”Numpang” Helikopter hingga ”Ngompreng” Pesawat di Papua
Meliput di Papua sejak Selasa (23/1) hingga awal Februari 2018 menjadi salah satu pengalaman jurnalistik yang sangat berharga. Untuk pertama kali meliput di tanah Papua, saya langsung menjajal Kabupaten Pegunungan Bintang dan Asmat.
Senin (22/1) sekitar pukul 17.00 WIB, saya berangkat dari Pontianak, Kalimantan Barat, menuju tanah Papua. Setelah transit di Jakarta selama satu jam, sekitar pukul 22.00 WIB, saya terbang selama lima jam dari Jakarta menuju Bandara Sentani, Papua.
Dalam penerbangan ke Sentani, otak saya tidak berhenti berpikir. Karena diduga ada penderita penyakit gizi buruk dan campak di Kampung Pedam, Distrik Okbab, Pegunungan Bintang, saya ditugaskan ke daerah itu.
Pertanyaannya, bagaimana perjalanan menuju ke sana? Berdasarkan informasi dari rekan-rekan wartawan yang paham letak geografis Papua, tidak mudah mencapai Kampung Pedam.
Dari Sentani, kabarnya harus terbang menuju Oksibil, ibu kota Kabupaten Pegunungan Bintang, dengan pesawat ATR. Dari Oksibil, terbang lagi dengan pesawat perintis (pesawat Pilatus dan sejenisnya) ke Distrik Okbab. Dan, tidak tiap hari ada penerbangan.
Ketika tiba di Distrik Okbab, perjalanan belum berakhir. Informasinya, Kampung Pedam harus ditempuh dengan berjalan kaki selama 10 jam. Itu pun mustahil berjalan sendirian karena jalan setapak yang rutenya berliku-liku. Artinya, saya harus mencari pemandu orang setempat.
Informasinya, Kampung Pedam harus ditempuh dengan berjalan kaki selama 10 jam.
Selasa (23/1) pagi, saya mendarat di Bandara Sentani, Papua. Ketika keluar dari pesawat, terlihat cuaca mendung. ”Ah, bukan awal yang baik,” ujar saya dalam hati.
Begitu keluar dari terminal, spontan saya mencoba bertanya kepada warga Papua tentang perjalanan menuju Pegunungan Bintang. Di kantin bandara, saya hampiri seorang tukang ojek untuk menggali informasi. Siapa tahu dia paham.
”Kakak, kalau ke Kampung Pedam, Distrik Okbab, Kabupaten Pegunungan Bintang, apakah sulit ditempuh?” saya bertanya.
”E..., Kakak. Itu jauh sekali. Dari Distrik Okbab harus jalan kaki lagi,” ujarnya.
Di dalam hati saya berkata, ”Kalau orang asli Papua saja mengatakan pegunungan itu jauh, berarti tempatnya memang sulit untuk ditempuh.”
Kemudian, saya mengontak Fabio Maria Lopes Costa, wartawan Kompas yang bertugas di Papua. Saya memberi tahu dia ditugaskan meliput persoalan kesehatan di Papua. Saya mengajaknya berdiskusi tentang penugasan menuju Pegunungan Bintang.
Ternyata, kata Fabio, pagi itu ada sebuah helikopter TNI yang hendak mengecek kondisi di Kampung Pedam. Helikopter itu juga akan berangkat dari Sentani.
Tanpa membuang waktu, saya langsung bergegas menuju Pangkalan Udara Sentani, sementara Fabio sibuk mengontak Kepala Penerangan Kodam Cenderawasih.
Singkat cerita, saya berhasil terbang naik helikopter menuju Kampung Pedam dengan sembilan personel TNI. Mayoritas adalah tim medis dari Pusat Kesehatan TNI.
Melintasi pegunungan
Kami terbang selama 1,5 jam. Penerbangan itu bukan penerbangan pertama saya dengan helikopter. Di Kalimantan Barat, saya sudah beberapa kali ikut helikopter pemadam hutan.
Namun, penerbangan di Papua ini berbeda. Di Kalimantan Barat, alamnya tidak seekstrem di Papua. Dalam penerbangan ke Kampung Pedam, helikopter kami terbang meliuk-liuk di antara pegunungan. Kabut juga terlihat di sana-sini.
Menjelang Kampung Pedam, kabut tebal membayang. Namun, masih ada celah bagi helikopter untuk mendarat. Begitu keluar dari helikopter, kami langsung menuju posko kesehatan yang didirikan tim Pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang dan TNI sejak Sabtu, 20 Januari 2018.
Dari kejauhan, warga Kampung Pedam ramai berkumpul di depan posko kesehatan. Ketika mendekat, saya hampir menangis melihat saudara-saudara di Kampung Pedam itu.
Ternyata, masih banyak anak yang perutnya buncit karena cacingan. Wajah mereka juga sayu, mata pucat, dan ada pula yang menangis dengan napas yang terengah-engah akibat infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Emilson Deal (2), misalnya, hanya tergeletak di pangkuan ibunya. Wajah Emilson pucat, matanya sayu, perutnya buncit. Kata dokter, dia kekurangan kalori dan protein. ”Anak saya sakit sekitar tiga bulan. Perutnya sering bunyi-bunyi dan kulitnya gatal-gatal. Saat ada posko kesehatan, baru bisa berobat,” kata Lena Mul (40), ibu Emilson.
Sementara itu, Gebri Faldo, bayi berusia 5 bulan, terkena radang paru. Warga Kampung Pedam yang berpenduduk 553 orang memang umumnya terserang ISPA, diare, dehidrasi, kurang gizi, penyakit kulit, dan cacingan.
Pada Agustus-Desember 2017, tercatat ada 27 orang meninggal di Pedam. Tahun 2018, setidaknya sampai kehadiran saya, satu anak lagi meninggal. Data dari posko kesehatan, pada hari itu tercatat 9 orang dewasa dan 64 anak terkena berbagai penyakit.
Anak-anak mudah terkena ISPA karena pada malam hari warga menyalakan api di tungku di rumah untuk menghangatkan tubuh. Akibatnya, anak-anak terpapar asap sejak bayi.
Adapun diare disebabkan buruknya sanitasi. Terlebih lagi, warga buang air di semak-semak dan di sungai.
Di tengah wawancara, saya melihat warga membakar sesuatu di halaman posko kesehatan. Karena penasaran, saya mendekat. Ternyata, warga sedang membakar daging babi yang rencananya diberikan untuk kami. Saya terharu. Di tengah keterbatasan, mereka justru berpikir untuk menghargai tamu yang datang.
Namun, tanpa sempat menyantap sajian warga, selepas siang saya ikut helikopter kembali ke Sentani. Saya telah menyaksikan sendiri dan mengumpulkan informasi dari Kampung Pedam. Lagi pula, dengan transportasi yang terbatas, tanpa ikut helikopter, kelak tidak mudah bagi saya untuk keluar dari Kampung Pedam.
Sekitar pukul 13.00 WIT, helikopter datang menjemput. Kami pun bergegas masuk ke helikopter karena cuaca sulit diprediksi. Dalam hitungan menit, cuaca dapat memburuk sehingga penerbangan dapat dibatalkan.
Hanya berdoa
Keterbatasan informasi dan minimnya infrastruktur sungguh menyulitkan masyarakat Kampung Pedam untuk mengakses layanan kesehatan. ”Jauh sekali kalau membawa orang sakit. Harus jalan kaki 5-10 jam ke Puskesmas Okbab,” ujar Hena (25), warga Pedam.
Seandainya pun warga bisa tiba di Okbab, bukan berarti mereka pasti mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak. Mengapa? Karena di Puskesmas Okbab hanya ada satu perawat sekaligus kepala puskesmas dengan 13 warga yang merupakan kader kesehatan.
Hena mengatakan, ”Kalau ada obat tradisional di kampung hanya untuk penyakit kulit. Kalau ada yang sakit keras, kami hanya bisa berdoa.”
Sekretaris Kampung Pedam Pau Urwan pun berharap adanya pendirian puskesmas pembantu di Pedam.
Menjajal Asmat
Karena harus bergeser ke Asmat sesegera mungkin, Rabu (24/1), saya terbang dari Sentani menuju Timika, Kabupaten Mimika. Penerbangan itu hanya satu jam.
Perjalanan pun belum berakhir. Dari Timika, saya masih harus terbang ke Bandara Ewer, Asmat. Penerbangan menuju Ewer dilakukan dengan pesawat berbadan kecil oleh karena keterbatasan panjang landasan pacu. Informasinya, penerbangan itu hanya 35 menit.
Begitu mendarat di Timika, saya langsung menuju tempat penjualan tiket pesawat perintis. ”Pak, apakah hari ini masih ada penerbangan ke Ewer?”
”Tunggu sebentar lagi, ya. Sebetulnya masih ada satu kursi lagi, tetapi masih melihat kondisi cuaca,” kata Daud, petugas dari sebuah maskapai perintis.
Saya pun menepi. Sekitar satu jam menunggu, muncul kabar. ”Pak, pesawat tidak jadi berangkat hari ini. Bapak saya daftarkan besok saja,” ujar Daud. Ternyata, cuaca buruk membatalkan penerbangan hari itu.
Penerbangan ke Ewer ternyata juga tidak setiap hari. Selain itu, harus berlomba-lomba. Siapa yang lebih dulu mendaftar, dia yang bisa terbang. Bahkan, dalam situasi tertentu, saya dengar dari sesama calon penumpang, diperlukan lobi supaya mendapatkan kursi.
”Naik pesawat saja butuh lobi. Menggelikan sekali,” demikian saya tertawa di dalam hati.
”Jam berapa pesawat pertama ke Ewer besok, Pak?” tanya saya.
”Pokoknya jam 05.30 WIT harus sudah di bandara. Semakin cepat tiba di bandara, semakin baik. Semuanya tergantung cuaca. Kalau bagus, berangkat. Kalau tidak, ya, tidak jadi lagi,” kata Daud santai.
Seorang warga yang mendengar pertanyaan saya berkata, ”Di sini tidak ada yang pasti. Kepastian di sini adalah ketidakpastian itu sendiri.” Dia tertawa, kemudian menepuk bahu saya.
Saya pun terpaksa bermalam. Keesokan harinya, Kamis (25/1) pukul 05.00 WIT, saya pun langsung menuju bandara yang hanya sekitar 30 menit berkendara dari hotel. Ketika tiba, calon penumpang ternyata sudah membeludak.
Saya langsung menemui Daud dan bertanya, ”Pak, bagaimana penerbangan hari ini?”
”Tunggu saja. Soalnya hari ini sepertinya pesawat dicarter oleh rombongan Bupati Puncak yang mau mengirim bantuan ke Asmat,” ucap Daud. Waduh. Saya memikirkan alternatif transportasi lain ke Asmat seperti kapal, tapi jadwal kapal juga tidak pasti.
Saya kembali menghampiri Daud. ”Pak, tolonglah. Saya harus segera tiba di Asmat hari ini. Saya menjalankan tugas kemanusiaan ini. Saya harus meliput gizi buruk dan campak di sana. Tolonglah,” ujar saya.
Saya akhirnya melobi. Saya melakukan lobi yang sehari sebelumnya saya tertawakan di dalam hati.
Saya melakukan lobi yang sehari sebelumnya saya tertawakan di dalam hati.
Hingga siang hari, tidak juga ada kepastian. Sekitar pukul 13.00 WIT, akhirnya Daud menghampiri saya. Ternyata, saya bisa terbang ke Asmat bersama rombongan Bupati Puncak. Kebetulan, ada seorang dokter yang batal pergi ke Asmat.
Saya langsung diminta ke ruang tunggu. ”Pak, tiketnya mana?” ujar saya ke Daud.
”Nanti saja sebelum terbang sekalian bayar,” kata Daud.
Saya heran. Kenapa seperti naik angkot? Kok seperti ngompreng. Dalam bayangan saya, saat akan boarding, saya harusnya menyerahkan tiket. Bagaimana mekanismenya?
”Penerbangan ini dibuat simpel prosesnya, Pak. Kalau prosesnya ribet, nanti cuaca keburu jelek dan pesawat tidak bisa terbang,” ujar Daud.
Saya pun menjadi paham. Waktu beberapa detik saja begitu berharga di tengah ketidakpastian cuaca di Papua.
Sesaat sebelum masuk ke pesawat, saya membayar tiket Rp 1,6 juta. Secarik kuitansi pembayaran diberikan kepada saya. Itu saja. Tidak ada boarding pass, tidak ada kertas apa pun yang menunjukkan nomor kursi saya. Siapa cepat, dia yang dapat memilih tempat duduk yang menurut dia paling enak.
Siapa cepat, dia yang dapat memilih tempat duduk yang menurut dia paling enak.
Pesawat dengan hanya sepuluh penumpang itu kemudian berhasil mendarat di Bandara Ewer, Asmat, sekitar pukul 14.00 WIT. Bandara itu tepat di tepi sebuah sungai.
Ternyata, dari Ewer masih harus naik speedboat (perahu cepat) lagi menuju Agats, ibu kota Kabupaten Asmat. Perjalanannya sekitar 30 menit melintasi sungai dan muara sungai. Untung saja, hari itu gelombang laut tidak tinggi.
Akhirnya, saya pun tiba di Agats, yang pernah dijuluki kota seribu papan. Dulu, jembatan papan menghubungkan satu bangunan menuju bangunan lain di kota Agats yang memang dihubungkan dengan jembatan papan. Kota ini memang dibangun di atas lumpur meski kini jembatan papan diganti dengan jembatan beton.
Karena Agats dibangun di atas lumpur, air bersih sulit didapat. Tiga hari tidak turun hujan, mandi pun sulit. Suplai air memang bergantung pada air hujan sehingga saya pernah hanya dapat membersihkan diri dengan tisu basah.
Sekitar seminggu saya meliput di Asmat. Kematian demi kematian saya saksikan sendiri. Kematian anak-anak itu disebabkan oleh komplikasi gizi buruk, campak, dan malaria.
Dengan perahu cepat ataupun perahu panjang, saya juga meliput di beberapa kampung di pedalaman. Sebagai orang yang lahir di Kalimantan Barat, saya terbiasa bepergian dengan perahu meski perjalanan apalagi kehidupan di Papua lebih berat.
Mengapa? Ambil contoh, keberadaan malaria sungguh memberatkan. Di Papua, termasuk di Asmat, nyamuk malaria amat ganas. Beberapa teman wartawan Kompas yang meliput di Asmat juga tidak mampu bertahan dari ganasnya malaria.
Papua jelas indah. Hutan-hutannya lebih hijau, lebih perawan, dibandingkan Kalimantan, tanah kelahiran saya. Namun, ada kisah-kisah duka di balik keindahan itu.
Seandainya infrastruktur transportasi ataupun jalan lebih baik, mungkin kehidupan di Papua, dan juga Asmat, lebih dimudahkan. Mungkin, di masa depan, tidak perlu lagi ada warga yang harus kehilangan nyawa.