandung), dan juga Dwi Bayu Radius, reporter yang bermarkas di Serang, Banten.
Tim kedua ini meliput ke Komunitas Adat Kasepuhan Ciptagelar yang berada di Cisolok, Sukabumi, yang kebetulan sedang menggelar upacara Seren Taun. Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Baduy di Lebak, Banten.
Yudi membantu peliputan di Cisolok, sementara Bayu membantu peliputan di Baduy. Sebuah tim liputan yang cukup gemuk dibandingkan saat meliput alat musik lain meski ini dilakukan demi meliput angklung secara keseluruhan.
Bertemu masyarakat Sunda Wiwitan
Hari Selasa (4/9/2018), kami bertiga, Nawa, Fanni, dan Fikri, tiba di Cigugur, Kuningan. Kami segera menuju kediaman sesepuh masyarakat Sunda Wiwitan, Pangeran Djatikusumah (86), di rumahnya yang disebut Paseban Tri Panca Tunggal.
Tri artinya tiga untuk mengiaskan perihal naluri, rasa, dan piker. Panca untuk mengiaskan ke lima pancaindera kita. Tunggal untuk keesaan atau sama dengan pemahaman manunggaling kawula lan gusti.
Putri bungsu Pangeran Djatikusumah, Dewi Kanti Setianingsih (43), turut menyambut. Dewi banyak bercerita tentang angklung yang diciptakan ayahnya, angklung takol.
Dalam bahasa Sunda, takol artinya dipukul. Untuk memainkannya harus dipukul, bukan digoyang dan digetarkan. Angklung takol lahir karena, menurut Djatikusumah, sudah tidak banyak lagi orang mau memainkan gong renteng. Banyak yang beralih profesi menjadi kusir delman.
Gong renteng adalah kesenian khas Cigugur. Gong-gong berukuran kecil ditata dengan direnteng, bersama gamelan lain, seperti saron dan bonang. Gong renteng biasa dimainkan 7 orang sampai 8 orang.
Sebagai pengganti gong renteng, dipilihlah angklung. Namun, cara memainkannya harus seperti gong renteng, yaitu ditabuh. Angklung dijajar membentuk tangga nada pentatonik. Untuk memainkannya, tatakan atau alas bambu utuh bagian bawahnya yang harus dipukul.
”Tidak boleh digoyang dengan tangan. Cara memainkannya harus dipukul,” begitu ujar Djatikusumah berulang kali. Angklung takol lahir pada rentang 2013-2015.
Siang itu, kami menikmati sajian angklung takol dari Edi Dami Suryadi (14) yang berduet bersama Dewi memainkan ”Kebo Jiro” dan ”Sisir Gunda”. Kedua lagu itu adalah lagu ritual penyambutan tamu pada perayaan tertentu.
Menurut Dewi, kedua lagu itu termasuk klasik. Tak ada catatan partitur atau notasi nadanya, dimainkan dengan mengandalkan ingatan, khas tradisi lisan.
Esok harinya, kami berkunjung ke tempat Kang Pendi (45), pembuat angklung yang tertarik mengenal angklung setelah diminta memperbaiki angklung.
Menurut dia, salah satu cara mengenali sumber suara angklung yang terletak di benturan tabung suara atau bumbung bambu adalah dengan mengecek sumber suaranya.
Pendi banyak belajar tentang pembuatan angklung setelah berkunjung ke Saung Angklung Udjo. Hingga tahun 2008, Pendi mendirikan Sanggar Angklung Lumbu.
Kepada kami, Pendi menunjukkan cara pembuatan angklung, dimulai dari pemilihan bambu, yaitu bambu hitam. Bambu itu tumbuh di lereng Gunung Ciremai, dan dipilih pohon bambu yang lurus dan tumbuh tegak.
Untuk menentukan tinggi rendahnya nada bilah bambu, Pendi menggunakan peralatan modern yang banyak ditemukan di toko-toko alat musik.
Singgah di Bandung
Kamis (13/9/ 2018), kami tiba di Bandung dan segera meluncur ke Rumah Musik Harry Roesli, disambut Yala Roesli dan Uwie Prabu. Yala banyak bertutur tentang angklung dan dunia musik jalanan.
Menurut dia, di kota lain seperti Yogyakarta, pengamen sudah banyak memanfaatkan angklung. Tapi justru di Bandung, angklung tidak menjadi kebutuhan pengamen.
Di Bandung, angklung tidak menjadi kebutuhan pengamen.
Hal ini bertolak belakang dengan sejarah angklung yang pernah sangat lekat dengan pengamen atau pengemis seperti tertuang dalam buku Udjo, Diplomasi Angklung.
Angklung, menurut dia, masih perlu sentuhan inovasi. Angklung identik sebagai alat musik yang dimainkan bersama. Sementara untuk mengamen, dibutuhkan alat musik yang lebih sederhana.
Jumat, kami berkunjung ke kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) menjumpai dosen Teknik Fisika ITB, Eko Mursito Budi, pencipta angklung robot (klungbot). Di mejanya ada laptop, midi kibor, dan seperangkat angklung. Di sela-selanya terlihat beberapa kabel listrik.
Klungbot dimainkan secara otomatis elektronik dengan laptop dan midi kibor tersebut. Ketika beberapa tuts midi kibor disentuh, suaranya bukan suara melodi piano, melainkan suara angklung. Midi kibor itu ternyata menggerakkan motor penggerak angklung.
Saat dimainkan, ternyata klungbot bisa dimodifikasi untuk memainkan komposisi lagu dengan beragam aransemen alat musik.
Eko menunjukkan, pengembangan terakhir klungbot yang melodinya dapat dipadukan dengan nada bas. Dengan sebuah laptop, midi kibor, dan seperangkat angklung yang terdiri atas delapan angklung, jadilah alat konser musik yang lengkap.
Kami tentu juga mampir ke Saung Angklung Udjo. Salah satu anak mendiang Udjo Ngalagena, Taufik Hidayat Udjo, menemui kami. Dia menceritakan awal kisah Saung Angklung Udjo yang lahir dari kecintaan ayahnya pada angklung.
Udjo mengajarkan angklung kepada 10 anaknya. Jadilah, keluarga itu seperti layaknya orang bermain konser angklung dan lambat laun tumbuh menjadi industri pariwisata seperti sekarang.
Menurut Taufik, ada banyak makna filosofis yang terkandung di dalam angklung. Ketika memainkan angklung, ada pesan kehidupan harmoni, pesan persatuan, dan pesan perdamaian.
Meliput di Kasepuhan Ciptagelar
Perjalanan tim kedua ke Kasepuhan Ciptagelar berlangsung pada 6-9 September 2018.
Dari Jakarta, kami sengaja memilih mobil double cabin 4 x 4 agar perjalanan ke Ciptagelar di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun di ketinggian lebih kurang 1.200 meter di atas permukaan laut tidak mudah karena medan yang berat.
Dan memang benar, saat kami naik menuju Ciptagelar dalam kondisi gelap karena hari sudah telanjur malam, kami harus waspada. Karena kondisi jalan bebatuan yang terjal dengan sisi kiri berupa jurang, terutama saat berpapasan dengan sesama mobil atau sepeda motor.
Sayang, karena sudah malam, kami terpaksa harus melewatkan pemandangan indah di sepanjang rute menuju Ciptagelar. Di antara kilatan lampu mobil, keindahan pemandangan hanya kami nikmati samar-samar. Kami berharap saat turun nanti, kami masih bisa menikmati pemandangan indah itu.
Selama perjalanan yang cukup menegangkan, kami berusaha bercanda. Kadang bertukar kisah-kisah horor, mumpung jalanan gelap dan sepi, kadang juga kisah-kisah lucu yang membuat kami tertawa terbahak-bahak. Yang pasti, agar sopir tembak yang mengemudikan mobil, Rian, tetap eling dan waspada.
Di Ciptagelar, kami menginap di kediaman Kang Yoyo Yogasmana dan Teh Umi Kusumawati. Tidak hanya kami saja yang menginap, tetapi juga ada banyak tamu lain yang juga menginap.
Menjelang hari-H, Sabtu dan Minggu, jumlahnya bahkan makin banyak. Semua bergelimpangan di seluruh sudut rumah. Membuat suasana rumah terasa hangat dan akrab karena banyak obrolan, bertukar cerita, dan berkenalan.
Soal angklung, kami akhirnya menemukannya saat Seren Taun berlangsung. Di situ kami melihat bagaimana angklung memiliki porsi penting dalam kehidupan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar.
Saat itu, kami hanya menyaksikan angklung dimainkan dalam salah satu ritual panjang terkait ritus padi. Namun, dari Abah Ugi yang merupakan pimpinan Kasepuhan Adat Ciptagelar dan para pemain angklung Kasepuhan, seperti Aki Aad dan Aki Dai, kami mendapat banyak informasi penting terkait makna penting angklung.
Begitu juga dengan mitos tentang Nyi Sri Pohaci, dewi kesuburan yang diyakini memiliki peran penting dalam kehidupan mereka sebagai masyarakat ladang.
Rupanya, antara sosok Nyi Sri Pohaci dan angklung yang terbuat dari bambu, ada relasi tak terpisahkan. Inilah yang mereka pegang teguh sejak dahulu hingga kini agar hidup mereka yang menjunjung tinggi harmoni dengan alam serta relasi spiritual terus terjaga.
Melihat perlakuan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar yang begitu memuliakan Nyi Sri Pohaci, kami sungguh hormat. Selain laku hormat itu, masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar juga memiliki laku hidup yang begitu selaras dengan alam.
Banyak nilai hidup yang mengajarkan kearifan, kepatuhan, dan kesabaran. Mereka juga diajari agar selalu belajar menahan diri, tidak rakus dan serakah. Kami pulang dari Ciptagelar dengan perspektif baru sebagai manusia.
Belajar dari Baduy
Nilai-nilai hidup yang lebih kurang sama dengan Kasepuhan Ciptagelar kami dapatkan saat meliput di Baduy. Sayang kami tak masuk ke Baduy Dalam karena kebutuhan pengambilan gambar. Di Baduy Dalam, ada larangan untuk mengambil gambar dan video.
Bertemu narasumber di Baduy Dalam yang berlokasi di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, juga tidak mudah.
Selain merupakan desa adat, umumnya masyarakat Baduy Dalam juga tinggal jauh di kampung-kampung yang sangat terpencil. Jarak kampung-kampung tersebut dari jalan aspal terdekat sekitar 10 kilometer (km).
Baduy Dalam baru bisa ditemui setelah berjalan kaki sekitar 5 jam melalui perbukitan. Waktu tempuh itu belum termasuk 4 jam naik kendaraan dari Jakarta ke Kanekes yang berjarak sekitar 130 km.
Ayah Armah, pakar pembuat angklung yang ingin kami temui adalah warga Cikartawana, salah satu kampung Baduy Dalam. Untuk menemuinya di Baduy Dalam agak riskan. Selain ada larangan pengambilan gambar, belum tentu juga kami bisa bertemu di kediamannya.
Selain tak tahu jalan, kami juga tak bisa bertanya-tanya kepada siapa pun di perjalanan. Laki-laki Baduy Dalam nyaris tak pernah ada di rumah pada pagi hingga sore karena bekerja di ladang. Sementara perempuan-perempuan Baduy Dalam dikenal sangat tertutup terhadap pendatang.
Akhirnya kami pun menjalin kontak dengan perantara yang bisa menghubungi Ayah Armah, melalui narahubung bernama Pak Asep Kurnia, Kepala Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Leuwidamar. Melalui relasi Pak Asep di Baduy Luar, kami bisa membuat janji dengan Ayah Armah.
Cukup rumit, warga Baduy Luar itu harus berjalan kaki beberapa jam lebih dulu ke Cikartawana setelah berjumpa dengan Ayah Armah dan ada kepastian waktu wawancara, warga Baduy Luar tersebut kembali ke Baduy Luar baru memberikan informasi kepada Pak Asep. Pak Asep lalu menghubungi kami.
Kesediaan Ayah Armah turun gunung menjumpai kami pada waktu yang sudah kami sepakati membuat kami terharu. Pasalnya, Ayah Armah memiliki kesibukan yang tinggi. Dia kerap harus berkeliling kampung untuk mengurus berbagai upacara adat terkait posisinya di dalam adat.
Saat wawancara berlangsung, tak sekalipun Ayah Armah terlihat letih atau mengeluh. Padahal, perbincangan kami berlangsung sekitar 1 jam di tengah ladang yang sangat panas. Senyum Ayah Armah selalu tersungging. Bahkan, Ayah Armah sesekali terkekeh-kekeh menjawab pertanyaan kami.
Senyum Ayah Armah selalu tersungging.
Setelah bersantap bersama seusai wawancara, Ayah Armah pun segera kembali ke Baduy Dalam karena ditunggu di Baduy Dalam untuk mengikuti upacara adat pada pukul 21.00. Ayah Armah kembali ke kampungnya sekitar pukul 15.00.
Pertemuan dengan Ayah Armah sungguh berkesan. Kami benar-benar berterima kasih kepada Ayah Armah.
Begitu juga dengan wawancara dengan Ki Pantun, warga Baduy Luar yang masih memiliki hubungan darah dengan Ayah Armah. Keduanya kakak adik, dan sama-sama mendapat panggilan untuk mengurusi angklung.
Ki Pantun adalah orang yang mengajari Ayah Armah membuat dan memainkan angklung. Karena satu dan lain hal, Ki Pantun terpaksa tinggal di Baduy Luar.
Dari cerita mereka, kami mengetahui betapa tinggi kedudukan Nyi Sri Pohaci bagi masyarakat Baduy.
Sama halnya masyarakat Ciptagelar, masyarakat Baduy yang juga merupakan masyarakat ladang begitu menjunjung tinggi Nyi Sri Pohaci. Dan angklung yang diyakini menjadi kesenangan Nyi Sri Pohaci pun berusaha terus dilestarikan agar tidak punah.
Dari angklung, begitu banyak pelajaran baru kami peroleh. Tak semata alat musik, di baliknya terkandung filosofi yang demikian agung dan mulia, seperti masyarakat padi yang memuliakan padi. (NAWA TUNGGAL dan DWI BAYU RADIUS)