Kisah Pemburu Harta Karun Bung Karno
Telepon selular berbunyi. Kira-kira pukul 06.45. Ternyata, peneleponnya adalah, Wakil Pimpinan Umum Kompas St Sularto atau biasa disapa mas Larto. Padahal, nyawa terasa masih melayang dalam buaian tidur di kota yang sejuk, Bogor, Jawa Barat, pada hari itu, tepatnya 16 Agustus 2002.
Rupanya, Mas Larto, baru saja membaca berita utama di harian Kompas berjudul “Lokasi Prasasti Batutulis Dirusak” di halaman 17. Karena lokasi kejadian di Bogor maka berita ini masuk di halaman Metropolitan.
Selain berbentuk straight news, ada pula tulisan pendamping berjudul “Prasasti Batutulis, Sejarah Pajajaran”. Tak ketinggalan, sebuah foto berwarna terkait Batutulis.
Lebih dari 15 tahun berlalu, saya masih tertawa geli. Foto itu sempat disalahtafsirkan sebagai seseorang yang sedang berdoa menghadap Batutulis, yang bertuliskan sansekerta. Padahal, sesungguhnya, lelaki itu adala, seorang jurnalis media nasional yang sama-sama bertugas di Bogor.
Wartawan senior itu, biasa dipanggil Kang Dace oleh teman-teman media. Saat itu, dia tidak sedang berdoa, melainkan kepalanya tertunduk karena dia sedang mencatat sesuatu di buku tulis kecilnya.
Saat itu, dia tidak sedang berdoa tetapi sedang mencatat sesuatu di buku tulis kecilnya.
Dalam percakapan telepon itu, Mas Larto berupaya mencari tahu kejadian di Batutulis dengan pertanyaan-pertanyaannya. Tak lama kemudian, Mas Larto dengan nada keras mengatakan, “Peristiwa itu namanya vandalisme!”
Mungkin, Mas Larto membaca artikel saya, yang penggalannya bertuliskan, “Prasasti Batutulis yang terletak di Jalan Batutulis, Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, dirusak sejumlah penggali liar”.
“Akibat penggalian itu, batu-batu menhir yang pada zaman Padjajaran dimanfaatkan untuk mengikat tali kuda kerajaan dipastikan amblas. Kegiatan penggalian liar yang dilakukan oleh sekitar lima orang tersebut disebutkan atas perintah Menteri Agama H Said Agil Husin Al Munawar. (Kompas, 16 Agustus 2002).
Kemudian, seingatku, saat itu Mas Larto mengakhiri pembicaraannya dengan bertanya, “Mengapa berita itu hanya masuk di halaman Metropolitan? Hanya halaman 17”
Pertanyaan yang tidak mungkin kujawab. Tugas saya, hanyalah melihat fakta penting yang perlu untuk diberitakan ke publik.
Membayar utang negara
Betul juga. Usai pembicaraan dengan Mas Larto, kasus situs Prasasti Batutulis ini selanjutnya dimuat di halaman satu berturut-turut selama enam hari. Bahkan, di hari ketiganya, kasus ini menjadi salah satu Tajuk Rencana Kompas.
Ada sebuah keheranan yang ditampilkan dalam kolom Tajuk Rencana ini. Judulnya saja “Sulitnya Berpikir Rasional Dalam Kasus Prasasti Batutulis”.
Menurut Tajuk Rencana Kompas, isu harta karun itu tidak hanya sekali ini saja. Bahkan, pernah diramaikan isu adanya harta karun peninggalan Bung Karno.
Anehnya, seolah-olah harta itu pasti ada – berdasarkan info paranormal – diperhitungkan hasilnya bisa dipakai membayar utang negara.
Harta karun peninggalan Bung Karno ini pun mengingatkanku ketika bersama-sama rekan jurnalis yang tergabung dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menelisik keberadaan harta karun itu.
Seingatku, kami sempat meluncur berkilo-kilometer menuju daerah Cileungsi, Kabupaten Bogor. Tiba di sebuah rumah, seorang berpakaian putih-putih dengan peci hitam akhirnya berhasil ditemui.
Dengan gaya bicaranya yang dimirip-miripkan Bung Karno, lelaki itu menunjukkan beberapa emas batangan. Hampir saja terkecoh untuk mempercayai, karena emas batangan itu besar-besar.
“Wow”, kata seorang kawan. Melihat emas murni sebesar dan sebanyak itu, mungkin nilainya bisa mencapai miliaran bahkan triliunan rupiah. Sang “Bung Karno” itu pun berani menegaskan, “Dengan emas ini, Indonesia akan terbebas dari jeratan utang”.
Sayangnya, tak satupun dari antara kami boleh memegang emas batangan itu.
Tidak semua diberitakan
Bogor memang menyimpan berbagai kisah, walau tak semua mesti diberitakan Kompas ke hadapan publik. Ada banyak hal yang harus dipilah karena hanya menampilkan sensasi padahal tidak mendidik sama sekali.
Karena gencarnya desakan masyarakat Bogor, Kompas kembali menempatkan berita Batutulis di halaman 11 pada edisi Minggu, 25 Agustus 2002. Dan, rubrik Fokus di Harian Kompas saat itu dipergunakan untuk menempatkan kasus ini dengan judul Menggali “Luka Traumatik” Warga Bogor.
Sikap terhadap kasus bernuansa vandalisme itu pun semakin mengemuka. Dengan cekatan, saya kembali menggali reaksi warga Bogor, bahkan warga Jawa Barat.
Reaksi itu antara lain diungkapkan atas nama aliansi sebagai perwakilan sekelompok warga yang jengah terhadap sikap pemerintah maupun aparat penegak hukum. Mereka meminta agar hukum ditegakkan tanpa memandang bulu.
Peristiwa Batutulis memang sungguh menghebohkan. Apalagi, setidaknya ada 19 pemberitaan terkait Batutulis di tahun 2002. Di pengujung 2002, Kompas juga menyuguhkan laporan akhir tahun dan diantaranya soal Batutulis itu.
Menunggu di pagi buta
Tidak sekedar meliput di permukaan, saya memang sempat memergoki penggalian itu. Hari Rabu (14/8/2002) malam sekitar pukul 23.30, saya mendapatkan informasi itu. Seorang jurnalis radio, yang merupakan salah satu jaringan saya di Bogor menelepon beberapa wartawan termasuk saya.
Dengan mengendarai sepeda motor, saya mendekati lokasi Prasasti Batutulis. Tentu dengan diam-diam, karena ada informasi akan hadir seorang petinggi di kalangan pemerintah pusat yang bakal menyambangi secara langsung proses penggalian itu.
Malam makin larut. Hembusan angin terasa makin kencang. Bersama lima jurnalis baik media cetak maupun radio, kami mencari perlindungan dari terpaan angin. Supaya juga tidak terlampau mencolok, kami duduk di dalam sebuah pos yang biasa menjadi panggalan ojek di tikungan Jalan Batutulis.
Letak pos itu hanya beberapa meter jaraknya dari Istana Presiden Batutulis dan Museum Batutulis. Istana Presiden Batutulis kala itu sering disinggahi Megawati Soekarnoputri yang saat itu menjabat sebagai Presiden RI ke-5. Kedua lokasi itu hanya seberang-seberangan.
Secara bergantian, kami mengamati pergerakan oknum pejabat yang diduga akan menyambangi lokasi penggalian itu. Sementara yang lain, nongkrong di pos yang hanya terlindung dinding setinggi satu meter.
Momentum yang ditunggu-tunggu pun tiba. Beberapa penggali terlihat masuk ke halaman belakang Museum Batutulis, dengan beberapa alat penggali, seperti cangkul.
Satu per satu wartawan berjalan mendekati dinding belakang museum. Kami mengendap-endap. Dengan bertumpu pada sebatang balok kayu, saya sempat melihat proses penggaliannya. Penggalian dilakukan oleh lima orang, tapi saya menduga mereka hanya tukang-tukang penggali bayaran saja.
Dengan bertumpu pada sebatang balok kayu, saya sempat melihat proses penggaliannya.
Beberapa menit kemudian, lubang yang cukup dalam sudah terlihat. Seorang jurnalis radio yang kebetulan warga Bogor mengenal camat setempat berjalan mendekati museum. Kemudian, terdengar obrolan dalam bahasa Sunda yang intinya sang camat bersedia memfasilitasi penggalian.
Tak terasa, hari pun sudah berganti. Sekitar pukul 02.30, hadir pula seorang pejabat yang belakangan diketahui sebagai Menteri Agama H Said Agil Husin Al Munawar. Dia duduk di sebuah kursi kecil menghadap proses penggaliannya.
Cuaca saat itu seingat saya terasa aneh. Tak ada hujan sama sekali, meskipun hembusan angin terasa begitu kencang. Keesokan harinya, barulah hujan deras mengguyur Kota Bogor. Bekas penggalian yang hanya disanggah balok-balok kayu dipenuhi air. Bahkan, berhari-hari hujan terus mengguyur.
Membaca laporan kami, kawasan Jalan Batutulis mulai disambangi banyak orang. Tak sedikit kelompok masyarakat yang menyatakan protes. Sebagian warga juga menyatakan kecewa karena penggalian itu didasarkan petunjuk paranormal.
Sebagian warga juga menyatakan kecewa karena penggalian itu didasarkan petunjuk paranormal.
Batu-batu menhir kuno itu memang tidak terlihat rusak. Namun, sisi-sisinya sudah digali dengan kedalaman hampir 1,5 meter. Tak terbayangkan, apabila para penggali terus menggali tanah tersebut, lalu balok-balok kayu tak sanggup menyanggah batu-batu menhir tersebut, para penggali pun dapat terkubur hidup-hidup.
Bogor memang telah bikin geger. Vandalisme ini mengguncangkan Tanah Air. Belakangan, tak secuil pun harta karun itu terbukti ditemukan. Dan, ini bukan hal aneh, karena memang tak ada harta Bung Karno yang pernah ditemukan!
Hari kesepuluh pasca kejadian, saya pun menuliskan fakta tentang seorang turis asing bermata biru yang mengunjungi areal Prasasti Batutulis. “It’s crazy...” kata si bule itu. Saat itulah, Kompas mempublikasikan tulisan Fokus berjudul “Menggali ‘Luka Traumatik’ Warga Bogor”.
Peristiwa itu juga telah meruntuhkan makna yang diungkap empat bulan sebelumnya tentang Bogor.
“It’s crazy...” kata si bule itu.
Bersama wartawan Senior Kompas Maria Hartiningsih dan FX Puniman, saya sempat menulis berbagai hal tentang Bogor dengan judul “Kota yang Penuh Penanda”. Dari mengungkap nama Bogor yang berasal dari kata Buitenzorg hingga berbagai penanda lainnya seperti cemilan-cemilan khas Bogor.
Dalam tulisan itu, kami pun mengungkapkan, kelahiran Bogor diwarnai sejarah bekas kerajaan-kerajaan yang pernah berdiri di tanah Pasundan, khususnya Pajajaran yang berpusat di Pakuan. Secara umum, penduduk Bogor mempunyai keyakinan bahwa kota Bogor adalah Pakuan.
Bahkan, hari jadi Kota Bogor pada tanggal 3 Juni diilhami dari tanggal pelantikan Raja Pajajaran yang terkenal, yaitu Sri Baduga Maharaja, pada tahun 1482.
Kerajaan-kerajaan itu telah pula meninggalkan berbagai bukti sejarah (prasasti) di antaranya Batutulis di Ciaruteun. Batutulis itu peninggalan Raja Taruma Negara, Purnawarman, yang terletak di tepi Sungai Ciaruteun, Desa dan Kecamatan Ciampea.
Melihat berbagai peristiwa sepanjang tahun 2002, aku bersama wartawan senior FX Puniman (kini sudah memasuki masa pensiun) terpaksa menyebutkan dalam tulisan akhir tahun itu dengan judul “Kasus-kasus Supersensitif Bogor Tak Berujung”.
Ujung tulisan itu begitu tegas menyatakan: Sekali lagi, ini sebuah pertaruhan di negeri yang hukumnya semakin carut-marut. Keberanian hukum menjadi tantangan, sekaligus pekerjaan rumah di masa depan. Itupun kalau kewibawaan hukum masuk mau dipandang terhormat di negeri sendiri, Indonesia.
Dan, lebih dari 15 tahun telah berlalu, kewibawaan hukum tidak jauh lebih baik. Untungnya, tak ada lagi kisah soal harga karun republik ini. Nah, bila ingin negeri ini bebas utang maka mari kita bekerja keras tidak hanya sekear bermimpi.